Ketika seseorang sedang dimabuk cinta atau lagi kasmaran, tentu perasan yang muncul adalah gelisah bercampur senang berkecamuk dalam jiwa setiap individu. Gelisah, karena khawatir cintanya bertepuk sebelah tangan. Sementara senang, apabila orang yang kita cintai juga memiliki perasaan yang sama. Tidak heran jika ada sebagian orang berpendapat bahwa cinta merupakan sebuah misteri yang tak mudah untuk dipecahkan manusia. Sebagaimana perkataan Budayawan Sujiwo Tejo; kita bisa merencanakan menikah dengan siapa pun, tetapi tidak bisa merencanakan cinta kita untuk siapa.
Dengan sifatnya yang misteri itulah, tak heran jika kegamangan demi kegamangan mulai bermunculan dalam diri sebagian orang dengan menganggap bahwa mencintai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan merupakan ujian hidup yang amat berat dan penderitaan. Memang, diakui atau tidak, ketika kita mencintai seseorang tetapi cinta kita digantungkan (belum ada kepastian) oleh orang yang kita cintai, maka kepedihanlah yang kita peroleh.
Namun, berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i tatkala membicarakan tentang cinta. Sang imam mujtahid itu memiliki pandangan lain akan hal ihwal. Adalah wajar jika Imam Syafi’i menaruh perhatian cukup serius atau peka terhadap persoalan cinta sebab, beliau merupakan seorang yang ahli di bidang sastra. Meskipun tidak sepopuler kajian fikihnya, akan tetapi pandangan-pandang beliau tentang cinta juga cukup menarik untuk dilirik, bahkan diteladani.
Cinta, demikian Imam Syafi’i bukanlah sebuah ujian hidup yang amat berat dan penderitaan sebagaimana yang dipersepsikan oleh kebanyakan orang. Namun, cinta merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia melalui perasaan suka terhadap sesama (manusia). Oleh karena itu, perasaan cinta terhadap seseorang (laki-laki maupun perempuan) adalah hal yang mesti disyukuri dan dijalankan, kendatipun cinta kita tak jarang bertepuk sebelah tangan. Perihal bukanlah ujian hidup ini sebagaimana dinyatakan dalam kitab Diwan al- Imam al-Syafi’i (halaman 18-19) yaitu;
أَكْثَرَ النَّاسُ فِى النِّسَاءِ وَقَالُوْا # إِنَّ حُبَّ النِّسَاءِ جَهْدُ الْبَلَاءِ
لَيْسَ حُبُّ النِّسَاءِ جَهْدًا وَلَكِنْ # قُرْبُ مَنْ لَا تُحِبُّ جَهْدُ الْبَلَاءِ
Banyak orang yang berbicara tentang wanita, dan mereka mengatakan konon mencintai wanita itu adalah ujian hidup yang pedih.
Mencintai wanita bukanlah cobaan hidup yang pedih. Namun, dekatnya orang yang tidak disukai itulah sesungguhnya cobaan hidup yang pedih.
Yang menarik, meski cinta bukanlah ujian hidup, menurut Imam Syafi’i, mencintai seseorang tidaklah semudah mengungkapkan kata-kata atau membalikkan telapak tangan. Pasalnya, tak jarang ketika kita mencintai seseorang, orang yang kita cintai itu belum tentu memiliki perasaan yang sama. Bahkan, sama sekali tindak pernah mencintainya. Walau begitu, menurut Imam Syafi’i, janganlah kita berputus asa. Dan jangan pula kita membalas dengan sikap yang serupa kepada kita (tidak mencintainya).
Akan tetapi, menurut Imam Syafi’i, hal yang mesti dilakukan para pejuang cinta adalah; “kurangilah mengunjunginya, maka akan timbul rasa rindu dan cinta dalam dirinya.” Dengan kata lain, kita dianjurkan untuk tidak sering-sering menemuinya, menghubungi (via WhatsApp, Telegram, Instagram, Facebook, dan lain-lain), dan menanyakan kabarnya (baik melalui teman dekat maupun keluarganya), hari demi hari, waktu demi waktu. Mengapa? Karena hal yang demikian itu malah tidak baik bagi cinta kita. Sesekali bersikaplah cuek kepadanya. Biarkanlah ia sendiri! Sebab, sikap demikian bisa menjadi tahap awal untuk dapat menumbuhkan rasa rindu dan cinta dalam dirinya kepada kita.
Demikianlah, pandangan dan kiat yang ditawarkan oleh Imam Syafi’i kepada para pejuang cinta yang patut diteladani. Wahai para pejuang cinta! Perjuangkanlah cintamu itu dan janganlah kamu berputus asa! Selamat mencoba. Wallahu A’lam