Sedang Membaca
Taman: Ruang Spiritual dan Estetika (Jawa)
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Taman: Ruang Spiritual dan Estetika (Jawa)

Sejak diterbitkan di Prancis pada 1969, kita akhirnya plesir ke Taman-taman di Jawa (2019) garapan sejarahwan Prancis, Denys Lombard, yang diterjemahkan oleh Arif Bagus Prasetyo. Dalam satu buku ini, penerbit Komunitas Bambu sekaligus menempelkan edisi berbahasa Inggris yang diterjemahkan John Miksic dari teks asli berbahasa Prancis. Telah dilegitimasi bahwa setelah 50 tahun, kajian Denys Lombard ini tetap menjadi satu-satunya sekaligus menjadi pedoman bertaman bagi pelancong (domestik dan asing), orang awam, atau ahli kebudayaan Jawa.

Jawa secara spasial sepertinya memang tidak memiliki gagasan bertaman. Namun secara batiniah, ada keterikatan kuat antara Jawa dan alam. Taman sebagai ruang buatan memetakan spiritual orang Jawa atau menjadi ruang seni-estetik ilahiah meski status taman terbingkai dalam politik kekuasaan. Raja sebagai yang paling berotoritas memiliki. Orang-orang Eropa melihat taman dari peradaban jauh yang lebih tua, seperti Persia, India, Tiongkok, dan Jepang. Lombard pun memantik, “Akan menarik ditanyakan apakah taman-taman seperti itu juga ada di Asia Tenggara, sebuah kawasan-antara, tempat pengaruh Tiongkok dan pengaruh India bertemu dan berpadu, dan, jika ada, bagaimana kedudukannya.”

Taman-taman awal yang disinggung Lombard, antara lain taman Tasik Ardi di Jawa Barat sebagai bagian dari Istana Surosawan yang dibangun oleh Sultan Ageng pada paruh kedua abad ke-17. Taman yang juga disebut Gua Sunyaragi menjadi peninggalan Kesultanan Cirebon. Lombard mengakui bahwa Jawa Tengah tetap menjadi paling referensial soal taman. Pada 1610, Panembahan Seda ing Krapyak memerintahkan pembangunan taman berkolam  Dana Laya, taman hiburan bernama Gading, dan taman perburuan. Taman Sari di kawasan Kesultanan Yogyakarta yang masih ada dalam kondisi terawat, dibangun di masa Hamengkubuwana I pada 1758. Surakarta memiliki Taman Sriwedari yang pernah menjadi pusat hiburan rakyat pada masanya.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (39): Maroqil Ubudiyah, Komentar Kiai Nawawi Banten atas Kitab Bidayatil Hidayah Karya Imam al-Ghazali

Di sinilah, taman beserta ornamen berupa patung, lorong, atau gapura dijelaskan secara arsitektural sekaligus dilihat sebagai manifestasi filosofis kejawaan. Seperti Taman Sari, Lombard memijak pada catatan perwira Belanda, Mayor Carl Friederich Reimer, yang pernah berkujung pada 1791. “Bagian dalam istana merupakan serangkaian taman, kolam ikan dan tempat permandian; juga terdapat bangunan yang begitu banyak (een verwarde menigte van gebouwen) sehingga penataannya tidak mungkin dipastikan dalam satu kali kunjungan […] Yang sangat mengagumkan adalah mata air yang memancar dari kaki menara Tiongkok tinggi (aan den voet van den hoogen Chineeschen Tooren); dapat dipastikan mata air inilah yang membuat Sultan menempatkan istananya di situs ini. Air memancar deras dari tanah yang di tempat ini berbatu-batu; para tukang batu Jawa dengan terampil menyalurkannya ke kolam sempit dan mengarahkan air ke mana pun yang diiinginkan.”

