Masyarakat Jawa khususnya masyarakat Yogykarta dan sekitarnya kerap melaksanakan kegiatan malam tirakan pada malam tujuh belas Agustus. Akan tetapi pada semarak kemerdekaan Indonesia yang ke-75, dalam rangka memutus penyebaran covid-19, beberapa daerah seperti Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, meniadakan malam tirakan tersebut.
Malam tirakan merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang dihelat di tingkat desa, dusun, RW dan RT, sebagai uangkapan syukur lantaran telah dianugrahi kemerdekaan. Di samping, untuk mendoakan para pahlawan kemerdekaan. Tirakatan semakin sakral dengan kehadiran tumpeng yang diberi bendera merah putih berukuran kecil di atasnya.
Dalam praktiknya, tempat untuk laki-laki dan perempuan dibedakan. Sementara para tokoh masyarakat diberi tempat paling depan dan ditunjuk untuk membuka acara dan memberikan sambutan tentang refleksi peringatan hari kemerdekaan. Setelah itu, tokoh agama setempat –jika ada tokoh agama yang lain, biasanya diberikan giliran (kesempatan)– memimpin renungan yang dilanjutkan dengan doa untuk keberlangsungan bangsa agar selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa, menjadi lebih baik, adil, dan makmur.
Istilah tirakat sendiri berasal dari kata bahasa Arab “Thariqah”, yang karena gejala ablaut (yakni perubahan bentuk kata karena bunyi volal) kemudian berubah ucap menjadi “Tirakat”. Istilah tirakat ini dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai salah satu cara untuk menaklukkan diri sendiri. Ini artinya, tirakat dilakukan karena didorong oleh niat pribadi dan dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Berdasar uraian tersebut maka, dapat dikatakan, tirakatan merupakan suatu bentuk prilaku untuk meningkatkan kesadaran mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, pada umumnya dilakukan pada malam hari, oleh tiap individu maupun kelompok. Tirakatan juga bisa berarti berjaga bersama dalam suasana tenang dan bersiap siaga menyonsong datangnya kejadian penting, misal peringatan HUT RI.
Perlu dicatat, tirakatan bukan bentuk perhelatan pesta pora, melainkan suatu bentuk kepedulian bersama yang berisi kesiapan, melek (berjaga), siap siaga agar acara atau peristiwa yang akan dihadapi dapat berjalan dengan lancar dan baik. Tirakatan harus dilaksanakan dalam keadaan tenang, prihatin, mawas diri, memohon, dan membaca perjalanan hidup yang telah dan sedang akan dikerjakan.
Dengan demikian, menurut Mohammad Damami (2002), tujuan pokok tirakatan antara lain adalah meningkatkan ketahanan diri, baik lahir maupun batin, meningkatkan diri dalam kaitannya dengan diri sendiri, keluarga, lingkungan, masyarakat, dan Tuhan.
Akan tetapi, tak dapat disangkal bahwa tradisi malam tirakatan ini tak semua pihak atau golongan menghelatnya terutama bagi kalangan masyarakat Islam modernis seperti Muhammadiyah –dan apalagi kalangan masyarakat Islam puritan. Biasanya, mereka sengaja tidak melakukan atau pun mengikuti tradisi tirakatan karena dinilai bertentangan dengan faham keagamaan mereka.
Namun berbeda dengan masyarakat Islam tradisional seperti NU. Warga NU biasanya melakukan tradisi ini dengan diiringi tahlilan dan sholawatan bersama-sama yang dipimpin oleh seorang kiai di tiap-tiap RT atau di masjid.
Menurut Zunly Nadia (2017), faktor penting dalam mempengaruhi pelaksanaan tradisi malam tirakatan seseorang atau kelompok memang adalah faham keagamaan yang terkait dengan pergulatan agama dan tradisi. Selain itu, tradisi ini dapat dilihat dalam kerangka tiga jaringan makna, yaitu modernitas, agama, dan budaya nenek moyang.
Menurtnya lagi, ketiganya saling terkait dan saling mempengaruhi dalam momen tradisi malam tirakatan. Melihat tradisi malam tirakatan dalam kerangka modernitas karena tradisi tirakatan ini dibawa dalam momen peringatan HUT kemerdekaan, di samping juga diadakan di bawah institusi pemerintah. Sedangkan tradisi malam tirakatan ini dalam kerangka agama bisa dilihat dalam pelaksanaan tradisi yang mana paham keagamaan sangat mempengaruhi terhadap pelaksanaan malam tirakatan tersebut.
Sementara dalam kerangka budaya nenek moyang, tradisi malam tirakatan ini memang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa – sebagaimana yang telah diurai di atas. Hal ini menandaskan bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari kegita jaringan makna tersebut. Dari ketiga jaringan makna ini, kita dapat melihat makna malam tirakatan yang plural dan sesuai dengan latar belakang masyarakat Jawa.
Oleh karenanya malam tirakatan ini dilaksanakan tiap tahun sekali maka ia pun menjadi tradisi di masyarakat. Tujuannya juga positif, yaitu untuk bersyukur terhadap kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia dan juga mempererat kekeluargaan di tengah masyarakat – juga, di tengah himpitan pandemi dan menguatnya kelompok-kelompok intoleran.
Akhirnya, meskipun malam tirakatan kali ini ditiadakan karena pandemi bukan berarti rasa syukur kita kepada Tuhan dan rasa hormat kita pada para pahlawan kemerdekaan juga ikut tereduksi. Justru sebaliknya, dalam upaya mengganti malam tirakatan itu sendiri, kita harus saling medoakan, merawat, dan menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat dan bernegara.