Menuntut ilmu bagi seluruh insan (laki-laki dan perempuan) di muka bumi merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi, “Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap individu muslim”. Namun dalam proses menuntut ilmu tersebut, acapkali seseorang akan menemui pelbagai ujian dan rintangan. Itu artinya, ilmu tidak akan diperoleh dengan cara bersantai-santai. Tetapi membutuhkan kesungguhan dan ketekunan serta perjuangan dan pengorbanan yang kuat dalam diri seorang yang mencari ilmu.
Di antara salah satu ulama yang hidupnya dipenuhi dengan perjuangan dan pengorbanan dalam menuntut ilmu adalah Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Razi. Beliau lahir tahun 195 H dan wafat 277 H. Di kutip dari buku Kumpulan Kisah Teladan karya M. Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Thaib, ketika Abu Hatim Ar-Razi berada Basrah pada 214 H, ia berencana menetap di kota (Basrah) selama satu tahun untuk menuntut ilmu kepada para syekh atau ulama (yang ahli di bidang ilmu hadis).
Dari saking semangat dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, suatu ketika perbekalan yang dibawa Abu Hatim Ar-Razi sudah habis. Maka, dia pun terpaksa menjual bajunya satu persatu agar dapat menuntut ilmu hingga akhirnya tidak memiliki biaya lagi (bajunya sudah habis terjual sebagai ongkos mencari ilmu).
Dalam menuntut ilmu, Abu Hatim Ar-Razi bersama teman karibnya berkeliling di kota Basrah mendatangi para syekh untuk belajar ilmu (hadis) hingga sore hari. Juga, ia hanya sekadar berbekal seteguk air sebagai bekal dalam menuntut ilmu. Setelah temannya kembali ke rumahnya, aku pun kembali ke rumahku dalam keadaan lapar, aku pun minum air untuk menghilangkan rasa lapar.
Keesokan harinya, aku berkeliling kembali bersama teman karibku untuk menuntut ilmu (hadis), sedangkan aku dalam keadaan lapar. Seperti biasanya, setelah dia pulang ke rumahnya, aku pun kembali ke rumahku dalam keadaan lapar dan hanya minum air sebagai penghilang rasa lapar.
Kemudian pada keesokan harinya, teman karibku mendatangi aku di waktu yang sangat pagi sembari berkata “Ayo, berangkat lagi menuntut ilmu pada syekh (ulama), maka aku menjawab “Badanku sangat lemah”, ia bertanya kepadaku “Apa yang membuat badanmu menjadi lemah?”, lalu aku menjawab “Aku tidak bisa menyembunyikan lagi perihal kondisiku ini kepadamu, sungguh aku belum makan sejak beberapa hari.
Maka dia (teman karibku) berkata “Aku mempunyai sisa uang satu dinar, aku akan memberikan setengah dinar kepadamu dan setengahnya lagi kau pergunakan untuk membayar sewa. Setelah itu kami (berdua) pergi meninggalkan kota Basrah.
Dari kisah Abu Hatim Ar-Razi ini, kita bisa belajar bahwa menuntut atau mencari ilmu haruslah dibarengi dengan semangat yang kuat, kesungguhan, perjuangan bahkan pengorbanan. Agar segala rintangan yang kita hadapi dapat dilalui, sehingga dengan mudah kita memperoleh sebuah ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, orang yang ingin menuntut ilmu dan memperoleh ilmu, akan tetapi tidak tahan terhadap lelah dan letihnya dalam mencari ilmu. Maka jangan berharap orang tersebut memperoleh suatu ilmu yang ia cari. Karena menuntut ilmu tentu membutuhkan kesabaran dan perjuangan yang sangat dahsyat. Itu artinya, barang siapa yang tidak tahan akan lelah dan letihnya dalam menuntut ilmu, maka orang tersebut akan mendapatkan kegagalan.
Demikianlah, kisah sebagian besar para ulama terdahulu termasuk Abu Hatim Ar-Razi dalam menuntut ilmu penuh dengan kesungguhan, ujian dan rintangan serta pengorbanan. Lalu bagaimana dengan kita, yang saat ini serba ada? Wallahu A’lam
maaf, kisah ini dari kitab apa ya?