Tahun baru, semangat baru, harapan baru. Begitu ungkapan lazim bila memasuki tanggal 1 Januari, tahun baru Masehi. Di hari pertama tahun 2020 ini saya justru berduka mengenang mereka yang meninggalkan hidup di tahun 2019, seorang sahabat perempuan saya di pertengahan Oktober dan seorang guru saya di akhir November.
Kemudian saya berpikir, barangkali kesedihan saya hanyalah refleksi dari keegoisan saya semata; manusia yang bingung mengapa tiba-tiba dilahirkan di dunia, dipaksa menjalani hidup sebaik-baiknya, lalu menjadi terlalu asik menghidupi hidup, tapi justru lupa bahwa suatu hari harus “pulang”. Bahwa memang puncak hidup adalah mati. Melalui pengalaman yang memeras perenungan tersebut, kematian sahabat dan guru saya sukses menghantam kesadaran hidup yang baru.
Baiklah saya akan jujur, bukan tentang sahabat saya, melainkan sang guru. Dia adalah almarhum Jeihan Sukmantoro yang wafat di tanggal 29 November 2019 lalu. Saya terlambat menuliskan ini, saya akui. Perlu waktu untuk menerima sebuah kenyataan tentang mati, pun untuk mengendapkan renungan atas beberapa pemikiran, nilai, serta sikap beliau yang bisa saya teladani. Perjumpaan pertama saya dengan Jeihan berlangsung di bulan Januari juga, empat tahun silam.
Kala itu, saya sedang mengemban amanat untuk mewawancarai almarhum terkait kebutuhan penulisan esai di katalog pameran tunggal pelukis Nasirun. Saya ingin berbagi kepada pembaca, sedikit dari hasil penulisan esai saya tersebut yang berjudul “JEIHAN: Tawa Sang Petarung”. Semoga menyemai hikmah.
JEIHAN: Tawa Sang Petarung
Entah jalan takdir apa yang membimbing saya hingga tiba di tempat asing ini, sebuah rumah empat lantai dengan desain ruang per ruang yang sangat luas, nyaris terlihat kosong. Ruang tamunya berkonsep sederhana, pun ditata dengan cara sederhana, hanya beberapa sofa dan meja kaca menghiasi sudut ruang tersebut. Meskipun demikian, kesederhanaannya itu justru menciptakan nuansa klasik yang bercitarasa seni. Hal itu terbukti dari lukisan-lukisan potret ekspresionis yang berjejer di sepanjang dinding ruangan, saling mencuri kesan bagi tiap pasang mata yang memandang. Di sinilah saya terdampar, di bangunan studio milik seorang seniman kawakan Bandung berdarah ningrat Solo, Jeihan Sukmantoro.
Berbeda dengan proses wawancara seniman-seniman lainnya, Jeihan tanpa aba-aba menolak secara tegas untuk memberikan testimoni mengenai Nasirun dan rencana pelaksanaan pameran tunggalnya. Hening, waktu seakan membeku, pagi mendadak kelabu. Akan tetapi, sejurus kemudian dia menyerahkan tulisan pengantar untuk Nasirun yang telah dia buat persis sebelum kedatangan saya dan tim pewawancara hadir ke studio miliknya. Pembacaan isi tulisan pengantar tersebut membuat kami semua terbahak. Jeihan dengan kegilaan kreatifnya berhasil memperdaya kami pada momen awal perjumpaan. Sekilas dari ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gaya bicara, ia terlihat sangat arogan. Namun ternyata, itu semua hanya topeng permainan belaka untuk menyembunyikan maksud aslinya. Melalui kecepatan berpikirnya, Jeihan telah menduga-duga isi dan proses wawancara yang akan kami lakukan. Dengan asumsi itu, ia kemudian menciptakan cara unik tersendiri untuk menyampaikan pendapatnya tentang Nasirun. Di momen itulah kami mulai menyelami dan memahami sisi kepribadian Jeihan, sejengkal demi sejengkal.
Bila mengamati dengan jeli, Jeihan memang bukan pribadi yang mudah dibaca, apalagi ditaklukkan. Kepercayaan dirinya yang terlampau tinggi seringkali disalahtafsirkan sebagai suatu kesombongan. Nyatanya, seniman yang terkenal dengan lukisan mata hitamnya tersebut justru memiliki kecenderungan esensi sufistik dalam jiwanya. Ada semacam aura kepasrahan di balik ambisi-ambisi hidupnya yang tinggi, yakni bahwa ada suatu kekuatan Maha Besar yang selama ini menjadi singgasananya untuk bersandar dari gelombang pasang-surut kehidupan.
