Farag Fouda merupakan seorang pemikir, penggiat hak asasi manusia (HAM), dan kolumnis terkemuka di Mesir. Sebagai seorang intelektual dan aktivis, nama Fouda mungkin tak sepopuler intelektual muslim kontemporer lainnya, seperti: Hassan Hanafi (Mesir), Asghar Ali Engineer (India), Nurcholis Madjid (Indonesia), dan lain sebagainya.
Pasalnya, pemikiran Fouda dianggap kontroversial oleh pemerintah Mesir kala itu, sehingga karya-karyanya dilarang untuk dipublikasikan bahkan dirinya dianggap kafir dan murtad. Kendati demikian, pemikirannya menjadi mercusuar bagi para pemikir Islam setelahnya dan sekaligus menjadi malapetaka bagi kelompok yang menginginkan tegaknya Khilafah Islamiyah.
Selain itu, Farag Fouda juga termasuk intelektual muslim produktif, di antara karya yang dianggitnya, yaitu Al-Haqiqah Al-Ghaibah, Qabla al-Suquth, Hiwar Hawla al-Almaniyah dan lain sebagainya. Namun karya yang dianggap kontroversial dari Fouda, adalah Al-Haqiqah Al-Ghaiba (Kebenaran Yang Hilang). Isi dari buku ini oleh pemerintah Mesir, ulama, dan lawan debatnya (kelompok Islam fundamentalis) dianggap provokatif, menyesatkan, dan bertentangan dengan apa yang diyakini oleh umat Islam. Pasalnya, ia mencoba untuk mengungkap fakta sejarah, yang menurut Fouda disembunyikan oleh umat Islam “perihal perilaku khalifah” setelah Nabi Muhammad Saw. Bahkan, buku ini pula yang menjadi dasar terhadap pembunuhannya.
Sekilas tentang Farag Fouda
Farag Fouda lahir di Kairo (Mesir), tepatnya di Danietta dekat Delta Nil pada tanggal 20 Agustus 1945 M. Latar belakang pendidikannya, sama sekali tak bersentuhan langsung dengan wacana keislaman, akan tetapi dalam dunia pendidikan umum. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai gelar akademik yang disandangnya, seperti gelar Bachelor (sarjana) di bidang pertanian, Master of Science dalam bidang pertanian, dan Ph.D di bidang ekonomi pertanian dari Universitas Ain Syams.
Dalam kesehariannya, di samping sebagai pengajar di Universitas Ain Syams, ia juga sebagai politisi, aktivis sosial, dan hak asasi manusia (HAM), yang kerap menyuarakan tentang hak-hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Bahkan, seumur hidupnya beliau dedikasikan untuk menolak formal-isasi syariat Islam dan penegakan Khilafah Islamiyah yang kerap digaungkan oleh kelompok Islam fundamentalis di Mesir kala itu.
Sebagai seorang politisi, Farag Fouda pernah terlibat dan aktif dalam partai politik, yakni partai Al-Wafd dan Istiqlal. Namun demikian, keterlibatannya di dunia politik tak berlangsung lama. Pada 1984, ia meninggalkan partai Al-Wafd, karena partai tersebut berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen. Sehingga di kala itu, Fouda berseberangan dengan Syekh Salah Abu Ismail yang merupakan ayah dari pemimpin kelompok Salafi Mesir yaitu Hazem Abu Ismail.
Perihal kematian Fouda
Kemudian pada tanggal 8 Juni 1992, Farag Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo. Ia dibunuh oleh dua penyerang bertopeng dari kelompok Jamaah Islamiyah (Gamaa Islamiyah). Sebelum pembunuhan itu terjadi, pada 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas Al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, beralaskan pikiran dan tulisannya, ia tengah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam (murtad dan kafir).
Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya, sehingga boleh dibunuh. Bahkan, sebelum pernyataan ini dikeluarkan, sekelompok ulama yang sama tengah menerbitkan daftar nama-nama yang dianggap memusuhi Islam dan Fouda berada pada urutan pertama.
Kematian Fouda, menggegerkan masyarakat Mesir kala itu. Yang bagi mereka kematiannya bukanlah proses yang instan (mendadak), melainkan pembunuhan yang dirancang secara sistematis. Boleh jadi, keputusan membunuh Fouda tengah diambil beberapa bulan sebelumnya. Pada bulan Januari 1992, berlangsung debat hebat dalam rangka Pameran Buku Kairo. Ada dua kubu yang berdebat: yang satu terdiri dari Fouda dan Muhammad Ahmad Khalafallah (lahir 1916), dan kubu yang lain terdiri dari Muhammad al-Ghazali (1917-1996), Ma’mun al-Hudaibi, dan Muhammad Imara. Konon, 30.000 orang menghadiri debat yang sempat difilmkan tetapi tidak pernah ditayangkan ke publik. Yang diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam, dan institusi khilafah.
Alih-alih perdebatan dan perang ideologis pada Pameran Buku Kairo oleh kedua kubu (kubu sekularis dan kubu Islam fundamentalis) kala itu berjalan lancar, namun kemudian, perdebatan itu pula yang membawa Farag Fouda pada jurang kematian yang tidak seharusnya terjadi. Apa yang diperdebatkan oleh mereka, bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya terjadi perdebatan akut antara ulama dan cendekiawan. Namun perdebatan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1992.
