Di akhir abad ke-20, wacana tentang pembaruan pemikiran Islam menjadi perbincangan yang cukup seksi di kalangan para intelektual Muslim Indonesia – meski sebenarnya wacana ini telah lama bergulir di kawasan Timur Tengah. Tak pelak, ruang-ruang akademis maupun non-akademis selalu diwarnai dengan ide-ide pembaruan Islam. Tokoh sentral yang sangat getol mengampanyekan gagasan itu seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Para tokoh itu, kemudian mencoba melakukan eksplorasi (penafsiran keagamaan baru) secara kritis dan kontekstual terhadap ajaran agama (Islam) untuk memformulasikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan dan kondisi objektif masyarakat modern. Sehingga, agama terkesan tidak dipaksakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Juga tujuan agama sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin) dan petunjuk bagi umat manusia (hudan lin nas) tetap bisa dirasakan.
Model pembacaan baru yang dilakukan mereka terhadap teks-teks ajaran agama (Islam) itu, pada gilirannya mengilhami generasi baru para intelektual Muslim dari kalangan terpelajar – meski tak sedikit pula ada yang menolaknya – dengan mulai menunjukkan kecenderungan pemikiran yang lebih dinamis, progresif, dan humanis dalam memandang agama. Mereka (generasi baru) tak lagi hanyut dalam persoalan “halal-haram”, tapi memfokuskan pada aspek penggalian pesan-pesan “moral-etik-universal” yang terkandung dalam ajaran agama. Salah satu intelektual Muslim dari generasi baru tersebut, dan tentu namanya sudah tak asing lagi di telinga khalayak adalah KH Abdul Moqsith Ghazali.
Kiai Moqsith dan Pembaruan Islam
Sebuah pemikiran atau teori tidak lahir begitu saja tanpa sebelumnya didahului oleh suatu fenomena yang melatarbelakanginya. Begitu pula dengan gagasan pembaruan pemikiran Islam Kiai Moqsith sapaan akrab KH Abdul Moqsith Ghazali. Pemikiran pembaruannya tidak berangkat dari ruang kosong, namun kegelisahan demi kegelisahan yang dialaminya secara khusus dan umat Islam pada umumnya memaksa Kiai Moqsith untuk menggulirkan gagasannya.
Kegelisahan yang dimaksud ialah; munculnya wajah tafsir keagamaan yang bercorak diskriminatif dan intimidatif di tengah masyarakat. Mirisnya, hal ihwal dilakukan oleh sebagian yang mengklaim dirinya beragama Islam. Kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan dan saling mengkafirkan di internal umat Islam sendiri, merupakan wujud nyata produk tafsir tersebut. Sehingga, atas nama agama mereka tak segan-segan untuk melakukan perang seperti pembunuhan massal dan aksi terorisme.
Bertolak dari kegelisahan itulah kemudian Kiai Moqsith mencoba menggulirkan pemikiran pembaruannya yang sangat brilian itu. Menurutnya, hal yang mesti dilakukan dalam upaya pembaruan pemikiran Islam adalah: Pertama, membenahi cara pandang kita terhadap Al-Quran. Seperti diketahui bersama, secara bentuk teks Al-Quran telah sempurna, namun ketahuilah bahwa maknanya tetap cair dan dinamis. Bahkan, salah satu alasan paling kuat yang menjadi sumber kebesaran Islam adalah dimungkinkannya keberagaman penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Tidak mengherankan ketika satu ayat Al-Quran sampai pada orang berbeda selalu terbuka peluang bagi lahirnya produk tafsir yang berbeda pula. Ini berarti tidak ada interpretasi final terhadap Al-Quran, apalagi muncul klaim kebenaran tafsir sembari menganggap produk tafsir lain keliru dan salah. Itu sebabnya dalam literatur tafsir dikenal beragam jenis tafsir, yaitu tafsir ilmi (tafsir berbasis pada temuan sains), tafsir fiqhi (tafsir berbasis hukum), dan lain-lain.
Ketidak-finalan penafsiran Al-Quran itu, menurut Kiai Moqsith disebabkan sekiranya seluruh isi kandung yang terdapat di dalam Al-Quran dikategorisasikan, maka hanya akan terdiri dari dua jenis; Ushul Al-Quran (ayat-ayat fundamental) dan Fushul Al-Quran (ayat-ayat partikular-kontekstual). Termasuk pada kategori ayat Ushul adalah ayat-ayat yang berbicara tauhid, cinta-kasih, penegakan keadilan, dukungan terhadap pluralisme, perlindungan terhadap kelompok minoritas serta tertindas. Menurutnya, ayat Ushul ini bersifat abadi dan lintas batas-batas etnis juga agama. Dan ia tak boleh dihapuskan, tapi harus direalisasikan.
Sementara ayat yang tergabung dalam jaringan ayat partikular-kontekstual adalah ayat yang hidup dalam sebuah konteks spesifik. Misalnya, ayat tentang jilbab, aurat perempuan, waris, hukum potong tangan, dan kisas. Jika kita telah mengetahui bahwa ayat itu bersifat partikular-kontekstual, menurut Kiai Moqsith umat Islam seharusnya tak perlu bersikeras untuk memformalisasikannya dalam sebuah perangkat undang-undang. Sebab, yang dituju dari sanksi-sanksi hukum dalam Al-Quran ialah untuk memberi “efek jerah”, bukan yang lain. Sekira dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka kita tak perlu untuk kembali ke bentuk hukum primitif yang dinilai brutal, semisal hukum pancung, dan lain-lain.
