Setiap orang mempunyai masa lalu. Baik atau buruk. Manis atau getir. Saya pun begitu. Banyak sekali kisah-kisah masa lalu yang belum sempat saya tulis karena keterbatasan waktu. Satu pengalaman masa lalu yang tak menentu adalah “terdampar” di Jakarta.
Dulu, waktu masih duduk di bangku Madrasah Aliah (setingkat SMU) di Pekalongan, sempat terpikir untuk berhenti sekolah. Bukan apa-apa. Saya kasihan sama orang tua, khususnya almarhum bapak, yang tampak kelelahan dan kerepotan menyekolahkan.
Saya bisa memakluminya. Sebagai petani miskin di kampung, makan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja susah apalagi untuk menyekolahkan anak-anak. Meskipun saya sebisa mungkin membantu meringankan bebannya, tapi tetap tak tega.
Misalnya, saya dulu tak pernah minta baju/pakaian seragam sekolah yang baru. Saya rela memakai pakaian-pakaian seragam bekas milik kakak yang juga alumnus madrasah yang sama. Saya juga rela berhemat tak makan apapun yang terbuat dari beras (seperti nasi) hingga tubuh pun kurus kering, supaya bisa meringankan beban orang tua. Tapi tetap saja ada perasaan bersalah.
Akhirnya suatu saat saya kepikiran untuk bekerja saja sebagai buruh di Jakarta. Kebetulan dulu cukup banyak warga kampung yang bekerja dan mengadu nasib di Jakarta: sebagai buruh pabrik, bengkel, pembantu rumah tangga. Ada pula yang jualan bakso, mi ayam, dan lain-lain.
Saat jeda sekolah, saya pun nekat menggelandang ke Jakarta, ditemani oleh satu warga kampung (sebut saja Joko) yang juga bekerja di Jakarta. Maka berangkatlah saya dan dia malam-malam naik bus ekonomi menuju terminal Pulo Gadung. Sesampai disana saya kemudian naik Damri & metromini menuju kos-kosannya (kalau nggak salah ingat di daerah Jelambar).
Joko yang suka ngomong bahasa Indonesia gaya betawian ini sudah lama tinggal di Jakarta dan bekerja di sebuah bengkel. Saya lihat kalau pagi mau berangkat tubuhnya lumayan bersih & rapi tapi kalau pulang, tubuhnya hitam-legam dan awut-awutan.
“To, lu disini tenang saja. Tak usah takut kelaparan. Gue pasti bisa memberimu makan sampai lu dapet kerjaan. Juga gak usah takut dan sungkan. Kalau takut dan sungkan, kita bisa kelaparan dan mati disini,” begitulah wejangan yang sering ia berikan ke saya dulu.
Beberapa hari kemudian, ia mengajak saya ke daerah Kapuk. “To, kita besuk pergi ke Kapuk. Ada banyak orang kampung yang tinggal di sono,” kata Joko. Saya mengiyakan saja karena nggak tau apa-apa.
Saya dan dia pun berangkat ke Kapuk. Naik metromini. Sesampai di sana saya agak bingung. Daerahnya panas, kumuh, dan bau comberan menyengat dimana-mana. Kompleks yang sangat padat penuh dengan manusia tinggal di gubuk-gubuk reot berdinding papan atau tembok kusam yang saling berimpitan.
Saluran got ada dimana-mana dan kotor dan bau limbah dan lainnya. Tampak saya lihat ada orang-orang berkerumun sambil membawa ember. Rupanya mereka sedang mengantre mandi atau mengambil air di sumur pompa.
Oleh Joko, saya diajak mengunjungi beberapa warga kampung yang tinggal di kawasan itu. Hampir semuanya tinggal di sepetak ruangan yang ditempati beberapa orang. Di ruangan itu pula, mereka menaruh semua barang. Kalau yang sudah berkeluarga, mereka tinggal bersama anak-istri di satu petak ruangan itu. Di situlah mereka tidur, masak, dan aktivitas lainnya.
Mereka rela bersusah-susah tinggal disitu demi “sekepeng uang”. Tapi mereka orang-orang yang sangat baik dan pemurah. Setidaknya kepadaku. Selama beberapa hari saya tinggal di kawasan itu. Berpindah-pindah dari satu kos ke kos lain yang dihuni oleh warga kampung. Mereka bergantian memberiku makan atau mentraktir di warung. Kadang kami masak bersama. Paling tidak masak mi instan plus telur. Apa lagi?
Perasaanku campur-aduk tak karuan waktu itu. Haruskah saya bekerja di daerah ini seperti mereka? Haruskah saya membantu orang tua dengan cara bekerja sebagai buruh di pabrik, bekerja serabutan sana-sini, atau berjualan bakso dan mi ayam keliling Jakarta?
Setelah beberapa hari tinggal bersama warga kampung di kompleks kumuh di kawasan Kapuk, tidur beralas tikar atau karpet plastik, dan makan ala kadarnya, Joko menjemputku untuk kembali ke kosnya di daerah Jelambar.
