Beberapa hari lalu saya mendapat email dari seorang pastor Indonesia yang sudah 14 tahun bertugas di Dewan Kepausan Vatikan untuk bidang dialog antarumat agama atau Pontifical Council for Interreligious Dialogue.
Pastor Katolik itu bernama Romo Markus Solo (biasa disapa Padre Marco SVD) yang berasal dari Flores, NTT. Konon, dalam sejarahnya, Romo Markus merupakan satu-satunya pastor dari Indonesia di Vatikan. Dalam email itu, ia minta kesediaan saya untuk “ngobrol” via Zoom. Ajakannya saya iyakan. Maka, ia pun mengirim link Zoom dengan judul, “Vatican and Saudi Arabia in Dialogue through Indonesia.”
Kami bicara panjang-lebar selama sekitar 1,5 jam tentang banyak hal: tentang sejarah dan geo-kultural Arab Saudi & Arab Teluk (Gulf), situasi keagamaan dan relasi antaragama di Indonesia dan Arab Saudi, hingga program-program yang diadakan oleh lembaganya di Vatikan.
Di antara program itu adalah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan dialog antaragama maupun pembangunan perdamaian seperti konferensi, seminar, workshop, dlsb.
Salah satu program yang menarik adalah semacam workshop atau “short course” selama kurang lebih 6 bulan di Kota Vatikan yang melibatkan peserta dari berbagai agama di berbagai penjuru dunia.
Workshop ini dimaksudkan selain memperkenalkan seluk-beluk agama Katolik juga dalam rangka untuk mempererat jalinan silaturahmi antarumat agama serta meminimalisir kesalahpahaman dan memperkuat kesalingpemahaman antarkelompok agama. Tujuan akhirnya tentu saja terciptanya iklim perdamaian dan harmoni di masyarakat yang dilandasi oleh semangat respek dan toleransi.
Dalam kesempatan itu, Romo Markus juga meminta kesediaan saya kalau suatu saat diminta menjadi narasumber konferensi, seminar, workshop atau diundang ke Vatikan. Kalau aktvitas yang berkaitan dengan dialog agama-agama atau “peacebuilding” saya oke-oke saja dilibatkan. Belum lama ini saya juga diminta menjadi salah satu “penasehat” sebuah film dokumenter tentang perdamaian Muslim-Kristen yang diprakarsai oleh sekelompok aktivis perdamaian dan sutradara dari Amerika, Kanada, Palestina dan lainnya.
Perjumpaan saya dengan umat Katolik khususnya bukan hal baru. Dulu, saya bersama almarhum Romo Pujo (Pujasumarta), mantan Vikjen & Uskup Semarang, banyak melakukan kegiatan kemanusiaan, diskusi, dan dialog antaragama, baik di keuskupan, seminari, gereja, maupun institusi-institusi publik milik umat Islam: kantor ormas, kampus, masjid, pesantren, dlsb.
Oleh karena itu ketika Romo Pujo wafat saya sangat kehilangan sekali karena sudah seperti “auliya” atau “teman plek” (sohib dekat). Itulah sebabnya dulu saya sempatkan berziarah ke makamnya di Kentungan, Yogyakarta, yang makamnya bersebelahan dengan makam Romo Mangun, seorang romo, aktivis, sarjana, dan penulis cemerlang di zaman Orde Baru, yang juga sahabat karib Gus Dur.
Dalam obrolan dengan Romo Markus itu, saya memperkenalkan temanku dulu saat kuliah di Virginia yang bernama Romo Paul (Paulus) Rahmat yang ternyata Romo Markus juga mengenalnya. Dengan Pak Paul dulu saya juga banyak diskusi. Pak Paul juga sering mengundang saya untuk acara-acara ngobrol dan makan-makan dengan teman-teman Katolik di Virginia.
Tak lupa, Romo Markus juga menanyakan tentang prospek hubungan antaragama di Arab Saudi.
Dalam hal relasi antaragama ini ada beberapa perkembangan menarik dan signifikan di Arab Saudi. Tahun 2007, mendiang Raja Abdullah (kakak Raja Salman) melakukan pertemuan bersejarah dengan Paus Benedict XVI. Tahun berikutnya, beliau mengundang berbagai sarjana dan tokoh agama dari berbagai negara untuk melakukan pertemuan antaragama di Mekkah.
Raja Abdullah, bersama pemimpin dari Austria dan Spanyol, kemudian kelak (pada 2012) turut memprakarsai pendirian King Abdullah International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue, sebuah organisasi antarpemerintah yang bermarkas di Vienna, Austria, yang bergerak di bidang dialog dan perdamaian antaragama.
Pada tahun 2017, Raja Salman (dan Putra Mahkota MBS) juga mengadakan pertemuan khusus di Riyadh dengan pemimpin tertinggi Gereja Maronite Lebanon, Patriarch Bechara Boutros Al-Rahi. Dan pada tahun 2018, Raja Salman juga mengadakan pertemuan di Riyadh dengan Kardinal Jean-Louis Tauran (bersama delegasi), ketua Pontifical Council for Interfaith Dialogue, Vatikan, tempat dimana Romo Markus bekerja. MBS juga banyak melakukan pertemuan dengan para tokoh agama di Inggris, Amerika dan lainnya.
Berbagai pertemuan para elit Saudi dengan tokoh-tokoh agama (khususnya Kristen) tersebut tentu saja akan berdampak cukup penting nantinya dalam hal relasi antarumat agama di Arab Saudi.
Pelan tapi pasti, saya memprediksi agama-agama di luar Islam akan mendapat tempat yang layak di Arab Saudi seperti tetangganya di kawasan Teluk: Bahrain, Oman, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Syarat membangun hubungan harmoni antarumat agama itu gampang sebetulnya: kelompok bigot fanatikus agama (dan politikus rasis) harus “diruwat” dan “disebul” dulu pakai “kemenyan Semar Bodronoyo” karena merekalah, antara lain, yang menjadi sumber dan biang kerok kebencian dan permusuhan dengan umat agama lain. Kita lihat saja nanti seperti apa dinamika dan perkembangannya.