
Di dekat kediaman saya ada dua masjid yang sama-sama difungsikan sebagai pusat kegiatan masyarakat. Jaraknya cukup berdekatan, hanya sekitar dua ratus meter. Dari cerita sesepuh kampung, dulu masjid hanya ada satu. Namun ketika ‘masjid lama’ akan direnovasi, penduduk mendirikan ‘masjid baru’ untuk menggantikan fungsi masjid lama yang diprediksi memakan waktu beberapa bulan atau bahkan tahun.
Masjid baru pun berdiri. Segala pusat kegiatan beralih di masjid sederhana ini. Namun ketika tahapan renovasi masjid lama selesai, ternyata sebagian warga terlanjur nyaman menggunakan masjid baru. Toh, kalau dikembalikan ke masjid yang lama, bagaimana nasib masjid yang baru?
Kedua masjid kemudian sama-sama dihidupi. Masjid baru banyak digunakan oleh penduduk kampung, sementara masjid lama dimanfaatkan oleh penduduk perumahan. Lokasi masjid lama memang sangat dekat dengan klaster perumahan yang baru didirikan circa 2010-an.
Ketika awal pindah ke kampung ini, ada seorang kolega yang kebetulan sudah lama tinggal di kampung yang sama menceritakan beberapa hal terkait dua masjid yang jaraknya tak seberapa ini. “Kalau tarawih, di masjid selatan (masjid baru) rakaatnya 23. Kalau masjid utara (masjid lama), rakaatnya 11,” ujarnya.
Ia sekaligus menjelaskan pernah mengikuti salat tarawih di kedua masjid tersebut. Katanya, meski jumlahnya berbeda, waktu totalnya cukup mirip karena di ‘masjid lama’ ceramah dan durasi shalatnya cukup panjang. Sementara masjid baru lebih ‘ekspres’. Tarawih bukan sekadar ritual, tapi sudah berubah menjadi medium beroperasinya ideologi tertentu.
Tahun ini adalah Ramadan pertama saya di kampung tersebut. Sebagai ‘debutan’, saya cukup penasaran dengan cerita dari kolega. Ndilalah, saya mendapat jadwal menjadi imam dan penceramah di ‘masjid baru’ yang katanya rakaat tarawihnya ‘tanpa diskon’. Namun saya juga ingin mengetahui bagaimana berjalannya tarawih di ‘masjid lama’.
Di hari pertama ikut tarawih, saya cukup gusar dengan situasi yang ada. Sang imam membaca surat panjang dengan durasi yang lumayan. Shalat Isya kami lalui setidaknya sepuluh menit. Dua rakaat tarawih sekitar lima menit. Saya membatin, bagaimana kalau sampai 23? Biasanya, jika rakaatnya 23, durasinya agak dipercepat.
Namun saya cukup lega sekaligus bertanya-tanya karena setelah rakaat ke delapan, bilal membaca doa dan mengisyaratkan jamaah memasuki shalat witir. Entah mengapa, di lubuk hati terdalam, saya malah plong karena jumlah rakaatnya sebelas. Padahal bagi nahdliyin angka 23 ini sangat ideologis.
Seusai shalat, saya berbincang dengan takmir dan beberapa warga yang masih bertahan. Salah satunya adalah pengurus ranting NU. Katanya, jumlah rakaat sebelas merupakan keputusan yang diambil agar masyarakat tetap mau tarawih. “Daripada dipaksa 23 malah tidak ada yang mau tarawih kan, mas?” tanyanya. Iya juga, sih.
“Tadi sebenarnya bacaan imamnya kepanjangan. Besok kalau mas jadi imam, cukup surat-surat pendek saja, ya?” sambungnya. “Jangan lupa ada bismillah-nya,” ujarnya, menegaskan posisi identitas ‘masjid baru’ yang ‘walau begini’ tetap ‘hijau’.
Sepanjang jalan pulang ke rumah saya tersenyum karena menyadari kontestasi dan negosiasi terjadi dalam ruang bernama masjid melalui medium tarawih. Alih-alih mempersoalkan, saya justru melihatnya sebagai bentuk rhizomatik yang penting dalam mendewasakan masyarakat. Wallahua’lam.
Yang saya tidak suka dari artikel ini adalah terlalu memaksakan identitas keorganisasian. Seolah-olah kalau muslim itu harus ikut NU atau bukan NU, atau kalau NU tarawihnya harus 23 atau pakai basmalah.
Silahkan dicari pendapat mana yang benar, apakah tarawih itu 11 atau 23, atau salat itu pakai basmalah atau tidak. Tapi kalau sudah disambung-sambungkan ke NU, malas saya.
NU itu cuma organisasi, bukan mazhab atau manhaj. Tidak ikut NU juga bukan jadi masalah.