Dengan melakukan pembagian semacam itu, Kiai Moqsith hendak bermaksud pada kita bahwa tidak semua isi kandungan dari Al-Quran dapat direalisasikan dalam laku hidup sehari-hari. Sebab, terdapat ayat-ayat Al-Quran yang maknanya wajib diperjuangkan di satu sisi, dan ada juga ayat yang maknanya tak perlu bahkan memang tak sesuai jika direalisasikan di sisi lain. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi zaman yang memaksa kita untuk tidak menerapkannya. Apalagi memaksakan.
Kedua, memahami secara benar tentang pokok-pokok risalah kenabian. Menurut Kiai Moqsith, risalah kenabian adalah risalah kemanusiaan, bukan risalah pembantaian juga kekerasan. Setiap nabi lahir ia membawa mandat (pesan) yang amat sakral untuk disampaikan pada umat manusia, yaitu pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, Tuhan menciptakan manusia secara berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan menghargai, bukan saling membantai atau membasmi.
Kendatipun ada perbedaan keyakinan dan agama di kalangan umat manusia bukanlah menjadi alasan untuk merendahkan kemanusiaan seseorang. Apalagi menghilangkannya. Sebab, perihal keyakinan dan agama adalah persoalan individual antara seorang manusia dengan Tuhannya. Lebih jauh, Allah memberi kebebasan penuh bagi manusia untuk memilih satu agama atau keyakinan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 256, La Ikrāha fi al-din (tidak ada paksaan dalam soal menganut agama).
Dengan demikian, jika ada orang yang membunuh umat (penganut) agama lain hanya karena masalah perbedaan agama dan keyakinan, maka sesungguhnya dia telah melanggar risalah kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad (dan tentu nabi-nabi yang lain). Bahkan, Al-Quran menegaskan bahwa barang siapa membunuh satu jiwa sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barang siapa menghidupkan satu jiwa, sama dengan menghidupkan semua jiwa. (QS. Al-Ma’idah: 32) Itulah inti atau sendi ajaran Islam dan risalah kenabian; menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Ketiga, mendayagunakan akal dalam proses penafsiran wahyu. Selama ini dalam proses interpretasi teks-teks kitab suci akal tak banyak dilibatkan. Dengan kata lain, akal mendapatkan porsi yang sangat minim. Bahkan, jika terlalu overdosis menggunakan akal dalam menafsirkan wahyu dicap sebagai seseorang yang telah menyimpang atau keluar dari Islam. Padahal, akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga.
Saking istimewanya akal, tidak heran Abu Bakar Al-Razi atau Rhazes sebutan di dunia Barat salah seorang pakar sains, khususnya di bidang kedokteran juga filosof Muslim pasca Al-Kindi asal Persia (w. 925/935) menyatakan ketika ia menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya; apakah manusia memerlukan nabi dan wahyu Tuhan, setelah Dia memberi akal yang “berasal dari Zat Ilahi-Nya”? Menurut Al-Razi, manusia tak memerlukan nabi atau wahyu sebab, akal sudah cukup untuk mencerahi dan membimbing manusia pada kebenaran. (Majid Fakhri, 2001, 38)
Namun akal, demikian Kiai Moqsith tidak sekadar berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk, tapi lebih dari itu yakni untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, kitab suci tidak mungkin bisa dipahami. Kemudian, Kiai Moqsith menyitir argumen seorang filosof kenamaan asal Andalusia, Ibnu Rusyd dalam kitabnya Fashl al-Maqāl fīmā bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittishāl, bahwa dalam agama, akal berfungsi menakwilkan kitab suci ketika teks kitab suci tak bisa dikunyah akal sehat.
Tak hanya itu, menurut Kiai Moqsith, dalam ushul fikih, akal diberi kesempatan untuk mensortir dan menyeleksi hukum dalam Islam, yang kemudian dikenal dengan istilah takhsīsh bi al-‘aql, taqyīd bi al-‘aql, tabyīn bi al-‘aql. Akal diberikan otoritas untuk menjelaskan ajaran yang samar, membatasi keberlakuan hukum yang terlampau umum, dan mengeksplisitkan sesuatu yang tersembunyi (implisit) dalam teks kitab suci atau wahyu.
Jadi, jelas bahwa akal memiliki peran yang cukup sentral dalam memperkaya wawasan etik wahyu. Dengan kata lain, akal merupakan subjek yang aktif dalam mendinamisasikan gugusan ide-ide ketuhanan dalam wahyu. Sehingga, terlalu berlebihan kiranya ketika seseorang mendayagunakan akalnya dalam penafsiran wahyu dianggap sesat dan menyimpang. Apalagi dihujat. Demikianlah, gagasan pembaruan pemikiran Islam menurut KH Abdul Moqsith Ghazali. Wallahu A’lam