Kajian hadis memiliki kompleksitas tersendiri. Banyak problem dalam kajian hadis, mulai dari masalah autentisitas, pengamalan, otoritas, sampai pemahaman. Salah satu kajian dalam pemahaman hadis adalah mengetahui konteks kesejarahan, yang mana hal ini bisa dilihat di antaranya dari faktor budaya, atau lebih tepatnya budaya Arab.
Sudah menjadi keistimewaan bagi bangsa Arab karena dimunculkan kalangan Nabi dari bangsa mereka, Nabi Muhammad Saw. Sebagai bagian dari masyarakat Arab, artinya menjadi konsekuensi bagi Nabi Muhammad untuk terpengaruh budaya tempatnya berasal. Hal ini wajar, pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, yang cenderung berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, tak terkecuali Nabi.
Hidup dalam lingkungan dan kebudayaan Arab, Nabi dalam kehidupan sehari-hari bergaul, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan masyarakat Arab dalam berbagai kepentingan. Sehingga dapat dipastikan pengaruh budaya Arab telah mewarnai sebagian kebiasaan dan perilaku Nabi. Konsekuensinya, apa yang datang dari Nabi ada yang merupakan budaya Arab.
Secara ontologis budaya hadir sebagai bentuk eksistensi manusia. Selama ada manusia di situ ada kebudayaan, di samping manusia memang selalu tumbuh dalam alam yang serba budaya. Kebudayaan merupakan aktualisasi dari akal manusia, karenanya budaya diperoleh dari suatu proses pembelajaran, yang nantinya proses pembelajaran akan menghasilkan produk budaya.
Menurut Musa Asy’arie, dalam hal ini kebudayaan dapat dilihat dalam dua tahap, kebudayaan sebagai proses dan kebudayaan sebagai produk. Sebagai proses, kebudayaan lebih diartikan sebagai kata kerja, kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, sebagai usaha untuk menjawab tantangan yang muncul di hadapan manusia, usaha dalam menjawab tantangan ini melibatkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia. Kebudayaan sebagai proses merupakan upaya penjelmaan diri manusia dalam usaha menegakkan eksistensinya. Eksistensi manusia selalu dilaksanakan dengan perbuatan.
Kebudayaan sebagai produk lebih diartikan sebagai kata benda, kebudayaan dalam tahap produk berwujud sebagai gagasan, konsep, pikiran, aktivitas, benda-benda, juga penjelmaan nilai-nilai.
Budaya Arab ada sebagai bukti ontologis eksistensi masyarakat atau bangsa Arab. Untuk mempertegas eksistensinya, masyarakat Arab melaksanakan berbagai rangkaian perbuatan dan pembelajaran agar dapat menjawab tantangan yang mereka hadapi, kemudian melahirkan produk tersendiri. Hal ini bisa jadi, alasan model gamis yang menjadi pakaian bangsa Arab berbeda dengan model busana bangsa lain, muncul dalam upaya bangsa Arab melindungi tubuh mereka dari cuaca panas dan gersangnya padang pasir yang mereka hadapi. Tentunya budaya hasil bangsa Arab berbeda dengan budaya bangsa lainnya, karena tantangan dan kondisi yang dihadapi berbeda pula.
Sebagaimana dikatakan di awal, Nabi sebagai bagian dari bangsa Arab tak lepas dari budaya tempat tinggalnya, Nabi akan turut terpengaruh dengan budaya Arab. Sehingga akan banyak ditemui budaya Arab yang terekam dalam hadis. Dengan mengidentifikasi budaya Arab dalam hadis, konteks kesejarahan Nabi pun dapat dipotret, sehingga membantu dalam memahami hadis.
Misal dalam suatu riwayat Imam Tirmidzi dari Ibn Umar, direkam bahwa Nabi pernah mengenakan serban, Ibn Umar berkata: “Nabi Saw. ketika mengenakan serban menurunkan ujungnya di kedua pundaknya.”
Riwayat ini memberi informasi bahwa serban menjadi salah satu busana yang dikenakan Nabi. Setelah mengetahui informasi ini, apakah lantas umat Muslim diharuskan mengenakan serban? Bahkan menjadi kewajiban dan jika tidak dilaksanakan pantas dicap tidak mengikuti Nabi? Hadis tersebut bisa dipahami dengan mengetahui terlebih dahulu apakah yang dilakukan Nabi termasuk syariat atau budaya.
Mengamini apa yang dikatakan KH. Ali Mustafa Yaqub, bahwa serban terkategorikan sebagai budaya Arab. Nabi hanya mengenakan salah satu busana yang menjadi produk budaya bangsanya, sebab Nabi bagian darinya. Busana boleh apa saja, yang terpenting, demikian KH. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan, tidak bertentangan dengan ajaran Islam (tutup aurat, tidak ketat, tidak transparan).
Oleh karena itu budaya Arab menjadi faktor mikro yang tidak dapat diabaikan dalam memahami hadis, dengan mengetahuinya bisa melihat konteks kesejarahan Nabi dalam suatu hadis, sehingga dapat membantu dalam memahami hadis.
Menjadi pilihan bagi masing-masing Muslim untuk mengamalkan budaya Arab yang ada dalam hadis atau tidak, yang terpenting, bisa saya katakan, jika ingin mengamalkannya hendaklah didasari atas cinta kepada Nabi Muhammad, bukan sebagai kewajiban yang mau tidak mau harus dilakukan, apalagi sampai memaksakan pemahamannya.