Sedang Membaca
Menusantarakan Islam: Pemikiran Islam Nusantara Model Baru
Satrio Dwi Haryono
Penulis Kolom

Pegiat Komunitas Dianoia sembari mukim di PP al-Musthofa Ngeboran Boyolali.

Menusantarakan Islam: Pemikiran Islam Nusantara Model Baru

Buku Menusantarakan Islam

“Penulis berhasil menelusuri prosesi historis-sosiologis lahirnya Islam Nusantara, dan berpijak pada pertemuannya itu pula, penulis menawarkan pemikiran Islam Nusantara model baru” tulis Dr. Fatimah, MA, dalam ulasannya terhadap buku ini.

Buku yang cukup tipis juga disuguhkan dengan bahasa yang terbilang renyah dan sangat menggugah pembaca untuk terus membacanya. Penulis, yang kerap disapa dengan Cak Aksin menulis suatu risalah sejarah Islam yang tidak hanya berbicara mengenai masa lalu, namun juga sejarah masa kini, yang lebih kontekstual dan menyuguhkan pemikiran yang solutif bagi perkembangan kemanusiaan.

Dengan judul yang menawan “Menusantarakan Islam”, Cak Aksin menyajikan isi buku secara bertahap dalam periodisasi dan perjalanan Islam yang dimulai dari Arab hingga datang dan dibumikan di Nusantara. Cak Aksin, membagi isi buku menjadi 6 bagian, bab I pendahuluan, bab II membicarakan “Asal-Usul dan Identitas Islam Arab”, bab III menceritakan “Prosesi Kehadiran Islam Ke Nusantara: Pergumulan Ruang Bereksistensi”, bab IV mengkaji secara mendalam “Wajah Islam Nusantara: Pergumulan Merebut Dominasi”, lalu bab V merefleksikan Islam Nusantara yang bertajuk “Meretas Paradigma Baru Islam Nusantara”

Buku yang bermula dari kerisauan penulis yang melihat maraknya konflik pemikiran keislamanan yang hanya menitikberatkan pada peristiwa. Tanpa memberikan solusi atau pencerahan untuk kedepannya. Bagi penulis, konfrontasi intelektual tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi bersama. Dengan konteks wacana keislaman di Nusantara yang seringkali di-image-kan pada pergolakan kaum fanatisme, ekstrimisme, formalisme dengan kaum nasionalis, toleran, dan moderat bagi penulis belum menemui titik temu yang sepadan dalam hal menciptakan perdamaian.

Baca juga:  Kitab Man al-Mas’ul ‘an Takholluf al-Muslimin (1): Percaya terhadap Hal Gaib Sebab Kemunduran Umat Islam, Benarkah?

Pada pendahuluannya, Cak Aksin mengukuhkan lokus kajian yang disuguhkan pada buku ini, yakni tidak hanya mengurai Islam Nusantara secara historis saja namun juga mengurai watak internal Islam Nusantara (hlm. 5). Model dakwah di Nusantara yang dilakukan para pendahulu bernuansa damai menjadi watak Islam Nusantara. Dengan tidak mengubah esensi dari Islam itu sendiri melainkan hanya pada ranah aksiden. Dengan kata lain, tidak mengubah secara total apa yang ada dan tidak mengurangi nilai pokok apa yang diajarkannya.

Penulis bertolak dari Pribumisasi Islam-nya Gus Dur, yang membawa islam tanpa harus menghilangkan budaya lokal. Juga bukan untuk menjadikan subordinasi pada salah satu variabel tersebut. Dengan kata lain, budaya lokal menampung norma-norma Islam yang universal dan berkedamaian.

Namun, penulis tidak hanya copy-paste dari gagasan masyhur Gus Dur, namun merekonsiliasi ulang agar kontekstual dan solutif terhadap zaman dan segala tantangannya. Islam Antroposentris-Transformatif yang menjadi gagasan segar penulis menawarkan Islam yang berkedamaian. Mengingat akhir-akhir ini marak gerakan Islamisme yang berwajah keras. Kendati, semangat menegakkan syari`at Islam secara kaffah, namun malah mencederai Islam itu sendiri dengan tindakan kekerasan yang menjauhi Syari`at Islam itu sendiri.

