Globalisasi telah membawa kita ke dalam dunia yang semakin terhubung, mempertemukan individu dan kelompok dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan sosial. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi sangat penting dalam rangka menjaga keharmonisan dan mencegah konflik. Abdurrahman Wahid, seorang tokoh penting dalam pemikiran Islam, menegaskan bahwa agama seharusnya menjadi alat untuk membangun keadilan dan kedamaian, bukan malah menjadi sumber perpecahan (Wahid, 2006, hlm. 45). Moderasi beragama telah dan terus memberi ruang dialog yang positif, menciptakan suasana kerja sama lintas agama, terlebih lagi di ruang publik yang semakin plural.
Robert W. Hefner juga turut menyoroti, bahwa melalui moderasi, pluralisme yang ada bisa dikelola dengan baik, menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis. Sementara itu, Fazlun Khalid mengingatkan kepada kita, lebih tajam, bahwa begitu pentingnya nilai moderasi sebagai benteng yang melindungi masyarakat dari ideologi radikal yang bisa mengancam stabilitas sosial (Hefner, 2011, hlm. 23; Khalid, 1992, hlm. 78). Tidak hanya di wilayah sosial saja, seperti analisis pakar di atas, bahwa moderasi beragama juga berperan dalam sektor ekonomi dan politik global. Clifford Geertz mengungkapkan bahwa moderasi menciptakan stabilitas sosial, yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan yang inklusif (Geertz, 1973, hlm. 115).
Oleh sebab itu, saya kira, di kampus global pun, moderasi beragama telah dan akan terus memberikan sumbangan, peran strategisnya yang begitu penting dalam memperkuat integrasi sosial dan membangun harmoni antaragama melalui pendidikan dan interaksi multikultural. Kampus global, dengan keragamannya, menjadi laboratorium sosial, tempat mahasiswa belajar hidup dalam keberagaman, tak terkecuali di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said, Surakarta. Di sinilah solidaritas global diperkuat, dan nilai-nilai keadilan, keseimbangan, serta empati mulai berkembang (Woodward, 2010, hlm. 53). Di tengah keberagaman yang ada, kampus global menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan hanya penting untuk menjaga keharmonisan, tetapi juga untuk menciptakan generasi yang siap membangun dunia yang lebih damai dan toleran.
Moderasi Beragama Perspektif Mahasiswa Filipina
Melihat latar belakang di atas dalam dua wilayah dan dimenasi yang kini berlangsung dalam satu Pendidikan tinggi. Maka saya tergugah untuk menelisik relasi Moderasi dalam praktiknya pada Mahasiswa asing untuk melahirkan persepektif Moderasi Beragama menurut pengalaman Studinya. Bahwa, manakala ditinjau, secara general, moderasi beragama merupakan pendekatan yang memungkinkan individu dari berbagai latar belakang agama untuk hidup berdampingan dalam harmoni.
Sebagai dosen, saya sering bertemu banyak Mahasiswa dari berbagai latar belakang. Misalnya saya bertemu dua Mahasiswi dari Filipina, ia bernama Sakiena Landas seorang Mahasiswi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Prodi Managemen Bisnis Syariah (MBS) UIN Raden Mas Said Surakarta, dan Sanny Eriman Mombas, juga di kampus yang sama, tetapi Prodi yang berbeda, ia di Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD).
Pertemuan itu, melahirkan dialog ringan, tetapi cukup memberikan banyak insight tentang moderasi beragama dalam wilayah kampus terhadap saya dan boleh jadi terhadap banyak pembaca tercinta pada tulisan ini. Seperti misalnya, dialog itu saya mulai dengan melontarkan pertanyaan kepada Sakiena; karena ia masih belum fasih Bahasa Indonesia, maka saya mencoba untuk mengajaknya dengan bahasa yang ia pahami. Misalnya, saya bertanya mengenai, What does Sakiena understand by religious moderation? How long has Sakiena lived in Indonesia? How does Sakiena feel when living in Indonesia? Are there any striking differences with Sakiena’s country of origin, for example in terms of culture, social or religion?”
