Proses penangkapan teroris oleh Densus 88 begitu heroik dan patriotik. Setidaknya citra itu yang saya dapatkan dari tayangan media. Sejumlah laki-laki berpakaian hitam-hitam, memakai rombi anti peluru atau bom, bersenjata lengkap, berlarian menuju titik sasaran penangkapan.
Atribut lain seperti helm keselamatan, kaca mata hitam dan penutup muka warna hitam menyempurnakan kesan garang tanpa kompromi.
Dalam setting ini, Anda juga akan melihat kendaraan lapis baja warna hitam bertulis polisi atau Densus 88 di parkir berjejer tidak jauh dari tempat tersebut. Sesekali Anda bisa melihat satu atau dua orang bicara melakukan komunikasi melalui handy talky memastikan ketepatan waktu penyergapan dan memastikan si teroris tidak kabur. Tampak juga agak menjauh, kerumunan orang desa yang penasaran atau mungkin kaget kedatangan pasukan anti teror ini setia menonton adegan demi adegan. Mereka bertanya-tanya dalam hati “siapa teroris yang ditangkap”.
Baku tembak antara personel Densus dengan penghuni rumah yang digerebek tak terelakkan. Pertanda ada perlawanan sengit. Dor….dor…dor…suara baku tembak terdengar…lalu kemudian diam dan sunyi. Mungkin si teroris tertembak tak berdaya. Atau si teroris meregang nyawa. Hanya Allah yang tahu.
Situasi lain yang tak kalah seru adalah serombongan media mengambil gambar peristiwa penangkapan tersebut. Mereka berebut akurasi dan ingin menunjukkan pada publik yang tercepat update-nya, terakurat informasnya, dan terinci dalam membeberkan fakta-fakta seputar penangkapan teroris tersebut.
Atas nama transparansi, mediapun menjelaskan Tempat Kejadian Perkara (TKP), serinci mungkin pada pemirsa TV seperti nama kabupaten, kecamatan, desa bahkan RT dan RW lengkap tersampaikan pada publik. Tidak jarang untuk meyakinkan publik, media mewawancarai beberapa orang yang dianggap relevan misalnya ketua RT atau RW atau bahkan tetangga dekat rumah yang sedang digerebek demi mendapatkan informasi tentang
Tahukah teman-teman, bahwa penggerebekan teroris yang heroik dan patriotik serta glamor media yang kita saksikan di TV, menyisakan trauma mendalam dan cerita pilu bagi para istri dan anak-anak napiter?
Tulisan ini sekedar ingin memberikan informasi dalam kesempatan pertemuan pertama di salah satu tempat wisata di Jakarta, dua tahun lalu. Dalam kesempatan itu, saya mendengarkan seorang istri Napiter, sebut saja Umi Lisa, menuturkan kisahnya yang pilu pasca penggerebekan suaminya.
“Dunia rasanya runtuh seketika ketika saya tahu suami saya ditangkap Densus 88,” begitu Umi Lisa membuka cerita.
Dia terdiam sesaat. Saya yakin beliau sedang menata perasaannya karena tidak mudah menceritakan peristiwa traumatik ini. Saya perhatikan beliau juga membenahi duduknya agar lebih nyaman. Meski tak kulihat ekspresi wajah sedihnya dari balik cadar, tetapi kilatan dua mata itu cukup sebagai bukti bahwa Umi Lisa sedang menata perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Marah. Geram. Perih. Kecewa. Putus Asa campur aduk mewarnai perasaan beliau petang itu mungkin.
Sebagai fasilitator, saya tidak ingin memaksa peserta untuk bercerita jika tidak siap. Tapi jujur saja, saya ingin mendengar Umi Lisa bercerita.
Kuberanikan diri menatap kedua mata beliau yang mulai basah. Kukatakan lirih dalam hatiku bahwa aku siap mendengarkan cerita Umi. Kutatap sekali lagi mata beliau meyakinkan bahwa “ceritanya akan aman bersamaku”.
Jangan dibayangkan saat itu cuman saya dan Umi Lisa, ada juga peserta dan trainer perempuan mengikuti sesi “curhat” ini. Kalau tidak salah kita berempat. Kutuntun dia untuk mengambil nafas dalam, agar mendapatkan energi murni untuk memberinya kekuatan bercerita.
Beberapa detik kemudian, kata-kata meluncur deras dari bibir Umi menceritakan hidupnya pasca penangkapan suaminya.
Dia tidak mengerti mengapa Densus membawa suaminya. Dalam ketidaksiapan dan kebingungan dia, keesokan harinya ketua RT dan RW mengunjungi rumah kontrakannya dan menanyakan kabarnya dan anak-anaknya.
Kunjungan RT dan RW membuat perasaannya sedikit lega. Selama ini hidupnya bergantung dari suami. Keyakinan yang diajarkan oleh suaminya adalah bahwa istri harus nurut suami. Istri tidak perlu bekerja, krena suami akan mencukupi kebutuhannya. Bisa dipastikan saat itu Umi Lisa belum punya rencana buat dirinya dan anaknya.
Penangkapan suaminya bagi Umi Lisa sama dengan pemutusan sumber kehidupan dia dan anak-anaknya. Sikap simpati ketua RT dan RW, bertolak belakang dengan respon para tetangganya yang kebanyakan ketakutan berlebihan.
Mereka menghindar karena tidak tahu harus bersikap apa. Ada juga yang menyindir-nyindir dengan kata-kata kasar. Beberapa perempuan di warung kelontong, juga kadang secara tegas mengungkapkan ketidak sukaan mereka.
Dan yang lebih sedih lagi, pemilik rumah kontrakan meminta agar Umi Lisa segera pindah dari rumahnya.
Sejenak Umi Lisa berhenti bercerita. Dia ambil tisu untuk mengelap air matanya. Juga sesekali mengeluarkan ingus yang bercampur dengan air mata. Suasana begitu emosional. Saya pun tak kuasa menahan diri. Air mata yang dari tadi saya tahan akhirnya jebol mengalir deras membasahi pipi dan turun merembes ke kain kerudung yang saya kenakan.
Dalam kondisi “jatuh tertimpa tangga” ini, Umi masih mendapatkan perhatian dari teman-teman sekelompoknya dan sebagian keluarga. Tetapi dia harus pindah ke tempat lain. Di sinilah dia mulai menjalani hidup pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Karena pemberitaan penangkapan suaminya tersebar di media, entah darimana asalnya, si pemilik kontrakan mendapatkan informasi tentang siapa dia sebenarnya.
Akhirnya, dia harus mencari kontrakan baru. Bahkan dia rela pindah ke sebuah tempat yang sama sekali baru agar dia bisa memulai hidup baru yang lebih tenang bersama dengan anak-anaknya.