Wahai teman-teman semua, saya menuliskan pengalaman ini bukan untuk mengolok-mengolok perempuan bercadar. Saya tetap respek pada pilihan perempuan. Cerita ini lebih pada berbagi pengalaman kegalauan, ketika saya menghadapi orang bercadar. Alasanku sederhana: belum terbiasa.
Dengan menulis ini, saya justru berharap teman-teman memberikan tips kepada saya: bagaimana berkomunikasi dengan perempuan-perempuan bercadar?
Berikut adalah pengalaman lain dengan sekelompok istri narapidana terorisme (Napiter) dalam sebuah training self-empowerment.
Dua tahun lalu, saya diminta oleh salah satu lembaga riset di Universitas Indonesia untuk bergabung dalam tim training untuk penguatan ekonomi para istri Napiter di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tugas saya memfasilitasi sesi self empowerment, sebuah sesi yang bertujuan memperkuat kedirian para istri Napiter ini dengan mengenali diri sendiri.
Terus terang, saat saya menyetujui menjadi salah satu fasilitator, saya tidak mempersiapkan secara mental ataupun teknis bakalan memfasilitasi perempuan-perempuan yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali dua buah bola matanya. Saya juga tidak pernah membayangkan sebuah kekikukan yang amat sangat dalam memfasilitasi mereka. Saya merasa percaya diri saja (seperti biasanya).
Jawa Tengah, 2016
Ini adalah kali kedua saya memfasilitasi para istri Napiter. Setelah sesi Prof. Sarlito, saya mengambil alih sesi dengan metode meditasi dan menggambar sungai kehidupan perempuan.
Peserta saya bawa duduk melingkar dan berpegangan tangan untuk saling menguatkan. Tidak seperti training biasanya, bahwa sesi ini tidak dihadiri sama sekali oleh nara sumber maupun trainer laki-laki. Karena pada sesi ini, saya ingin mendengar sebuah kejujuran pada istri Napiter untuk menceritakan perjalanan hidup mereka menjadi perempuan.
Dalam sesi meditasi, dengan bantuan alunan musik meditasi yang mendayu, saya minta semua peserta memejamkan mata dan mengambil posisi duduk yang rileks dan nyaman. Dengan suara lembut, kumulai melantunkan narasi sedikit puitik menggiring para perempuan ini masuk dalam mesin waktu mereka.
Dengan permainan emosi kata-kata, saya tuntun para perempuan ini untuk kembali mengingat masa kecil mereka. Kemudian menengok masa remaja. Lalu masa menikah, sampai masa kini, dimana mereka hidup.
Lima belas menit berjalan, kudengar suara sesenggukan sana sini, beriringan dengan alunan musik meditasi. Kubiarkan nada sesenggukan terus meninggi.
Kugenggam erat tangan perempuan di sebelah kanan dan kiriku: berharap dia juga melakukan transfer energi yang sama kepada yang lain.
Sesekali kutinggikan nadaku dengan sedikit marah pada bagian-bagian yang erat menyentuh ketidakberdayaan perempuan. Sesekali juga kurendahkan menyayat pilu ketika ketidak berdayaan itu menyeret perempuan dalam jurang nestapa.
Dan “landing-nya”, kembali suara saya menguat, meneguhkan bahwa hidup harus berjalan dan.. “sayalah sebagai penentu masa depan….”
Kututup sesi dengan meminta semua orang saling berpelukan dan saling menguatkan. Aku tahu mereka berurai air mata di balik cadar mereka…Aku juga tahu bahwa mata mereka menangis karena pengalaman mesin waktu yang membuka luka lama…Tapi semua itu tersamarkan dengan cadar.
Sepuluh menit mereka cooling down dengan segala campur aduk rasa. Kemudian disambung dengan berbagi perasaan mereka (untuk bagian berbagi ini, rahasia ya. Jadi tidak ditulis di sini).
Nah, pada saat mereka berbagi inilah, saya ingin berbagi pengalaman dengan kalian, pembaca budiman, betapa saya mengalami kesulitan dalam menempatkan diri saya secara natural di depan para perempuan bercadar ini.
Oh ya, saya lupa. Ada sebagian yang akhirnya merasa nyaman dan membuka cadarnya, tapi ada yang konsisten tetap memakai cadarnya. Saya tidak meminta mereka membukanya.
Selama curha pengalaman berjalan, saya tidak bisa mengontrol otak saya untuk bertanya: siapa di belakang cadar ini? Saya bisa tetap konsentrasi mendengarkan para perempuan ini satu per satu cerita hidup mereka. Tapi sampai kalimat terakhir mereka bercerita, otak saya tetap memaksa, selalu memaksa diri untuk cari tahu siapa di balik cadar ini. Saya lelah sekali jadinya.
“Diam kamu otak,” beberapa kali saya bentak otak saya, yang menarik narik saya untuk meminta mereka buka cadar.
“Diam!” saya keras mendiamkan otak saya. Akhirnya saya memang tidak berhasil membujuk otak saya.
Yang terjadi, saya biarkan si otak tetap dengan keriuhannya, dan saya tetap memfasilitasi proses sharing gambar “Sungai Kehidupan Perempuan” sampai tuntas.
Sampai forum berakhir, otak saya tidak bisa merekam siapa mereka. Otak saya tidak punya ketajaman merekam warna retina masing-masing perempuan ini. Bahkan otak saya juga tumpul dalam merekam suara sopran dan alto dari perempuan-perempuan bercadar ini.
April 2017…
“Mbak Ruby…lupa dengan saya,”.. seorang perempuan bercadar menyapa aku dengan lembut. Dia duduk di sampingku dengan berpakaian coklat gelap dan berjilbab besar dan bercadar. Dia pun juga menutup semua bagian tangannya. Saat itu aku hendak memoderatori sebuah sesi di Perempuan dan Radikalisme.
Aku tercekat malu. Tidak ada suara kecuali senyuman saja.
“Oh..Umi… Emmm.. Umiii..?
Aku gagal mengingat nama satu per satu perempuan-perempuan yang pernah aku training saat itu. Duh Gusti maafkan hambamu ini….