Sakiena Landas, seorang mahasiswa baru dari Filipina, ia memiliki pandangan yang dalam tentang pentingnya moderasi beragama, terutama dalam kehidupan kampus. Baginya, menjadi religius adalah membawa keyakinan kepada Tuhan ke mana pun seseorang berada. Keyakinan itu adalah bagian integral dari identitas seseorang yang terbentuk dari kebiasaan dan keyakinan agama yang dianut. Sakiena percaya bahwa agama memberikan panduan penting dalam menjalani kehidupan, termasuk ketika jauh dari kampung halaman.
Katanya; “Being religious is one that shows us how important belief in God is and how we should focus on it no matter where you land, you will take it with you because it is what you are used to and as a person who believes in his own religion we have . There is a lot to follow.”
“I have been living here in Indonesia for one month and 15 days since I left Philippines. I was overwhelmed because my background was really different because of the culture of the Philippines which is more Western because of the long colonization by the Spanish and Americans, combining traditional and modern influences. its cultural identity. While Indonesia has stronger connection to indigenous traditions, with regional customs and practices deeply rooted in its cultural identity. Tambahnya.
Baru satu bulan lebih tinggal di Indonesia, Sakiena merasakan perbedaan mencolok antara budaya Indonesia dan Filipina. Latar belakang Filipina yang dipengaruhi kolonialisasi panjang oleh Spanyol dan Amerika menciptakan perpaduan budaya tradisional dan modern yang kental dengan nuansa Barat. Di sisi lain, Indonesia memiliki koneksi yang lebih kuat dengan tradisi asli, di mana adat istiadat dan praktik budaya sangat tertanam dalam identitas masyarakat. Perbedaan ini, menurutnya, menjadi tantangan tersendiri untuk beradaptasi.
Sementara, Sanny, karena ia sudah lima tahun tinggal di Indonesia, sehingga cukup mahir menggunakan Bahasa Indonesia, dengan pertanyaan yang sama, ia memiliki pandangan yang mendalam tentang moderasi beragama. Menurutnya, “Moderasi Beragama adalah cara meyakini kebenaran agama yang dianut seseorang dengan tetap menghargai keyakinan penganut agama lain, tanpa merasa perlu membenarkannya.” Dalam pandangan Sany, “moderasi berarti memahami dan mengamalkan ajaran agama tanpa berlebihan serta membangun penghormatan terhadap keberagaman.” Ia menganggap bahwa pendekatan moderat ini sangat penting, khususnya dalam konteks kampus yang menjadi tempat interaksi lintas budaya dan agama.
Selama lima tahun tinggal di Indonesia, Sanny merasakan perbedaan yang mencolok dengan negara asalnya, terutama dalam aspek budaya, sosial, dan keberagamaan. “Saya mengagumi keragaman budaya di Indonesia, yang sebagian besar masih dipraktikkan dan sering kali memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai agama.” Tuturnya. Di Jawa Tengah, tempat ia tinggal, Sany menemukan masyarakat yang ramah, “Saya merasa nyaman dan diterima, namun, di sisi lain saya agak terkejut dengan banyaknya organisasi masyarakat Islam di Indonesia, yang masing-masing memiliki kultur beribadah dan pandangan yang berbeda. Hal ini menjadi tantangan sekaligus pelajaran baginya untuk memahami keragaman praktik beragama di Indonesia.” Tambahnya.
Dalam kesempatan dialog yang sama, saya pun bertanya mengenai aktivitasnya dalam dunia kampus, apa yang ia rasakan, peluang, tantangan, dalam proses adaptasinya dengan kultur Islam di Negara yang Multikulural ini. Termasuk apakah Moderasi beragam diterapkan di Kampus. “The campus is a miniature world community, a place for cross-cultural and religious interaction. Is moderation important to apply on campus? Academic activities, discussion forums, and support from the academic community. During your time on the UIN Raden Mas Said campus, did you feel that there were values of religious moderation in every activity? Please tell me briefly, you as a foreign student experienced initial challenges in adapting to culture and religion in Indonesia, especially on the UIN campus. “
Sakiena pun mulai bercerita dengan seksama, ia menekankan pentingnya moderasi beragama diterapkan dalam lingkungan kampus, terutama di UIN Raden Mas Said, tempat ia kini belajar. Ia melihat bahwa kampus sebagai institusi pendidikan berbasis agama memiliki fasilitas dan ruang yang memungkinkan mahasiswa beribadah, bahkan ketika jauh dari rumah. Hal ini, menurutnya, sangat penting bagi mahasiswa Muslim untuk tetap menjalankan kewajiban agama mereka. Meskipun ia belum terlibat dalam kegiatan kampus, Sakiena telah mengamati bahwa nilai-nilai Islam sangat dijunjung di kampus ini. Sebagai mahasiswa asing, ia menghadapi tantangan awal, terutama karena belum sepenuhnya memahami kebiasaan masyarakat setempat dan bahasa Indonesia. Namun, ia menyadari pentingnya belajar bahasa dan budaya lokal untuk beradaptasi dengan lebih baik.
