Sedang Membaca
Pesan Kesalehan Kardus
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Pesan Kesalehan Kardus

Beberapa waktu ini setelah Sulawesi Tengah diuji bencana, kita menyaksikan kardus-kardus bertebaran menjadi pesaksian atas doa, solidaritas, atau ‘sekadar’ program peduli. Kardus-kardus derma berdatangan sebagai jalan menyambung hidup.

Di titik strategis jalanan, pelbagai lembaga, perkumpulan, atau organisasi mahasiswa masih menggunakan cara yang konservatif. Mereka menenteng kardus-kardus menghampiri pengendara yang terhenti karena lampu merah. Kardus-kardus tidak lagi menampilkan merek merujuk ke produksi komersial. Tulisan “Peduli Palu dan Donggala” sempurna menempel memenuhi empat sisi.

Meski teknologi perbankan atau donasi lewat online, sudah begitu cepat dan memudahkan, cara konservatif ini seperti tidak malu dituduh ketinggalan atau kurang kerjaan. Keberadaan kardus-kardus donasi yang terlihat tiba-tiba ada, ingin memantik donasi yang spontanitas meski ada kerentanan “memaksa”. Kardus itu mungkin juga berpikir bahwa donasi recehan sekalipun, akan tetap ditertampung. Terasa lebih nyaring dan afdol saat nyemplung di kardus.

Kita bisa menduga saja, kardus solidaritas untuk bencana Sulawesi Tengah semula mewakili perusahaan besar komersial Indonesia: mi instan, air minum kemasan, makanan ringan, atau produk perawatan tubuh. Begitu sampai di etalase perbelanjaan skala kampung sampai kota, kardus itu resmi menjadi hal yang purna tugas, cenderung bekas, dan rongsokan. Mini

market di sekitar kita, pasti akan mengeluarkan produk dari kardus, menumpuk kardus yang telah selesai, atau menjual tanpa pertimbangan yang berat. Kita bisa mengingat analogi “nasi kardus” atau “rumah kardus” menggambarkan ejekan atau kejelataan. Kardus yang sangat fungsional dan fleksibel memenuhi hajat hidup sehari-hari, masih belum tercitrakan dengan agung.

Baca juga:  Pertumbuhan NU Jerman: dari Ketersambungan Sanad, Pengakuan Pemerintah Jerman hingga Revolusi Insdustri

Orang Indonesia biasanya memang sangat ahli melakukan “perubahan” bentuk, fungsi dan citra. Kita bisa mengingat botol Coca-Cola yang menyimbolkan kedigdayaan Amerika dan gaya hidup menyegarkan di wilayah-wilayah tropis dunia, bisa menjadi “hanya” wadah minyak goreng bekas alias minyak jelantah.

Bagi generasi 80-90an di pedesaan atau pinggiran kota malah jadi korban pemukulan sadis. Tutup botol dipukul sampai gepeng-pipih. Dari tutup soda Amerika itu, anak-anak membuat mainan yang juga jadi alat musik jelata berupa icik-icik atau kecrek. Orang-orang dengan lugu dan manusiawi membuat Coca-Cola jadi perkakas “rendahan”.

Pun, hal ini terjadi pada kardus yang mewakili kesuksesan bisnis merangkak dari generasi ke generasi. Di rumah-rumah, kardus biasanya potensial menyimpan hal-hal yang bekas, tidak lagi terpakai, atau ingin cepat terbuang. Benda-benda yang hanya terpakai di saat tertentu, juga lebih aman disimpan di kardus.

Melampaui fungsinya sebagai wadah, kardus telah mewakili ekpresi keseharian keberagamaan dan kemanusiaan kita. Seperti di momentum Lebaran, kita menyaksikan penampilan pating mbentoyong sepeda motor yang tidak saja membawa keluarga mudik. Ada kardus mi instan berisi emping, gula pasir, teh, atau sirup sebagai oleh-oleh.

Beberapa dekade terakhir, kardus khusus bahkan dibuat secara khusus untuk jadi parsel Lebaran. Sisi kardus tidak lagi bertuliskan merek komersial, tapi sudah langsung berseru, “Selamat Hari Raya Idul Fitri.” Kardus dirasa lebih saleh daripada sekadar kresek hitam atai lorek-lorek.

Baca juga:  Mengapa Gus Dur Mencintai Indonesia?

Kesalehan urban dalam tata cara makan pun tampak dalam visualitas kardus. Sudah dapat dipastikan bahwa kardus mulai menggeser aneka wadah yang lebih bersifat kultural, seperti pincuk, besek, tampah, atau cething.

Di kampung-kampung, makan dan makanan selalu menjadi tradisi meminta selamet bersama yang berhubungan dengan Tuhan, alam, dan para arwah. Orang-orang berdoa lewat makanan. Wujud wadah makanan yang cenderung besar atau lebar, menunjukkan makanan yang selalu bersifat kolektif. Tidak ada selametan makan hanya untuk diri sendiri.

Tren dilakukan warung makan mutakhir, orang diajak berdoa lewat kardus, setelah jargon “halal” lebih dulu menghebohkan. Kardus makanan mutakhir telah melakukan terbosan baru dengan cara mengingatkan etika makan di salah satu sisi kardus.

Selain peringatan “berdoa sebelum makan”, ada peringatan “makan dengan tangan kanan”; “jangan lupa cuci tangan”; dan tentu saja ucapan “selamat menikmati.” Kardus itu seperti mengadopsi suara ibu atau guru sebagai sosok-sosok awal dalam pengajaran etika. Peringatan yang lumrah diucapkan, tiba-tiba harus dituliskan. Restoran atau warung melakukan pengingatan pada spiritualitas sebagai bagian dari strategi pemasaran modern. Semakin agamis, kehidupan urban yang saleh akan semakin tercipta.

Teknologi penemuan kardus telah memudahkan mobilitas ekonomi dan menyusup ke keseharian nan sepele. Ketika ia berpindah dari satu tangan ke tangan lain maka maka fungsinya berubah. Kadang lebih bermartabat dan kadang bernasib memelas. Kardus bisa sangat komersial sekaligus tiba-tiba menjelma hal yang saleh/salehah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top