Sedang Membaca
Dosa Manusia dalam Kabut Asap
Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Dosa Manusia dalam Kabut Asap

Tuhan benar, hampir semua kerusakan yang terjadi di darat dan laut akibat ulah tangan manusia sendiri. Nabi pun juga telah mengatakan andai saja manusia diberi satu gunung emas, niscaya dia akan meminta satu gunung emas lagi dan lagi. Itulah gambaran betapa rakusnya penduduk bumi bernama manusia.

Dulu, asap adalah sesuatu yang selalu dirindukan, asap bakar-bakar ubi, memasak di dapur, dan asap di tengah area sawah. Kepulan-kepulan kecil ini hanyalah sekadar tentang menanam padi dan menanak nasi, bukan untuk mengumpulkan pundi-pundi materi dan ekploitasi. Karenanya, asap seperti ini sangat dirindukan oleh sebagian besar umat manusia.

Kini, kerinduan akan asap sudah seperti mimpi di siang bolong. Kobaran asap industri dan kebakaran lahan, sudah menjelma menjadi virus mematikan yang benar-benar tak diinginkan banyak orang. Ini bukan soal satu atau dua hektar lahan yang terbakar, tapi soal ribuan bahkan jutaan lahan akibat ulah tangan-tangan manusia yang kebablasan dalam mengelolanya.

Tercatat, 1,2 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Bahkan, Indonesia termasuk negara yang laju kerusakan hutannya tercepat di dunia. Kerusakan terbesar soal lahan di Indonesia ini sebagian besar oleh penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi pertanian, kebakaran hutan, dan ekspoitasi secara membabi buta untuk pemukiman, industri, dan kepentingan lainnya.

Baca juga:  Mengenal Gagasan Fikih Nusantara

Sudah beberapa bulan ini, daerah seperti Riau dan Kalimantan amat sangat sesak oleh kabut asap akibat kebakaran hutan. Banyak pekerjaan menjadi lumpuh, transportasi udara terhambat, perputaran uang macet, anak-anak yang sekolah terpaksa diliburkan, dan secara luas lingkungan menjadi tak jelas bentuknya.

Selain penanganan secara teknis, salat Istisqo’ (bagi yang Muslim), menjadi jalan utama agar Tuhan menurunkan hujan di daerah kebakaran ini. Lagi pula, penanganan yang sejauh ini dilakukan terkesan agak terlambat dan baru sigap ketika lahan sudah mulai gundul akibat kobaran api yang begitu besar.

Kritikan dari warga dan netizen pun menggelegar di mana-mana. Media sosial sudah sangat penuh dengan foto-foto kabut asap, bukan lantaran mereka senang dengan keadaan itu, tapi merupakan bagian dari kritik dan kejemuan mereka akibat masalah asap dan kebakaran hutan ini yang terjadi berkali-kali dan masalahnya selalu itu-itu saja.

Belum lagi soal adanya korban yang meninggal akibat lingkungan yang sudah tidak kondusif lagi. Kesehatan yang menjadi salah satu keadaan paling penting, menjadi yang paling terancam dengan fenomena kebakaran itu.

Saya sering bertanya-tanya, mengapa manusia begitu rakus dan tak bertanggungjawab dalam memelihara alam. Hutan yang sepatutnya berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan penopang kehidupan beralihfungsi menjadi kebun sawit, industri, dan fungsi-fungsi yang lain.

Baca juga:  TGH. Hasanain Djuaini, Ulama Pelopor Reboisasi

Begitu rakusnya hawa nafsu itu, hingga orang lupa untuk apa ia tinggal di bumi ini. Hidup di akhir zaman seperti sekarang ini memang selalu serba berlebih-lebihan, banyak orang mengekploitasi sesuatu yang jauh melampaui kebutuhan hidupnya, demi kekuasaan, kepentingan, dan uang. Akhirnya, kehormatan dan eksistensi hidupnya hilang entah kemana.

Padahal, Tuhan telah mewanti-wanti agar manusia bertindak dan hidup secara wajar dan cukup, jangan berlebih sampai melampui batas. Karena semua itu justru akan merusak kehidupan dan, bumi tak akan layak lagi ditinggali. Bila sudah seperti itu, apa yang akan kita wariskan untuk anak cucu kita kelak? Pasti tak lain adalah kebodohan kita dan kerasukan gaya hidup yang sudah tak karuhan.

Kita perlu sadar bahwa bumi bukan hanya rumah bagi manusia, tapi juga bagi jutaan makhluk lainnya, baik yang hidup maupun yang mati. Mereka butuh eksis di dataran bumi ini karena belum ada planet lain yang bisa ditinggali. Manusia sebagai makhluk yang paling berkesadaran, sepatutnya lebih pro-aktif dalam mengkampanyekan perbaikan lingkungan dan menjaganya, bukan hanya untuk mereka yang hidup hari ini, tapi juga untuk generasi setelahnya.

Saya berharap, semoga Tuhan selalu menjaga kita dan anak turun kita sampai di kemudian hari, hingga bumi ini tutup usia. Semoga asap yang melanda negeri ini segera berlalu dan saudara-saudara kita yang terdampak akan segera hidup normal seperti sediakala. Amin. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top