Kamus al-Munjid merupakan kamus yang cukup populer di kalangan pembelajar bahasa Arab. Bisa dikatakan, kamus ini yang pertama kali terbit pada tahun 1903 ini merupakan salah satu kamus bahasa Arab terlengkap dan terpopuler. Namun di beberapa kalangan, kamus ini menjadi polemik karena sang mualif-nya adalah dua tokoh Katolik Lebanon bernama Louis Ma’luf dan Bernard Tottel.
Selain itu, keberadaan beberapa ilustrasi yang dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam, misalnya gambar Nabi Adam dan Hawa, Nabi Isa, dll, menjadi catatan tersendiri mengapa kamus ini menjadi polemik. Sampai-sampai ada yang melarang menggunakan kamus al-Munjid karena dikhawatirkan melunturkan akidah. Di Indonesia, tentu di kalangan yang titdak mempermasalahkan kamus ini, al-Munjid ini sempat populer menjadi nama orang. Misal ada nama Ahmad Munjid, dll.
Yang patut menjadi pertanyaan adalah, apakah bahasa Arab adalah bahasa yang beragama?
Jika merunut sejarah, bahasa Arab usianya jelas lebih tua dari agama Islam. Tradisi sastra sudah mengakar di masyarakat Arab pra-Islam, sehingga salah satu yang dibuat gagah-gagahan masyarakat Arab pada waktu itu adalah karya sastra. Semakin indah syair dari seseorang, semakin hebat pula orang tersebut. Karenanya, Alquran diturunkan di tengah peradaban Arab berupa ‘sastra’ tiada tanding.
Untuk membuktikan bahwa Alquran adalah wahyu karena tidak mungkin seorang manusia bisa membuat hal demikian, Allah SWT ‘menantangnya’ melalui sebuah ayat.
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Artinya: Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS Al-Isra’ 17:88).
Pada saat itu, ada seorang nabi palsu bernama Musailamah mencoba meniru Alquran. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah ‘surat’ tentang gajah (Al-Fiil).
Alfiil, maal fiil/
wa maa adrakamaal fiil/
lahu dzanabun wabiilun/
wa khurthuumun thawiil
Terjemahan:
Gajah. Tahukah Anda, apa itu gajah?/
Apakah gajah itu?/
Dan tahukah anda apakah gajah itu?/
Ia berekor pendek & berbelalai panjang
Itulah kehebatan Alquran seperti biasa dicontohkan oleh para penganjur agama. Tata bahasa yang indah, makna yang dalam, dan hikmah yang didapat ketika membaca dan mendengarnya tidak mungkin ditandingi dengan karya mana pun. Inilah bukti bahwa Alquran memang bahasa langit yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi orang yang beriman sekaligus menjadi pengingat bagi yang lain.
Namun bukan berarti karena Alquran yang berbahasa Arab adalah kitab suci umat Islam, lantas menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang eksklusif untuk umat Islam. Alquran yang berbahasa Arab adalah satu hal dan bahasa Arab sebagai budaya suatu masyarakat adalah hal yang lain. Jika menganggap bahasa Arab sebagai bahasa agama Islam, maka yang terjadi adalah kerancuan.
Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang mendengar ada seseorang yang ngomel-ngomel karena menganggap adanya kristenisasi di ruang publik. Ceritanya pada waktu musim natal, ada sebuah stasiun yang menayangkan kanal luar negeri yang tengah membahas kelahiran Yesus Kristus. Katanya, “Saat ini kristenisasi sudah luar biasa. Mereka mulai menguasai bahasa Arab agar kaum muslim terkecoh.”
Selain contoh tv, dicontohkan pula bagaimana orang tersebut menemukan fakta banyak kaos-kaos kristen yang menggunakan bahasa Arab. Saya sendiri memiliki teman yang mengenakan kaos yang dimaksud, yaitu bertuliskan ‘Abana’ yang berarti: bapakku.
Inilah kerancuan yang dimaksud ketika meletakkan agama atau produk budaya lainnya pada agama tertentu. Namun kenyataan itu membuat saya mengerti mengapa beberapa kalangan sangat ngoyo mengarabkan Islam. Artinya, hal-hal yang terkait dengan Arab diorientasikan pada agama Islam. Sampai-sampai, rasanya tidak islami jika menyapa seseorang dengan sebutan ‘lur’, ‘dab’, ‘ndes’, lebih-lebih ‘bro/sis’ yang dari bahasa Inggris.
Eksklusivisme yang ekstrim malahan lebih wagu. Hal ini bisa dilihat dari kasus di negeri jiran Malaysia yang melarang non-muslim menggunakan frasa ‘Allah’ untuk menyebut Tuhan. Sempat diperbolehkan pada putusan pengadilan tinggi pada tahun 2009, pada tahun 2013 penganut Katolik dan Kristen kembali dilarang menggunakan kata ini untuk menyebut Dzat Yang Maha Kuasa. Lalu, siapa sebenarnya yang menjauhkan manusia dari Tuhannya?
Beberapa waktu yang lalu sempat viral video cuplikan kualifikasi piala dunia antara Mesir melawan Kongo. Yang menarik adalah suara komentator yang mengucapkan basmalah beberapa kali sebelum Mohammad Salah melakukan sepak penalti di menit-menit akhir. Yang membuat saya cukup tergelitik adalah membaca komentar-komentar di YouTube yang berdebat tentang Mesir sebenarnya negara agama atau bukan. Mentang-mentang berbahasa Arab, njuk Islam, gitu?
Padahal, di televisi Arab, kata ‘Ya Allah’ sangat biasa digunakan untuk menyatakan kekaguman. Saya pernah melihat highlight pertandingan sepak bola Liga Premier Inggris. Ketika seorang striker mencetak gol dengan fantastis, sang komentator menyebut-nyebut nama striker tersebut sembari dibarengi kata ‘Ya Allah’ berulang kali.
Jika Anda masih menganggap belajar bahasa Arab harus dengan orang yang Islamnya kenthel, maka Anda perlu saya ajak ngopi. Muktamar NU tahun 1930-an memang pernah memfatwa haram membaca buku karangan non-muslim, tetapi dengan catatan bagi orang yang tidak bisa membedakan mana agama dan mana ilmu. Mana yang fantasi dan mana yang beneran. Jika sudah ngimpi basah atau haid, ya mesti bisa dong membedakan itu semua. Maka tak perlu takut menggunakan referensi karangan non-muslim, apalagi akut menganggap bahasa Arab sebagai bahasa khusus penganut agama Islam. Wallahua’lam.