Sedang Membaca
Perempuan-perempuan Bercadar itu (4, Bagian Terakhir)
Avatar
Penulis Kolom

Direktur AMAN (The Asian Muslim Action Network) Indonesia dan anggota Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

Perempuan-perempuan Bercadar itu (4, Bagian Terakhir)

Di sekolah, anaknya juga mendapatkan perlakukan diskriminatif. Bullying sudah menjadi sarapan tiap hari. Tidak jarang sang anak menangis setiap kali pulang sekolah.

Ya, sekolah kita memang belum punya sistem atau mekanisme mencegah bullying atau diskriminasi terjadi pada anak-anak Napiter. Sehingga jangan disalahkan kalau kemudian para istri ini mengambil sikap menarik anak-anaknya dari sekolah umum dan mengirimkannya ke pesantren menghafal Alquran, misalnya.

Keputusan ini rata-rata diambil oleh para istri untuk tetap melanjutkan pendidikan anak. Tahukah teman-teman bahwa mereka justru memilih pesantren yang sama di mana para suami mereka pernah belajar menghafal Alquran dan ideologi radikalisme?

Sementara untuk menyambung hidupnya, Umi Lisa memilih untuk berusaha jualan. Beberapa lembaga swadaya dan lembaga riset melibatkan mereka dalam program-program pemberdayaan ekonomi, dengan meminjamkan sejumlah modal untuk bisa memulai hidup kembali.

Meskipun saya meragukan tingkat kesuksesan berbagai program pemberdayaan ekonomi, tetapi ketika akses masih sulit buat mereka, stigma dan bullying masih kuat di masyarakat karena mereka istri dan anak-anak mantan teroris, maka program ini bisa saja jadi pintu masuk.

Dengan atribut cadar, para perempuan ini sulit mengakses pekerjaan, apalagi yang berhubungan dengan layanan langsung ke masyarakat. Ini karena masyarakat belum terbiasa berinteraksi dengan perempuan bercadar.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (6): Menikmati Karya Narges Abyar Tentang Terorisme

Secuplik cerita dari Umi Lisa ini, sebenarnya juga dialami oleh para istri Napiter yang lainnya dengan tingkat respon dan coping yang berbeda beda. Tapi biasanya kesamaan ada pada respon masyarakat yang tidak siap, kalau ada tetangga digerebek oleh Densus 88. Reaksi masyarakat yang standard, ada dua:

(1) Menolong pasca penggerebekan

(2) Mengusir dengan tambahan bullying dan tindakan diskriminasi.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca tulisan ini untuk bersama dengan saya mengikis stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berbeda karena agama, ethnik, orientasi seksual, termasuk pilihan pakaian.

Meskipun saya tidak mewawancara langsung persoalan cadar, tapi dari prinsip kuat yang dipercaya oleh para istri ini, bahwa “rida suami adalah rida Allah”, ketidakmandirian mereka mengambil keputusan, sangat terlihat pilihan bercadar di kelompok ini bukanlah pilihan sadar. Tapi mereka lebih karena diminta suami yang meyakini kebenaran akan cadar.

Adakah para istri Napiter yang akhirnya membuka cadar karena kebutuhan survival di masyarakat? Ada. tapi saya akan menuliskannya pada episode berikutnya. Semoga empat seri tulisan saya ini bermanfaat. Salam takzim.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top