Istiqamah memberi pengajian kitab dan menulis buku, serta menguji argumen pemikirannya melalui forum bahtsul masail itulah KH. Afifuddin Muhajir, Rais Syuriah PBNU dan Waklil Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah serta Naib Mudir Ma’had Aly Sukorejo Situbondo. Adalah salah satu ulama yang sangat alim di bidang ushul fiqh dan gigih memperjuangkan Indonesia. Tak pernah belajar diluar, baik di Timur apalagi di Barat. Bahkan seluruh jenjang studinya, mulai dari Madrasah Ibtida’iyah hingga strata satu, diselesaikan di pondok tercintanya yaitu, Pesantren Sukorejo.
Meski tak pernah studi di Timur dan Barat, beliau tak boleh diremehkan begitu saja. Setau saya, beliau memang terkesan hemat bicara. Namun, ketika tampil di forum bahtsul masail, kefasihan dan kepiawaiannya beliau terlihat sangat powerfull dalam memberikan suatu ibarah dan teks nash. Tak hanya itu, Kiai Afif juga sangat mengusai teks-teks Arab; dalam hal ini kitab kuning sebagai makanan sehari-harinya.
Dengan penguasaan yang komprehensif atas literatur khazanah keislaman, khususnya ushul fiqh seperti Ghayatul Wushul, Lubbul Ushul hingga kitab rakasasa Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin as-Subki, Kiai Afif makin kukuh dikatakan sebagai seorang yang faqih dan ushuli. Lebih dari itu, kedudukannya sebagai ahli fiqh telah dibuktikan dengan karya-karyanya, salah satunya kitab yang berjudul Fathul Mujibul Qarib, syarah terhadap kitab at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani.
Abdul Moghsit Ghazali mengatakan, salah satu santri kesayangan Kiai Afif, “beliau itu kalau dibidang ushul fiqh kemampuannya tidak bisa terbantahkan. Sudah puluhan makalah terkait metode istinbathul ahkam telah selesai ditulis dan dipresentasikan. Beliau menulisnya dengan judul as-Syariah al-Islamiyah baynats Tsabat wal murunah.”
Lompatan-lompatan pemikiran ala Kiai Afif ini masih sangat langka. Banyak pakar yang mengakui bahwa gagasan beliau sangat original. Belum tentu mereka yang puluhan tahun mengeyam pendidikan di pesantren bisa memiliki pandangan serupa. Apalagi sekelas ustad muallaf yang baru hijrah kemaren sore. Gagasannya lahir dari permenungan yang mendalam serius (ijtihad). Pikirannya lahir sebagai jalan keluar atas problem dasar negara yang cukup rumit dipecahkan.
Karena itu tak heran jika, sekelas Kiai Miftachul Akhyar menyebut Kiai Afif sebagai salah satu jimat NU yang harus dijaga. Bahkan mengapresiasi kealiman dan ketawaduan Kiai Afif, dan menyebut masyaikh Mahad Aly Situbondo ini sebagai sosok yang al-raasikhuuna fii al-ilm wal amal. Ala kulli hal, saya pribadi sebagai santrinya berharap Kiai Afif tetap sehat dan terus mengedukasi untuk izzu NU wa al-nahdhiyyin, izzul Islam wal muslimin, izzu Indonesia wal indunisiyyin.
Hal lain yang tak kalah menarik dari Kiai Afif adalah bukunya “Fiqh Tata Negara”. Dalam buku ini yang sering dibahas dan dibedah oleh Kiai Afif adalah terkait dengan konsep gagasan Negara Pancasila. Buku ini menjadi salah satu buku rujukan terbaik dalam kajian politik, khususnya politik Islam. Tak hanya itu, buku ini juga yang menjadi topik utama pidato pada pengukuhan gelar kehormatan dibidang fiqh dan ushul fiqh di UIN Walisongo Semarang Rabu 20 Januari 2020 kemaren.
Tak seperti kebanyakan pemikir lain yang lebih memilih menempel pada ayat atau hadits pada butir Pancasila, Kiai Afif lebih memilih argumen metodologis dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh.
