Sedang Membaca
Antroposentrisme: Mengenal Manusia, Awal Ilmu Mengenal Tuhan

Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam, UIN Walisongo Semarang.

Antroposentrisme: Mengenal Manusia, Awal Ilmu Mengenal Tuhan

Antro

Ilmuwan memperkirakan bahwa alam semesta sudah terbentuk sejak 13,7 miliar tahun yang lalu, sedangkan umat manusia dengan peradaban paling awalnya diperkirakan baru muncul beberapa ribu tahun lalu. Dan kini, dengan rentang waktu kemunculanya yang sesingkat itu, kemampuan eksplorasi manusia hampir-hampir menyentuh batas makro (kosmologi) dan mikro kosmos (fisika kuantum).

Manusia adalah makhluk istimewa, ia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 30-38, Allah mengingatkan kita tentang skenario penciptaan itu. Semula malaikat ragu dengan kemampuan dan potensi Adam, hingga Allah mengajarkan Adam nama-nama benda dan ia mampu menyebutkanya, dan malaikat pun bersujud, kecuali iblis.

Allah membekali manusia dengan akal pikiran yang denganya manusia dapat memahami kebenaran baik melalui ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah-Nya. Namun, Allah juga memperingatkan tentang setan yang membisikan pikiran jahat dan hawa nafsu yang menyondongkan hati manusia pada kesesatan. Sehingga dalam upaya pencarian maupun proses memahami kebenaran dengan akal pikiranya tersebut, manusia juga berpotensi memperoleh ilmu pengetahuan yang justru bisa menjauhkanya dari kebenaran, yaitu ketika “mereka merasa senang dengan ilmunya” sikap congkaknya ini menjadikan mereka menolak bukti-bukti yang nyata dari Allah (Lihat QS. Ghafir: 83).

Ilmu pengetahuan rawan menjadikan manusia sombong dan ingkar terhadap Tuhan, di antaranya karena pikiran itu pada hakekatnya otonom dalam menentukan sebab-akibat tanpa memerlukan keterlibatan Tuhan. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali sempat menerangkan, “Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu.”

Baca juga:  Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Gus Baha dalam banyak ceramahnya sering menyinggung perihal ini, bahwa orang sering tertipu dengan hukum adat (sunatullah) yang membuatnya lupa dengan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak juga sebagai Musabbibal Asbab (penyebab segala sebab), bahkan tak terkecuali para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. sampai-sampai Allah perlu menurunkan mukjizat di luar kebiasaan. Namum demikian, kata Gus Baha, “Agama Islam datang dengan kenyamanan berpikir,” sehingga tetap relevan dengan perkembangan IPTEK.

Optimisme ilmu pengetahuan modern dalam mencari penjelasan final dan kepastian mutlak atas segala sesuatu, khususnya sejak Copernicus “mendepak” kedudukan istimewa manusia sebagai pusat alam semesta (geosentrisme) dengan mengajukan gagasan heliosentrisme, peranan Tuhan pun mulai dikesampingkan dalam kehidupan manusia. Newton sendiri pernah menegaskan bahwa Tuhan hanya punya peran pada permulaan waktu penciptaan alam semesta, dan setelahnya alam semesta dibiarkan berjalan mandiri dengan prinsip-prinsip mekanis.

Lalu pada awal abad ke-20, optimisme tersebut diguncang oleh perkembangan di bidang fisika kuantum yang justru memperlihatkan ketidakpastian sebagai ciri intrinsik realitas. Werner Heisenberg sebagai pencetus prinsip penting dalam mekanika kuantum, pernah berkata, “Teori kuantum tidak lagi memungkinkan deskripsi alam yang sepenuhnya objektif.”

Dalam bidang kosmologi juga dikenal adanya prinsip antropik yang kembali menegaskan antroposentrisme yang dulu pernah disingkirkan Copernicus. Perihal antroposentrisme ini, Karlina Supelli menjelaskan mengenai pentingnya kedudukan manusia sebagai syarat batas untuk memahami alam semesta, yaitu, “Pengakuan metodologis akan ciri antropologis pengetahuan.”  Dengan kata lain, alam semesta tidak mungkin bisa dipahami tanpa mempertimbangkan hadirnya pengamat sadar (manusia), bahkan alam semesta mustahil wujud tanpa manusia. Di sini menjadi relevan sebuah ungkapan masyhur dalam khazanah sufi, “Jika bukan karenamu, tak akan Ku ciptakan alam semesta.”

Baca juga:  Membayangkan Agama di Era New Normal

Menegaskan antroposentrisme, berarti juga mengakui adanya subjektivitas yang justru menjadi syarat penting diperolehnya pengetahuan, tidak semata-mata berambisi mengejar objektivitas dan kepastian mutlak. Sebab jika manusia semata-mata mengejar objektivitas, ia akan rawan terjebak dalam kesombongan yang membuatnya lupa diri dan lupa akan hakekat penciptaanya di dunia, yang pada giliranya, ilmu pengetahuan yang didakunya objektif itu justru akan menjadi hijab antara dirinya dengan Tuhan.

Dalam Fihi Ma Fihi, Jalaluddin Rumi pernah menyampaikan, walaupun manusia paham tentang seribu satu persoalan dunia dan beragam cabang ilmu, pada hakekatnya, itu semua untuk kepentingan diri mereka sendiri. “Mereka memasuki hal-hal detail dalam ilmu pengetahuan. Mereka sangat paham hal-hal yang tak ada kaitanya dengan mereka. Sementara ada sesuatu yang sangat penting dan lebih dekat kepada manusia daripada apapun yaitu jiwanya. Tapi orang tidak tahu, seorang alim sekali pun. Ia tidak mengenal jiwanya.”

Jadi, proses pencarian ilmu yang benar itu haruslah menuntun seseorang lebih dekat dalam mengenal dirinya, dan barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top