Selain itu, pada saat yang bersamaan, tuntutan penegakan khilafah Islamiyah sudah menjadi konsumsi publik yang tidak hanya terbatas di lingkungan ulama, tetapi menjangkau masyarakat luas. Karenanya, tuntutan tersebut mengundang kaum sekularis (Fouda dkk.) untuk mengomentari isu-isu yang oleh kaum sekularis dianggap sensitif bagi masyarakat luas. Di antara kaum sekularis yang berani dan lantang mengkritisi pandangan kelompok Islam fundamentalis (seperti pembentukan negara Islam, penerapan syariat termasuk hukum kriminal (hudud) di Mesir, dan lain-lain), adalah Farag Fouda. Pemikiran-pemikirannya dengan tajam mengupas kelemahan-kelemahan dalam pandangan kaum Islam fundamentalis.
Ironisnya, pembunuh Fouda adalah pemuda-pemuda yang tak lulus perguruan tinggi dan mereka mencari nafkah serabutan sebagai pekerja tidak terampil. Bahkan mereka tidak tahu membaca (tidak memahami isi dari pemikiran Fouda). Selain itu Muhammad al-Ghazali (lawan debat Fouda) mengatakan, seorang muslim yang telah murtad atau keluar dari agama Islam dapat dibunuh. Dengan demikian menurut al-Ghazali tugas dari pemerintah adalah menghukum mati mereka yang dinilai murtad dari Islam, namun jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka orang lain memiliki hak untuk melakukannya. Yang kemudian dieksekusi oleh Jamaah Islamiyah.
Kritik yang dilancarkan Fouda
Dalam mengkritisi pandangan dan tafsiran kelompok Islam fundamentalis, Fouda tak hanya mengungkap fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari otak mereka. Tetapi dengan fakta sejarah tersebut, ia menunjukkan keadaan yang bertolak belakang dari pemahaman lawan debatnya, dengan menggunakan selera humor yang begitu tajam. Yang menarik dari argumen-argumen yang dilontarkan oleh Fouda, juga bersumber dari kitab-kitab klasik yang tentu saja fakta tersebut dapat dengan mudah diakses oleh kaum Islam fundamental.
Di antara kritikan-kritikan Fouda terhadap kelompok Islam fundamentalis, yang kemudian oleh mereka dianggap kontroversial, sekurang-kurangnya meliputi beberapa hal: Pertama, pandangan mereka yang menganggap periode salaf (zaman para sahabat Nabi dan Khulafa al-Rasyidin), sebagai zaman keemasan yang dirindukan. Namun bagi Farag Fouda, periode salaf tersebut sebagai zaman biasa dan tak banyak yang gemilang, bahkan terdapat jejak-jejak memalukan. Misalnya, khalifah ketiga dari empat khulafa al-Rasyidin, Usman bin Affan, wafat karena pembunuhan politik.
Ironisnya, jenazah Usman tak diperlakukan laiknya seorang pemimpin dan sahabat Nabi, yang menurut riwayat, mereka telah dijamin masuk surga. Jasadnya baru dimakamkan di hari ketiga setelah ia wafat. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian umat Islam enggan untuk menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayat Usman. Yang tak kala tragisnya, ia dikuburkan di pemakaman orang-orang Yahudi, karena jenazahnya tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman umat Islam. Perlakuan semacam ini, sangat tidak lazim bagi umat Islam.
Kedua, anggapan mereka perihal penegakan khilafah Islamiyah sebagai unit politik umat Islam, adalah sebuah keniscayaan. Untuk mengkritisi pandangan mereka, Fouda menyodorkan pelbagai fakta terhadap perilaku para khalifah yang tengah dilupakan oleh mereka, baik dari sejarah dinasti Umayyah maupun Abbasiyah. Misalnya, pendiri Dinasti Abbasiyah, yang dijuluki “Si Penjagal,” mengundang 90 anggota keluarga Umayyah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Pun juga, perilaku khalifah yang buruk dan hedonis, seperti gemar minum-minuman keras, main perempuan, berperilaku seksual menyimpang, dan lain sebagainya, adalah pelbagai contoh yang dikemukakan oleh Farag Fouda untuk mengkritisi pandangan lawan debatnya (kelompok Islam fundamentalis).
Selain itu, pelbagai contoh tentang penindasan terhadap ulama dan penggunaan ulama sebagai justifikasi atas kekuasaannya yang korup. Misalnya, pada pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, selaku khalifah kesembilan dari dinasti Umayyah yang gemar mengumbar nafsu, puluhan ulama mengeluarkan fatwa yang mengatakan ia tidak akan diadili di hari kiamat dan tidak akan di azab. Sebagian ulama lain, seperti Hasan al-Bashri dan Washil bin Atha, takluk dikooptasi oleh khalifah.
Dari kritik yang dilancarkan oleh Fouda terhadap pandangan lawan debatnya, pada dasarnya, ia mencoba untuk melakukan pemisahan antara politik dan agama, negara dan Islam. Yang menurutnya, pemisahan tersebut perlu dilakukan demi kebaikan agama dan negara. Di mana agama terhindar dari manipulasi politisi, dan pemerintahan terlaksana tanpa beban partikularisme keagamaan. Karena bagi Fouda, kehidupan politik didasarkan atas kepentingan dan keharusan sosial, bukan sebaliknya (sebagaimana yang dipahami oleh kelompok Islam fundamentalis).