Catatan Reimer secara tidak langsung menguatkan dugaan awal, Nusantara sebagai wilayah pertemuan antarkebudayaan. Arsitektur dari negeri lain turut memberi tinggalan. Sebagai replika dari alam atau hutan, taman pasti dikisari sumber-sumber air (kolam, air mancur, saluran air, telaga). Hal ini menautkan air dengan adab agraris sekaligus menandakan air sebagai unsur religiositas. Taman milik raja tidak hanya sebagai ruang estetika penghiburan, tapi juga menepi-menyepi untuk memperkuat wahyu ilahiah menitis ke diri.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis Cak Nur, Pak Amien, Buya Syafi'i

Relief dan Cerita Kuno

Taman yang ada di bumi bahkan mewakili ruang transendetal (surga) selayaknya dihuni para dewata. Salah satunya diimajinasikan dalam pupuh ke-79 dari kakawin Sumanasantaka garapan Mpu Monaguna (P. Worsley, S. Supomo, dan M. Fletcher, 2014), “Keindahan taman sang raja tak ada bandingnya dan konon tiada taranya. Di tepi sungai, hawanya dingin. Angin segar membelai aroma padma wangi. Taman itu jelas perwujudan surga, karena semua bunganya bertebar mewangi.”

Meski taman-taman yang ditelusuri tidak menunjukkan berasal dari masa lebih tua dari 1600, Lombard memang harus melacak data artefaktual berupa relief, karya sastra kuno (kakawin), dan cerita wayang kulit. Taman sudah ada sebelum abad ke-17, sebelum diwujudkan secara arsitektural. Relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan sering menampilkan peristiwa di luar ruangan, semacam di bawah pohon atau di antara dedaunan. Di Prambanan, relief merekam adegan bertaman dalam epos Ramayana. Seperti saat Hanuman mengendap-endap ke “taman” tempat Sita ditawan Rahwana, tampak pemandangan seolah Sunyaragi, berupa tumpukan batu dan bongkahan balok yang dikisari dedaunan.

Dalam khasanah sastra Jawa klasik, penyebutan taman dengan deskripsi puitis tampak lumrah. Cuplikan kakawin Sutasoma digarap Mpu Tantular semasa Majapahit berjaya misalnya, membabar taman Ratnalaya, Perjalanan mereka tidak akan diceritakan; mereka berada di sini, di taman Ratnalaya./ Ada gapura yang puncaknya terbuat dari permata, berkilauan seperti cahaya matahari./ Segalanya pesona semata…/ Segala macam bunga, nagasari, gambir, melati, cempaka/ada di sekeliling telaga, yang ombaknya bergemuruh seperti ombak lautan./ Di mana-mana teratai merah, tunjung biru, dan teratai putih di tengah…

Segala keindahan yang diwahyukan oleh kesastraan klasik begitu kuat membawa potensi emosional. Manifestasi atas alam dan perasaan inilah yang tetap awet bahkan sampai pada masa modern yang berlomba membangun taman sebagai ruang hijau demi kebutuhan kontemplasi atau penyembuhan dari rasa frustrasi.

Baca juga:  Kitab Washiyatul Musthofa: Kumpulan Wasiat Kanjeng Nabi pada Sayyidina Ali

Kajian Denys Lombard yang semi plesiran ini sepertinya memang tidak diniatkan sebagai kajian yang serius dan lengkap setara tiga jilid monumental Nusa Jawa: Silang Budaya yang monumental. Taman-taman di Jawa bisa menjadi pijakan lanjutan sejarawan-peneliti Indonesia mengingat sekarang ini taman mewujud tren dalam tata ruang. Kepemilikannya sudah jauh berada di luar bingkai kepemilikan-kekuasaan tradisional. Taman adalah upaya personal menghubungkan ke kemapanan ekonomi serta gaya ruang sampai perayaan birokratis pemerintah (pemilik) kota. (RM)

 

Judul                : Taman-taman di Jawa

Penulis             : Denys Lombard

Penerjemah      : Arif Bagus Prasetyo

Penerbit           : Komunitas Bambu

Cetak               : Pertama, Januari 2019

Tebal               : xii+77 halaman

ISBN                : 978-602-9402-98-8

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top