Sedang Membaca
Bertemu Gus Nul
Sarjoko S
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Kajen, Pati. Aktif di Gusdurian, Jogjakarta. Selain menulis, juga suka fotografi dan desain.

Bertemu Gus Nul

Gus Nul

Saat pertama kali diajak moderatori Gus Nul di acara diskusi Festival Ramadhan di Sleman City Hall, saya bertanya-tanya, siapa itu Gus Nul? Saya pun bertanya ke panitia, “Gus Nul dulunya personil ERWE Band, band beraliran Ska asal Jogja. Bagian dari Jogja Hip Hop Foundation. Namun sudah beberapa tahun band yang cukup tenar di era 2000-an tersebut vakum”, jawabnya singkat.

Merasa kurang puas dengan jawaban panitia—alias makin penasaran—Saya pun bertanya ke Mbah Google, biar dapat data yang lebih komprehensif. Secara, moderator gitu.

Pada 2015, Gus Nul yang dulunya dikenal sebagai Wowok, menempuh jalan spiritual seperti banyak artis di masa itu. Hijrah, begitu istilah yang beken di era 2010an akhir. Meski Gus Nul juga merasa istilah hijrah masih terlalu berat disematkan padanya. “Lha taubat saja masih belum sempurna, kok sudah hijrah,” ujarnya. Hijrah baginya sebuah perjalanan yang lebih jauh dan ia masih dalam tahap belajar menuju ke sana.

Ia meninggalkan gemerlap dunia panggung untuk belajar agama. Dari masjid ke masjid. Dari daerah ke daerah. Hingga satu waktu, dia kembali ke Jogja. Di kota ini pula, ia memulai langkah untuk berbagi pengalaman spiritual kepada orang lain.

Gus Nul bukan anak kiai. Bahkan bukan keluarga kiai. Julukan Gus adalah pemberian teman-temannya. Mungkin, banyak yang merasa nyaman dengan cara pria bernama asli Djati Pambudi Wibowo tersebut bergaul dan mengenalkan mereka pada ajaran agama. Jadilah ia mendapat sapaan ‘Gus’ yang dalam tradisi pesantren memiliki posisi yang sangat terhormat. Sementara nama ‘Nul’ diambil dari gaya ‘khas’ dirinya membuat vlog makanan. Saat menaruh makanan ke sambal atau lainnya ia berucap ‘nul nul nul’.

Baca juga:  Ulama Banjar (205): H. Asfiani Norhasani, Lc

Di Jogja, ia menyediakan ruang bagi teman-teman lamanya untuk belajar Iqra. Selain Iqra, Gus Nul telaten juga menemani 80-an orang tamunya ngopi sampai subuh. Jadilah majlis rutinan yang diisi para seniman dan orang-orang yang hidupnya sangat ‘bebas’. Meski, pandemi membuat kegiatan yang sengaja tidak dikasih nama ini rehat.

Selain di rumah, Gus Nul kerap diajak untuk solawatan di kafe, acara musik, dan banyak tempat yang dianggap gelap. Ia menyambut undangan-undangan itu tanpa bertanya ini itu. Pernah satu waktu ia diminta shalawatan di tempat konser. Ia pun menjalaninya dengan senang hati. Kapan lagi orang-orang ini bisa bershalawat? Ia juga kerap bersilaturrahmi ketika melihat pemuda yang tengah nongkrong.

Dalam berdakwah pun punya satu prinsip: baginya, dakwah bukan misi. Ia tidak punya target apapun. Jadi tidak ada istilah gagal. Mission failed. Jika apa yang disampaikannya bermanfaat, itu semata-mata dari Allah. Jika pun belum, ia tidak akan kecewa. Karena sebagai makhluk, tugasnya hanya menyampaikan.

Tampilan Gus Nul bagi sebagian orang mungkin menimbulkan stigma tertentu. Saya pun awalnya demikian. Namun saya sangat terkejut karena dari segi mana pun, dia sangat cah pondok sekali. Meski tidak pernah mondok di pesantren fisik, bertahun-tahun ia silaturahmi. Ia berkeliling menemui para kiai dan guru yang membimbing. Justru, pengalaman masa lalunya yang membuatnya sangat dewasa dalam beragama karena ia tidak pernah berada di menara gading seperti sebagian ‘gus betulan’.

Baca juga:  Said Ramadhan al-Buthi: Dakwah Itu Butuh Cinta!

Satu hal, ia tidak mau membangun sekat karena identitas. Ia bisa berteman dan nongkrong bareng siapapun. Orang-orang Kiri, Kanan, geng tawuran, hingga pemabuk berat, diajak jagongan. “Karena mendengar itu juga dakwah,” ujarnya. Singkatnya, dia bukanlah sosok yang anti terhadap sesuatu. Bukan bagian dari orang yang menghukumi orang lain karena berbeda.

Ada salah satu konten Instagrammnya yang sangat menarik. Ia dan beberapa temannya membuat sitkom bernama SARKEM (Serial Ramadhan Keluarga More). Dari namanya sudah woles kan? Wkwk. Di konten tersebut ada orang yang protes karena melihat orang makan di tengah hari berpuasa. Gus Nul kemudian menasehati, menyebut Ramadan itu mulia, maka tidak perlu kita minta dimuliakan. Jika ada orang yang tidak berpuasa barangkali karena mereka memang tidak punya kewajiban untuk berpuasa. Kenapa harus repot?

Konten tersebut mengingatkan saya pada petuah Gus Dur. Jika kita muslim yang terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati yang tidak puasa. Wujud dari ajaran Islam yang merangkul, bukan memukul.

Di masa pandemi, karena ia merasa punya waktu lebih, ia meluncurkan sebuah single berjudul ASANAWA: Allahumma shalli ‘ala nuril anwari wa sirril asrori. Lagu tersebut merupakan proyek pribadinya, Dabwok Project. Menunjukkan betapa jalur spiritualnya memengaruhi segala aspek hidupnya, termasuk bermusik. Ya, dari lirik lagunya, kita bisa tahu betapa sosok Gus Nul sangat merindukan Nabi Muhammad. Shallu ‘alan Nabi Muhammad.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top