Ustadz Cinta adalah nama yang kami sematkan kepada seorang ustadz alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir. Perawakannya tinggi besar. Jubah ala Timur Tengah yang dikenakannya membuatnya tampak seperti habib-habib terkenal. Di antara ustadz yang lain, Ustadz Cinta adalah sosok yang paling ‘nyunnah’.
Setiap mengawali pelajaran, sang ustadz membuka dengan kata-kata mutiara bertema cinta. Jarang sekali ada siswa yang mengantuk karena terus mendapatkan bahan gombalan. Kula’an (belanja), begitu kami menyebutnya. Hal ini cukup beralasan mengingat para santri yang tidak memiliki sarana komunikasi selain surat. Memulai atau menutup surat dengan petikan quote dari Ustadz Cinta tentu membuat segalanya menjadi lebih indah.
Ushul fikih (ilmu metodologi pengambilan hukum Islam) adalah materi yang diampu olehnya. Harus diakui bahwa waktu belajar 12 tahun di Mesir membuatnya terlihat begitu mudah membacakan kitab dan menjelaskannya secara lebih luas. Di masa itu, jarang ada ustadz yang bisa membuat santri nyaman belajar ushul fikih karena kerumitannya.
Ia membelalakkan mata banyak santri ketika menyebut dirinya sebagai penganut mazhab Imam Hanafi. Di pesantren saya, semua kitab dan teks keagamaan yang dikenalkan selalu bermazhab Syafi’i. Wajar jika para santri kemudian mencak-mencak setelah mengetahui Ustadz menganut mazhab yang berbeda.
Yang lebih menggeramkan, Ustadz kerap meledek pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang terlalu kaku di beberapa bagian. Ia membandingkan dengan pendapat Imam Hanafi yang cukup luwes dalam memandang persoalan tertentu. Belakangan saya memahami mengapa Ustadz Cinta melakukan itu. Ia barangkali ingin menunjukkan bahwa realitas beragama itu beragam. Tak perlu menyalahkan satu dengan lainnya.
Namun ada satu situasi di mana Ustadz Cinta terlihat marah bukan kepalang. Tepatnya ketika menyebut satu nama tokoh yang dianggapnya keliru dalam memahami agama. Sang tokoh adalah pendiri gerakan Islam urban yang sangat terkenal pada tahun 2000-an awal. Sembari menyinggung mereka dulunya adalah satu almamater, Ustadz Cinta tampak berapi-api menantang tokoh tersebut untuk berdebat.
Saya pun bertanya-tanya, mengapa sosok yang membuka mata kami untuk terbuka melihat perbedaan, kok tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu keras dalam menyikapi perbedaan? Pertanyaan tersebut semakin menjadi-jadi ketika saya membaca tulisan-tulisan tokoh yang dimaksud saat di bangku kuliah.
Menurut saya, pendapat-pendapat sang tokoh masih sangat standar, terutama apabila membawa tulisan itu ke ranah kajian akademik. Ada banyak pemikir muslim yang memiliki pendapat lebih mind-blowingness. Semestinya perbedaan haruslah disikapi dengan kepala dingin sebagaimana ditunjukkan Ustadz Cinta sebelumnya.
Di satu hari saya kaget luar biasa saat secara tidak sengaja menonton konser musik perdamaian di YouTube. Koolulam, sebuah grup musik sosial yang menyuarakan isu-isu perdamaian Israel, menyanyikan lagu ‘One Love’-nya Bob Marley bersama 1000 orang dari kalangan Yahudi, Kristen, dan Islam yang belum pernah bertemu sebelumnya. Mereka menyanyi bersama di Menara Daud, salah satu bangunan bersejarah di kota Yerusalem.
Dalam keterangan pembuka videonya, dijelaskan bahwa acara tersebut dilangsungkan untuk menyambut kunjungan historis salah satu tokoh muslim Indonesia.
Di salah satu adegan saya melihat secara jelas wajah Ustadz Cinta bersama dengan audiens lain melafalkan ‘One Love… One Love’. Beberapa kali saya ulangi bagian itu untuk memastikan apakah saya tidak keliru.
One love… One love… Let’s get together and feel alright.
Saya kemudian menangis haru melihatnya. Ustadz is back! Lebih terharu ketika mengetahui bahwa agenda kunjungan ke negara tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian atas nama kemanusiaan. Tokoh muslim yang dibersamai oleh Ustadz Cinta menyampaikan bahwa agenda kunjungan tersebut meneruskan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid beberapa tahun silam.
Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan Ustadz Cinta pasca lulus sekolah pada tahun 2012. Beberapa kali saya melihat postingan-postingan di media sosialnya. Isinya tentang pengajian yang diampunya. Juga beberapa pendapatnya soal politik kebangsaan yang sempat memanas beberapa waktu yang lalu. Keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan yang banyak membicarakan relasi agama dengan kehidupan sosial barangkali menjadi faktor penting peralihan sikap keagamaan sang ustadz.
Ada satu hikmah yang bisa saya ambil. Perjumpaan bisa menghancurkan tembok permusuhan. Hingga hari ini saya memang belum mengetahui sikap Ustadz Cinta terhadap pemikiran tokoh yang saya sebut di awal. Apakah masih sama dengan yang dulu, atau sudah berbeda sama sekali. Namun kiatnya untuk ambil bagian dari perjuangan perdamaian atas nama kemanusiaan cukup membuat saya yakin bahwa cintalah yang membawanya ke Yerusalem. Sebagaimana yang dilakukan Gus Dur beberapa waktu silam.
Kisah Ustadz Cinta menguatkan pendapat-pendapat yang kerap diucapkan di warung kopi. Sekaku-kakunya alumni pesantren, ketika mereka sudah membaca lebih banyak buku, ketika mereka sudah berjumpa dengan berbagai realitas sosial, mereka akan berubah menjadi pribadi yang lebih islami. Artinya, pemahaman yang kaku bin radikal itu penting sebagai pondasi beragama. Namun dalam implementasi ada banyak ruang negosiasi.
Ahli fikih yang sebenar-benarnya ahli pasti memahami situasi ini.
Sementara ada banyak orang yang mencatut dirinya sebagai ustadz tetap mengobarkan sentimen permusuhan disebabkan kurangnya bacaan dan pengalaman yang didapatkan olehnya. Sebagaimana pernah Gus Dur ucapkan, semakin tinggi ilmu seseorang semakin besar pula rasa toleransinya.
Setelah menonton video klip itu, saya kemudian berandai-andai, bagaimana kalau orang-orang semacam Ustadz Cinta ini yang banyak muncul di permukaan. Tentu kehidupan beragama di Indonesia akan semakin romantis.
Tapi apa daya. Banyak orang yang mengkalim dirinya ustadz hanya mengenal agama seperti apa yang diajarkan pada anak usia dini. Hanya mengenal hitam putih. Iblis dan malaikat. Teman dan musuh. Maka materi-materinya kebanyakan menyinggung siksa. Kalau pun menyinggung surga, mentok-mentok pada sisi hawa nafsunya. Puluhan bidadari-lah. Tenaga tujuh puluh kuda-lah. Apakah seminar-seminar poligami bagian dari simulasi? Hadeh.
Agama pun tidak lagi terlihat sisi romantisnya. Padahal jika menampilkan wajah agama (Islam) sebagai agama kemanusiaan, hidup kita akan diisi dengan sejuta keindahan. Wallahua’lam.