Sedang Membaca
Memahami Seni, Keindahahan dalam Islam hingga Ide Kejahatan
Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Memahami Seni, Keindahahan dalam Islam hingga Ide Kejahatan

Jika ini boleh disebut konsep, maka belum ada konsep yang baku dalam estetika Islam. Estetika Islam seringkali lebih menunjukkan kontinuitas terhadap ekspresi agama ketimbang budaya, meskipun ia lebih cocok disebut produk kebudayaan. Suatu ide tentang ‘keindahan yang islami’ dalam produk seni, selalu bertautan antara yang partikular dan universal.

Misalnya, ada sisi universalitas dalam arsitektur masjid, betapapun struktur masjid sebagai ‘materi’ sangatlah partikular. Ide universal ini muncul sebagai dampak dari status ontologis yang melekat pada ide Islam yang universal, sehingga sikap subjektifisme juga memengaruhi cara bagaimana nilai universal itu ditunjukkan.

Ide ini tidak lepas dari sikap bagimana orang-orang Islam memahami secara integral antara materi dan ruh dalam totalitas eksistensi. Fleksibilitas Islam memudahkannya dalam menginternalisasi ide-ide kebudayaan. Gagasan esoretis mempermudah dalam menjangkau sisi partikularitas di kehidupan ini, tanpa menghapus watas eksistensialnya sebagai materi.

Kalau boleh jujur, keadaan seni Islam sebenarnya sangat bersifat sporadik atau bahkan marginal. Perkembangannya tidak merata dan terbatas pada gerak kecil pada penikmat seni. Ia berjalan dengan tertatih-tatih di tengah perkembangan ilmu-ilmu Islam yang cukup maju.

Sebagai satu gagasan ‘keindahan’ yang muncul dari ekspresi agama, seni Islam mengajarkan tentang kesadaran akan ide transendental akan Tuhan. Betapapun ia tak lebih daripada produk historis yang sangat partikular. Ide transenden memicu lahirnya prioritas baku dalam melekatkan nilai pada karya seni.

Baca juga:  Sejarah Tradisi Ie Bu Kanji Aceh Bulan Ramadan (01)

Nilai itu bersifat independen, tetapi ia selalu melekat dalam entitas benda-benda. Karakter subjektif dan objektif tidak bisa dipisahkan dalam memberi makna terhadap entitas di luar dirinya. Yang unik adalah nilai itu tidak memiliki kualitas yang real di dunia materi, sehingga ia tidak ada dalam dirinya sendiri.

Sementara nilai seringkali kita pahami sebagai kualitas yang melekat pada pengembannya, pada lukisan, bagunan artistik, kaligrafi, kubah masjid, dan bentuk penilaian terhadapnya memiliki kualitas yang berbeda dengan hal lain.

Jadi seni Islam sederhananya, adalah benda partikular yang memiliki suatu nilai karena nilai itu ditambahkan kedalamnya, betapapun nilai itu tidak real, seperti ajaran agama yang tidak akan menjadi real kalau tidak dipraktikkan dalam ritus-ritus ibadah. Sentralitas ide estetis ini juga bersifat universal dan memiliki padanannya dalam praktik-praktik lain yang ‘islami’.

Eksistensi parasitis yang tampak dalam seni Islam, betapapun keindahan itu tidak ada dalam dirinya sendiri, seperti menggantung dan mengawang namun ia menjadi satu entitas berbentuk objek fisik. Suatu kebutuhan akan pengemban ini, tinggal bagaimana memberi kekhususan pada nilai tersebut, yakni “yang islami”.

Karena nilai itu merupakan kualitas, maka apapun bisa dilekatkan pada pengembannya. Benda itu partikular dan Islam itu universal, menjadikan benda partikular semacam universalitas yang independen. Ciri khas ini tampaknya sangat sederhana, namun merupakan sebuah tanda yang fundamental bagi ketetapan akan dunia nilai.

Baca juga:  Pejalan Malam: Teruntuk Ibu

Yang menarik adalah satu perspektif aksiologis bahwa nilai itu tidak memberi tambahan akan realitas dan esensi pada objek pengembannya, melainkan ia tak lebih hanyalah nilai. Ini berbeda dengan seni Islam, ketika materi sebagai bentuk partikular dari benda dan ‘nilai’ sebagai bentuk partikular independen yang diletakkan ke dalamnya, hasilnya adalah universalitas. Di sinilah letak ekspresi agama yang berbeda dengan ekspresi budaya.

Nilai itu seperti energi, ia tidak bisa hilang tapi bisa berpidah dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa mengurangi substansi di dalamnya. Islam sebagai “ide universal” bagi penganutnya, memberikan corak esoterik pada dimensi materi sebagai pengukuhan atas menyatuan wujud.

Jadi, meskipun nilai itu sesuatu kemungkinan eksistensi yang tidak real, namun seni Islam memiliki watak intensionalitas yang terarah, khususnya pada satu segi universalitasnya. Itu bisa dipahami karena seni Islam tidak membedakan antara nilai dan status objek ideal, ia satu kesatuan utuh yang tidak terpisah, baik secara teoritis maupun praktis.

Seni Islam, meski membedakan wilayah keindahan sebagai nilai dan ide keindahan sebagai asal usulnya, adalah sifat universalitas baku yang menyatu. Ide keindahan itu bisa dari mana saja, dari teks suci misalnya, sementara keindahan sudah melekat pada apa yang telah dinilainya.

Baca juga:  Mengenang Tauhid, Film Haji yang Terlupakan (2/2)

Estetika Islam hanya bisa dipahami melalui ekspresi agama, karena ide keindahannya berasal dari semangat intelektualisme religius. Cita rasa seni Islam tidak hanya mengekspresikan keindahan transpersonal, tetapi juga ada cita rasa binernya, seperti keadilan, kebaikan, dan yang paling penting adalah sifat primordialnya sejak awal. Meskipun ‘ide-ide kejahatan’ itu juga berasal dari Tuhan, yang juga memiliki nilai, tapi sikap aksidensi menolaknya sebagai satu bentuk yang tidak memiliki kesesuain dengan realitas.

Tuhan dalam Islam adalah Maha Indah dan ekspresi keindahan terhadapnya bisa dilihat melalui hal-hal yang partikular. Jadi, ada universalitas dalam karya seni Islam ‘yang partikular’.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top