Meski hidup serba pas-pasan, orang-orang kampungku yang tinggal di Kapuk mencoba menyenangkan dan membahagiakanku. Mereka juga cukup menghormatiku. Hal itu karena meskipun almarhum bapak seorang petani miskin, ia juga seorang modin, sesepuh, dan imam yang dituakan di kampung. Bapaklah yang mengurusi masalah urusan keagamaan di kampung.
Kos-kosan Joko juga tak kalah kumuh dengan yang di Kapuk. Hanya saja bau selokan dan comberan tidak begitu menyengat seperti di Kapuk. Joko tinggal di kompleks yang superpadat penduduk. Kami harus menyusuri lorong-lorong sempit untuk bisa sampai di kos sempit dan pengap mungkin berukuran 2×3 m. Di kompleks ia tinggal juga ada beberapa orang kampungku yang bekerja sebagai “kernet” truk, tukang masak pabrik, dan lainnya.
Pagi Joko berangkat kerja di bengkel. Sebelum pergi dia berpesan, “Kamu jangan pergi ke mana-mana. Di kamar saja. Nanti kamu tersesat.” Saya memang sering bingung soal “dunia perjalanan”. Nyasar sudah menjadi kebiasaanku. Saya termasuk makhluk yang susah mengingat jalan. Kalau pergi ke luar, baliknya sering muter-muter karena bingung.
Saya putuskan untuk tetap tinggal di kamar kalau Joko sedang kerja. Pernah sekali ikut dia kerja di bengkel. Tapi malah membuat saya seperti “orang hilang” nggak tau mau ngapain, dan kayak mengganggu Joko saja. Maka saya putuskan di kamar saja.
Kalau sore tiba, Mbok Ipah (sebut saja begitu, warga kampungku yang lain) selalu membawakan makanan buatku. Ia bekerja sebagai tukang masak di pabrik. Oleh karena itu ia selalu menyisakan makanan buatku untuk makan malam. Ia sudah lama sekali tinggal di Jakarta dan sudah susah ngomong “bahasa Jawa kampung”. Maklum, suaminya orang Betawi. Anak-anaknya juga nggak ada yang bisa ngomong bahasa Jawa. Mbok Ipah dan suaminya juga sangat baik sekali denganku.
Seperti di Kapuk, saya juga tinggal beberapa hari di Jelambar. Lebih lama sedikit ketimbang di Kapuk. Suatu saat Joko mengajakku ke rumah saudaranya di daerah Kayu Manis kalau nggak salah. Ia berinisiatif untuk menitipkan saya di rumah saudaranya itu selama beberapa hari. Kami pun kemudian berangkat ke Kayu Manis.
Di Kayu Manis, saudara Joko itu tinggal di sebuah gubuk super mungil yang tak jauh dari masjid. Karena merasa tidak enak tinggal di gubuk itu dengan orang lain yang bukan warga kampungku sementara Joko cuma datang kalau malam (kadang bahkan tidak datang), saya merasa tidak enak dengan si empunya rumah.
Suatu saat saya kepikiran untuk tidur di masjid saja yang tidak jauh dari rumahnya. Maka, malam itu saya pamitan mau mencoba tidur di masjid. Meskipun ia keberatan tapi tak bisa melarang juga. Akhirnya saya ke masjid. Tapi oleh petugas masjid ternyata saya gak boleh tidur di dalam masjid karena gak punya KTP.
Akhirnya terpaksa tiduran di luar/emperan masjid dengan selimut sarung yang sudah kumal karena dipakai sejak di Kapuk dan Jelambar. Semalaman saya merenung, gak bisa tidur karena banyak nyamuk. Paginya Joko datang menemuiku di masjid. “Gue cari di rumah kagak ada, katanya ke masjid, maka gue kesini. Ayo kita cari sarapan dulu,” kata Joko dengan bahasa Indonesia gaya Betawi.
Di sebuah warung sambil sarapan, saya bilang ke Joko kalau saya mau balik ke kampung saja, membicarakan masalah ini dengan bapak. Tak lama kemudian, Joko bilang, “Kalau itu maunya elo ya silakan tapi maaf gue nggak bisa ngantar ke Pulau Gadung.”
Karena nggak bisa mengantarku, Joko memberi rute naik bus ke Pulo Gadung. Ia hanya mengantarku sampai di jalan untuk memastikan saya dapat dan naik bus yang menuju Pulo Gadung. Maka begitulah, sesampai di Pulo Gadung saya pun naik bus jurusan Pekalongan-Batang untuk kembali ke kampung. Setiba di rumah, bapak kaget kalau saya habis keluyuran di Jakarta.
Pada bapak, saya mengungkapkan keinginanku untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan saja di Jakarta. Tapi ia nggak setuju. Ia ingin tetap saya sekolah menuntut ilmu. Ia merasa nggak mempunyai apa-apa dan hanya dengan jalan menyekolahkanku (dan anak-anaknya) itulah ia merasa lega dan bebas dari tanggung jawabnya sebagai orang tua.
“Saya tidak mempunyai sawah dan harta-benda, jadi kelak kalau saya mati, saya tidak bisa mewariskan apa-apa. Ilmu juga tak punya. Satu-satunya jalan adalah menyekolahkanmu. Dengan cara ini, saya berharap kelak kamu mempunyai ilmu yang bisa menjadi bekal hidupmu,” kata bapak singkat.