Katanya, “The moderation of religion in school is important so that students can worship even if they are far from their home because the campus is a religious school and has a designated area to worship and this is very important as a Muslim. giving time to worship anywhere in the campus. I have not yet participated in the activity but I have only observed the activities of the students here at UIN Raden Mas Said and I have seen that the religion of Islam has value here. As a foreigner in this country, I had a hard time at first because I didn’t know what the people were used to and I still didn’t understand the language very well and I still need to learn it.”
“In a multicultural society like Indonesia, religious moderation is a powerful tool for building bridges, fostering unity, as students practice religion while studying on campus. Right now I can’t answer it because I haven’t joined the activity school because I’m new to the school of UIN Raden Mas Said Surakarta. There is no change but I just got used to the environment that is more christian and now I live in mahad and the activity here includes studying the belief and here the students are focused on religious work.” Imbuhnya.
Artinya, di sini, bahwa Sakiena sesungguhnya juga menyoroti peran moderasi beragama dalam membantu mahasiswa mengatasi perbedaan dan membangun koneksi di lingkungan kampus. Baginya, moderasi beragama adalah alat yang ampuh untuk membangun jembatan dan memperkuat persatuan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Namun, sebagai mahasiswa baru, ia belum banyak terlibat dalam kegiatan kampus yang mempromosikan moderasi beragama. Meski demikian, ia merasakan lingkungan di Ma’had – tempat ia tinggal – memberikan pengalaman baru, terutama dalam mendalami ajaran agama Islam melalui berbagai kegiatan keagamaan.
Sejalan dengan Sakiena, Sanny turut memberikan perseptif lewat pengalamannya. Bahwa, di kampus UIN Raden Mas Said Surakarta, Sany mengakui pentingnya moderasi beragama dalam membentuk kehidupan kampus yang harmonis. “Sebagai mahasiswa asing, Saya menghadapi tantangan besar, mulai dari perbedaan budaya dan agama hingga bahasa yang tidak ia kuasai. Awalnya, adaptasi terasa sulit, terutama karena ia tidak terbiasa bersosialisasi. Namun, bergabung dengan mahasiswa lokal dalam satu kontrakan membantu saya belajar tentang budaya Indonesia dan keberagaman agama di sekitarnya. Saya merasa bahwa moderasi beragama yang diterapkan dalam kegiatan akademik dan sosial di kampus membantunya untuk beradaptasi lebih cepat.”
Kegiatan kampus yang terkait dengan moderasi beragama, seperti forum diskusi dan program lintas budaya, memberikan dampak positif pada pola pikir Sanny. “Dengan aktif mengikuti acara-acara kampus, saya banyak belajar tentang pentingnya menghargai perbedaan dan bersosialisasi dengan orang-orang yang lebih berpengalaman. Dari sini, saya menyadari bahwa moderasi tidak hanya membantu mengatasi perbedaan, tetapi juga memperkuat hubungan sosial di lingkungan kampus.”
Pengalaman ini membawa perubahan signifikan dalam cara pandang ia terhadap kehidupan. “Saya mengakui bahwa setelah beberapa tahun mengikuti kegiatan berbasis moderasi di UIN, ia tidak hanya memahami budaya dan keberagaman agama, tetapi juga memperoleh wawasan tentang kehidupan sosial yang lebih luas. Moderasi beragama telah membentuk pola pikirnya menjadi lebih inklusif dan terbuka terhadap berbagai perbedaan, yang ia anggap sebagai bekal berharga untuk masa depannya.” Tandasnya.