Watak Islam Nusantara yang berkedamian akan salah kaprah jika dimaknai secara harfiah. Kedatangan para Kolonialis yang membawa misi kristenisasi tidaklah diartikan harus disambut secara damai. Namun perlunya membuat gerakan-gerakan yang membendung kristenisasi tersebut. Corak sufistik Islam pada masa tersebut menjadi ujung tombak perlawanan melalui para syekh tarekat terhadap kolonial (hlm. 115).

Baca juga:  Polemik dalam Kitab Fikih Wanita Klasik: Risalatul Makhid dan Masailun Nisa’

Cak Aksin juga berpijak dari gagasan Hassan Hanafi tentang ‘Akidah ke Revolusi’, penulis menyuguhkan nalar Islam Nusantara yang transformatif. Bukan islam yang hanya berbicara ihwal ukhrawi, namun juga duniawi.Bukan yang hanya menikmati kebahagiaan akhirat saja, namun juga kebahagiaan di dunia.

Bagi penulis, pemaknaan atas agama perlu direformasi ulang. Orientasi ketuhanan perlu diawali dengan orientasi kemanusiaan. Meminjam istilah Gus Dur, `Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela ialah Kemanusiaan.’ Perihal eskatologis-teologis, perlu direkonstruksi dengan Islam berkemanusiaan. Dengan orientasi yang seperti di awal sangat minim dapat memberikan kontribusi yang solutif bagi kehidupan manusia di bumi ‘fana’ ini (hlm.252).

Seringkali para penganut eskatologis-teologis malah mengolok-olok kemajuan, kebebasan berfikir, tekonologi dan lain sebagainya itu. Bukanlah menggandeng nilai kemajuan tanpa melepaskan agama juga dapat meraih kemajuan? Terlebih malah dapat menunjukkan jati diri Islam yang tidak hanya disebut sebagai agama langit, namun juga agama yang berkemanusiaan. Di sisi yang lain, kemajuan barat yang malah mendegradasi kemanusiaan. Maka, sudah tidak relevan lagi jika masih digembor-gemborkan nalar keberislaman yang eskatologis-teologis.

Keterlibatan Tuhan, alam, dan manusia dalam konsep Islam Antroposentris-Transformatif yang digagas oleh penulis menjadikan Tuhan sebagai puncak eksistensi, dalam kata lain, Tuhan sebagai penggerak manusia sebagai legislasi moril manusia di dunia. Bukan seperti kalangan ekstrimis yang menjadikan manusia sebagai eksekutor peran Tuhan yang bom sana-sini.

Baca juga:  Mengenang Masa Kecil: Ngaji Turutan

Sedangkan alam, menjadi kreasi Tuhan sebagai lahan legislasi moril manusia atas perintah Tuhan. Hal ini juga berkebalikan dengan kaum ekstrimis yang menjadikan alam sebagai tempat eksekutor manusia atas manusia lain yang dilegitimasi atas nama Tuhan.

Di sini pentingnya membaca perintah Tuhan secara manusiawi, yang dapat menciptakan keharmonisan alam serta kedamaian manusia. Kendati menggunakan budaya lokal dalam menciptakan kedamaian toh tidak menghilangkan esensi dari Islam itu sendiri. Perdamaian, toleransi, moderat, inklusif menjadi tujuan dari konsep Antropsentris-Transformatifnya penulis yang dalam bahasa agama disebut dengan “Islam Rahmatan lil `Alamin”.

Setelah membaca buku ini, kita akan memiliki pengertian yang lebih ramah dalam beragama. Terlebih, kita akan menjadikan agama tidak sekadar ibadah mahdoh saja, namun agama sebagai ajaran yang dilingkupi oleh hak dan dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan kemanusiaan.

 

Judul               : Menusantarakan Islam (Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang Tak                      Kunjung Usai di Nusantara)

Penulis             : Dr. Aksin Wijaya

Cetakan           : 3, 2015

ISBN               : 978-602-95005-8-5

Tebal               : xvi + 308

Penerbit           : Nadi Pustaka

ISBN               : 978-602-95005-8-5

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top