Jelas sudah bahwa, seruan untuk mengunci pintu ijtihad muncul di abad ke 4 hijriah. Hal ini tentu dan banyak mengundang pertanyaan. Karena metodologi berijtihad sudah mulai dibukukan sejak 2 abad sebelumnya. Wahbah az-Zuhaily menyatakan, diantara faktor yang melahirkan seruan itu adalah fanatisme mazhab (ta’asshub mazhabi) dikalangan umat muslim saat itu. Sisi lain, fenomena keahlian dalam berijtihad juga menyeruak pesat.
Tak hanya itu, ajakan untuk menutup dan mengunci pintu ijtihad juga karena yang ahli justru takut berijtihad, sementara yang tidak memiliki keahlian, mereka berani mengambil berijtihad. Gagasan untuk menutup pintu ijtihad sesungguhnya absurd. Karena ia adalah suatu keniscayaan sejarah, dan hukum melakukannya adalah fardu kifayah. Sedangkan, problematika dalam kehidupan, setiap saat terbarukan (dinamis) dan itu menuntut adanya pihak yang berupaya memberikan penyelesaian.
Namun demikian, karena syarat dan kompetensi yang terlampau ideal dalam berijtihad membuat seseorang minder untuk mencapai “maqam mujtahid”. Di antara syarat yang mungkin menggelikan adalah harus memiliki keahlian (bulugh an-nihayah) bahasa Arab (baik gramatika maupun kesusastraannya). Syarat ini dikemukakan oleh Imam Taqiyyuddin as-Subky, ayah dari Tajuddin as-Subky pengarang kitab Jam’ul Jawami’. Ada juga yang mensyaratkan hafal Qur’an dan hadits secara keseluruhan.
Faktanya, praktek ijtihad memang lebih “purba” dibandingkan ilmu ushul fiqh sendiri. Rasululullah pun berijtihad bahkan, beradu ijtihad dengan para sahabat. Meski berposisi sebagai utusan Tuhan, beliau tidak menutup pintu ijtihad sahabat-sahabatnya. Nabi bukanlah pohon besar yang menghalangi pohon-pohon kecil di bawahnya mendapat sinar matahari.
Sebelum metodologi ijtihad dirumuskan dalam ilmu ushul fiqh, justru ijtihad merupakan aktivitas keseharian umat muslim dalam memahami dan membumikan syariat, tanpa ada kaidah khusus dan ada rumusan khusus mengenai syarat-syaratnya. Konteks historis akhirnya menghendaki dibukukannya rumusan metodologi ijtihad tersebut sebagai respon atas perbedaan pendapat di kalangan umat Islam saat itu (ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi).
Alih-alih berijtihad, rupa-rupanya ulama ushuliyyun berbeda pendapat dalam menentukan syarat ijtihad. Tajuddin as-Subki lebih memilih tidak mensyaratkan level dalam ahli-keahlian Bahasa Arab. Al-Ghazali juga tak mengharuskan calon mujtahid memahami seluruh al-Qur’an dan hadits, melainkan hanya yang berkenaan dengan ayat al-ahkam (sekitar 500 ayat) dan hadits ahkam.
Di samping itu, ulama ushuliyyun melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam teori ijtihad agar ijtihad tetap bisa dilakukan. Di antaranya lewat gagasan tajazzu’ al-ijtihad (spesialisasi ijtihad) dan maratib al-mujtahidin (hierarki mujtahid). Al-Ghazali adalah yang termasuk menyetujui gagasan spesialisasi ijtihad ini. Dalam kitabnya al-Mustashfa, beliau menyatakan bahwa seseorang bisa saja berijtihad dalam suatu bidang hukum tertentu yang ia kuasai.
Berbeda halnya dengan mazhab syafi’iyah yang menetapkan tiga level mujtahid yakni, mujtahid mutlak, mujtahid mazhab, dan mujtahid fatwa. Karena itu, jika kita melihat definisi fiqh sebagai hasil ijtihad, berarti yang bisa memperoleh pengetahuan fiqh hanyalah mujtahid mutlak.
Jikalau tak menyetujui pintu ijtihad sudah terkunci (tertutup), maka harus ada kontribusi nyata dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat penyelesaiannya di masa lalu dalam perspektif keagamaan (fiqh).
Memahami hukum dengan pendekatan substansial (Maqashid al-Syari’ah)
Sudah mafhum bahwa, Islam dipahami sebagai ajaran yang terkaits erat dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Salah satu cara pemahaman kontekstual adalah dengan cara menggunakan pendekatan hermeneutik.
Kalau kita perhatikan dalam kitab-kitab tafsir, fiqh dan lain-lain yang ada di Indonesia, sedikit yang mempertimbangkan ruang sosial, dimana pembaca berada sebagai medan epistemologi. Yang banyak, ketika berbicara tentang kontekstualitas teks selalu merujuk dan berhenti pada konteks kearaban yang melahirkan teks, atau mengontruksi nilai secara umum. Bukan mengerucut pada proses ruang sosial dimana penafsir berada.
Jelasnya, bahwa hukum-hukum yang muncul pasca wafatnya Rasulullah Saw bukannya diadopsi begitu saja kedalam suatu lingkungan masyarakat, akan tetapi yang harus dilakukan adalah sebuah upaya untuk mengadaptasikannya kedalam lingkungan tersebut. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah, sesungguhnya Islam bisa benar-benar shalih li kulli zaman wa makan.
Kita tahu bahwa, pemahaman substansial adalah dengan menarik nilai substansi dari setiap teks-teks dalil hukum Islam yang ada selama ini dan berbahasa Arab. Pemahaman seperti ini, hemat saya, lebih dekat pemaknaannya pada maqashid al-syari’ah, karena substansi dari dibuatnya hukum adalah untuk kemaslahatan semua makhluk hidup di dunia ini. Abu Zahrah menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyari’atkan, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah, melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan.
Karena itu, dalam memaparkan hakikat maqashid al-syari’ah, kita bisa mengemukakan bahwa dari segi substansi, maqashid al-syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk; pertama dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas (sebab-akibat). Kedua, dalam bentuk majazi yakni, bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan.
Al-Syathibi mengatakan, bahwa kemaslahatan bisa dilihat dari dua sudut pandang, yakni, pertama Maqashid al-Syari’ (Tujuan Tuhan), kedua Maqashid al-Mukallaf (Tujuan makhluk yang terkena beban hukum). Dari sini jelas, hakikat atau substansi awal pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat di wujudkan apabila, lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Diantaranya, adalah agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Dengan demikian, maka tujuan hukum itu berada pada dua orientasi kandungan, dan kedua kandungan itu adalah, pertama al-Mashalih al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia), kedua al-Mashalih al-Ukhrawiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat). Keterikatan mashlahah dengan dua orientasi merupakan ciri yang melekat pada hukum Islam. Izzuddin ibn Abd al-salam menegaskan bahwa: “Maslahat itu mencakup dunia dan akhirat. Manakala kemaslahatan itu sirna, maka rusaklah urusan keduanya, dan jika muncul kerusakan, maka hancurlah penghuni keduanya.”
Senada dengan Izzuddin ibn Abd al-salam pendapat yang dikemukakan oleh Ramadan al-Buthi yang menyatakan: “Meraih kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemas lahatan akhirat.” Syahdan, dengan melakukan pemahaman secara substansial, setiap makhluk Allah akan merasakan bahwa hukum adalah “shalihun likulli zaman wa makan”. Relevan untuk diadaptasikan kapan dan di mana saja makhluk Allah Swt berada. Wallahu a’lam bisshawaab.