Bagi seorang Jeihan, kehidupan adalah panggung komedi dimana tiap manusia dapat memilih untuk “mempermainkan atau dipermainkan dunia”. Keyakinan tersebut kemudian membentuk dirinya untuk tidak terlalu serius memandang hidup karena akan selalu ada sisi paradoksal yang menjadikan hidup terasa begitu menggelikan. Ini menunjukkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan penuh atas hidup yang diperjuangkannya. Contoh kisah, ketika suatu hari sepulang Jeihan dari luar kota, ia memperoleh berita bahwa mobil barunya hilang dicuri. Bukannya bersedih, marah, atau kecewa pada keadaan, Jeihan justru hanya berkomentar singkat, “Ya tidak apa-apa. Bagus malah garasinya bisa lebih longgar!”.
Secara tersirat cara pandang Jeihan melukiskan bahwa tanpa nafsu kepemilikan atas manusia, materi, dan benda-benda, seseorang tiada akan pernah mengalami rasa patah hati karena kehilangan sesuatu. Memiliki namun tanpa rasa memiliki, dan tentunya sangat beraroma satir. Dengan cara tersebut, kita akan mampu melampaui kesedihan atas penderitaan-penderitaan hidup dengan cara menertawakannya.
“Semua orang yang bersih itu bisa ketawa lepas, HA HA HA. Kalau orang kotor, mingkem saja. Seperti Nasirun, orangnya bahagia. Oh, dia blokosuto, bisa ngguyu. Guyu itu larang lho. Apa adanya. Jujur. Itu penting karena sekarang kan orang munafik semua,” tegas Jeihan mengenai karakter utama Nasirun yang senang berguyon.
Selama momen bercerita tentang pengalaman-pengalaman hidupnya, Jeihan membawa kami melihat seluruh isi studionya yang berlantai empat. Tidak hanya sebatas itu, beliau pun lalu mengajak kami menyusuri mulai dari rumah-rumah kosong miliknya di kebun belakang studio tersebut, hingga ke batu nisan makam yang telah dipersiapkan untuk kematiannya kelak. Menyaksikan itu semua, saya menjadi tertegun begitu terinspirasi atas luapan kegilaan, semangat, dan keteguhan prinsip Jeihan dalam sikap hidup serta idealisme berkesenian.
Persembahan untuk Jeihan
Batu nisan dan cara pandang Jeihan tentang kematian, semakin membuat saya tergugah dengan kepribadiannya. Siapakah yang akan begitu gembira menyambut maut, jikalau dia bukan kekasih yang penuh kerinduan? Tepat ketika berita wafat beliau sampai ke saya, terselip keyakinan bahwa rasa berduka saya pasti berbanding terbalik dengan sukacita almarhum yang memang sudah lama menantikan momen puitis dan magis akan kematian ini. Di titik itulah, sebuah puisi untuk Jeihan lahir sebagai pengejawantahan khidmat saya untuk beliau:
SEBUAH MAKAM TELAH MENUNGGU
Kepada: Jeihan Sukmantoro
Bertahun-tahun kau menyapa maut
yang tidak juga singgah
sedang di tepian suraumu
sebuah makam telah menunggu
untuk dihuni
untuk diziarahi.
Berkali-kali kau mengajak
ke rumah jasadmu kelak
pahatan batu nisan
lengkap dengan imaji kematian.
Kini selesai sudah hidup
maut yang kau tantang
mendekapmu kala petang
di sudut temaram
makam yang telah menunggu
menyambut lelah penantianmu.
Ah, barangkali puncak kerinduan
mengetuk pintu langit
menggiring doa-doa
yang melesat masuk
dan sukmamu pun takluk.
Jakarta, Des 2019
Tiap kali saya bertamu pada Jeihan, di sela-sela luapan semangat ketika bercerita, beliau selalu menegaskan dengan keyakinan yang terpancar dari matanya “saya sudah selesai, semua sudah tercapai, dan saya hanya menunggu mati”. Betapa jujur dan berani sikap hidup semacam itu! Teladan kejujuran dan keberanian macam itulah yang selalu bergema menguatkan saya dalam meniti jalan kehidupan, demi kelak menjumpai kematian saya sendiri. Selamat pulang, Jeihan. Selamat kembali ke pangkuan Tuhan. Sebagaimana puisi yang pernah engkau guratkan:
AKU
dariMu
hamba datang
kepadaMu
hamba pulang.