Menurut Kiai Afif, kategori pancasila itu ada tiga. Pertama, bahwa pancasila itu adalah لا تحالف السريعة tidak bertentangan dengan syariah. Kedua, pancasila adalah توافق بالشريعة selaras dengan syariah. Ketiga, pancasila itu adalah هي السريعة بعينها syariat Islam itu sendiri. Rupa-rupanya NU memilih yang kedua bahwa, pancasila itu selaras dengan syariat. Selaras artinya dalam hal, ketika melacak hadits-hadits dan ayat-ayat al-Qur’an, banyak kita temukan ayat yang selaras dengan semua sila-sila yang ada didalam pancasila. Bahwa pancasila, khususnya sila pertama adalah mencerminkan nilai tauhid.
Syahdan, pancasila merupakan dasar negara, bukan syariat. Namun, sila demi silanya tidaklah bertentangan dengan ajaran syariat, bahkan sejalan dengan syariat itu sendiri. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman yang mengacu kepada al-Qur’an surah Al-Ikhlas.
Sebagai ideologi negara, pancasila dapat mempersatukan beragam etnis, suku, golongan, dan agama yang ada di seluruh wilayah kekuasaan Negara Indonesia. Pancasila merupakan hasil ijtihad para pendiri bangsa yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh muslim. Sangat dimungkinkan bahwa, anggota tim perumus teks pancasila yang beragama Islam, tidak semata mendasarkan rumusannya pada pertimbangan akal sehat semata, melainkan juga pada prinsip ajaran dan akidah Islam. Hal ini semakin menguatkan pandangan dan pikiran kita bahwa Pancasila itu sangat Islami.
Namun demikian, di kalangan pakar hukum Islam, terjadi perbedaan pandangan tentang qanun wadh’i (hukum positif) yang kebetulan selaras dengan hukum syar’i (hukum syariat). Ada yang berpandangan bahwa qanun wadh’i tidak bisa dengan serta-merta diklaim sebagai hukum syar’i. Sebab, hukum syar’i mempunyai landasan dan metode perumusan yang berbeda dengan qanun wadh’i.
Pandangan lain mengatakan bahwa, qanun wadh’i yang selaras dengan hukum syar’i bisa dimasukkan kejajaran hukum syar’i. Pandangan kedua ini lebih realistis dalam menghadapi pertarungan politik, terutama menyangkut persoalan yang sangat krusial, yaitu penetapan syariat. Berangkat dari pandangan kedua tersebut, Pancasila dan pemberlakuan undang-undang yang selaras dengan hukum syar’i dapat diklaim sebagai hukum syar’i.
Sebagai dasar negara, pancasila wajib dijadikan acuan dan pedoman dalam pembuatan ketentuan hukum dan perundang-undangan pada berbagai levelnya. Ironisnya, sampai saat ini di negara yang berasaskan Pancasila ini, masih banyak berlaku undang-undang dan aturan hukum yang diimpor dari luar. Harus ada upaya تنديس القانون (Indonesiaisasi undang-undang) sebagaimana Mesir telah melakukan تمصيرالقانون (Mesirisasi undang-undang). Dengan begitu, kita telah melakukan pembinaan, bukan pembinasaan.
Sebenarnya, hemat Kiai Afif, kehadiran negara bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sebuah sarana untuk mencapai tujuan (wasilah). Oleh karena sebagai instrumen maka, wataknya lentur dan tidak rigid. Ia bisa bergerak dinamis sesuai hajat hidup manusia. Watak inilah yang membuat Islam bisa survive terhadap perubahan waktu dan tempat dimanapun ia berada, termasuk di Indonesia. Al-Qur’an dan hadits tidak merincinya secara tehnis dan terperinci. Dua dalil primer tersebut banyak mengulasnya secara universal dan makro. Hal ini sebagaimana tercermin dalam prinsip permusyawaratan, keadilan, egaliter, dan kebebasan.
Ide ala Kiai Afif ini menjadi imunitas baru bagi NU yang sedari awal getol berjuang mempertahankan negara pancasila. Cuma bedanya, jika pendahulunya baru sampai pada kesimpulan pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka Kiai Afif lebih progres dari itu. Beliau berani mengatakan bahwa Pancasila adalah syariat itu sendiri. Kesimpulan itu beliau rilis tanpa harus dicurigai sebagai antek Barat dan liberal serta tanpa perlu mengimpor teori Barat sebagaimana pendahulunya semisal Almarhum Gus Dur. Mana tega menyebutnya liberal dan antek Barat sementara waraknya sudah level papan atas, satu level dibawahnya warak para Nabi dan seluruh hidupnya dihabiskan di pesantren. Wallahu a’lam bisshawab…