Kampus Global sebagai Laboratorium Hidup dalam Memperkuat Kompetensi Budaya.
Di lingkungan kampus global, moderasi beragama saya kira telah dan akan terus memainkan peran yang begitu penting dalam upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara mahasiswa dari berbagai latar belakang. Apa yang dikatakan oleh Sakiena dan Sanny di atas, saya kira selaras dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur, bahwa menurut Abdurrahman Wahid, moderasi beragama adalah kunci untuk mengatasi tantangan keberagaman dan mencegah konflik berbasis agama (Wahid, 2006, hlm. 33). Kampus yang mempraktikkan moderasi beragama menyediakan ruang aman untuk interaksi yang menghormati perbedaan, sehingga menciptakan lingkungan yang inklusif dan saling menghargai.
Dalam pandangan Sakiena, kampus global memiliki potensi besar sebagai “laboratorium hidup” di mana mahasiswa dapat belajar untuk menghargai perbedaan, membangun empati, dan memperkuat kompetensi budaya. Ia berbagi pengalamannya saat belajar di sekolah Kristen di Filipina, di mana meskipun terdapat perbedaan agama, para siswa tetap saling menghormati. Menurut Sakiena, membangun kemitraan dengan organisasi keagamaan dan budaya adalah langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang menghargai keberagaman, toleransi, dan keterbukaan di institusi pendidikan. Ia percaya bahwa institusi pendidikan memiliki peran strategis dalam menyediakan bimbingan dan ruang dialog terbuka untuk membekali mahasiswa dalam menghadapi dunia yang semakin terhubung.
Katanya, “I think the diversity on a global campus serves as a “living laboratory” where students can learn to navigate differences, fostering mutual respect and understanding. I also studied where in a Christian school there were different religions but everyone knew the difference between each one but still chose to respect even if the belief was different in the same school. It is good to build partnerships with Religious and Cultural Organizations to value respect, tolerance, and openness within the institution. Help students develop empathy and cultural competence in an interconnected world.”
Artinya, bagi Sakiena, boleh dikatakan, bahwa pengalaman awal di Indonesia adalah juga sebagai awal dari perjalanannya untuk memahami keberagaman yang lebih jauh dan memperkaya dirinya dengan wawasan baru tentang moderasi beragama, budaya, dan kehidupan multicultural, khususnya di Indonesia dalam Kampus Islam di Solo ini. Ia pun juga tampak optimis, bahwa moderasi beragama akan menjadi fondasi penting untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman, baik di lingkungan kampus maupun dalam kehidupan bermasyarakat kini dan nanti.
Apa yang disampaikan oleh Sakiena di atas, saya kira selaras dengan apa yang dikatakan oleh Fazlun Khalid, Khalid telah menekankan, bahwa moderasi beragama memungkinkan dialog yang konstruktif, sementara Clifford Geertz menyatakan bahwa interaksi lintas agama dapat mengurangi prasangka negatif dan membangun rasa saling percaya (Khalid, 1992, hlm. 85; Geertz, 1973, hlm. 64). Melalui kegiatan seperti diskusi, proyek kerja kelompok, dan program sosial, mahasiswa asing dan lokal dapat membangun persahabatan lintas budaya yang memperkaya pengalaman mereka. Artinya, Moderasi beragama tidak hanya memperkuat hubungan antar mahasiswa tetapi juga membentuk pola pikir mereka untuk lebih toleran dan inklusif di masa depan. Mark R. Woodward mencatat bahwa pengalaman moderasi selama studi dapat berdampak panjang dalam kehidupan profesional dan sosial mahasiswa.
Sebagai pungkasan, bahwa moderasi beragama telah dan akan terus menjadi katalisator pertumbuhan intelektual dan spiritual mahasiswa, yang akan memberikan dampak signifikasi bagi mereka untuk berbagi pengalaman tanpa merasa terancam. Dengan menjadikan moderasi beragama sebagai prinsip dasar, kampus global bukan hanya menjadi tempat pembelajaran akademik, tetapi juga arena pembentukan karakter yang menghargai keberagaman. Moderasi adalah bentuk keadilan dalam memahami perbedaan. Tabik!
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.