Artikel ini ditulis untuk mengulas salah satu esai penting karya Francois de Blois berjudul “Islam in its Arabian Context” yang tertuang dalam buku kompilasi yang disunting oleh Angelika Neuwirts, Nicolai Sinai, dan Michael Marx berjudul “The Qur’an ini Context; Historical and Literary Inversitations into the Qur’anic Milieu”, diterbitkan oleh Brill tahun 2010.
Francois de Blois merupakan seorang pakar di bidang kajian agama-agama dunia. Ia menjabat sebagai profesor kajian Iran di Universitas Hamburg dari tahun 2002 hingga 2003. Saat ini ia adalah peneliti di Universitas College London. Ia juga seorang pengajar bahasa Aram dan Iran Tengah di School of Oriental anad African Studies, University of London. Tercatat, ia sering menjadi kontibutor ensikpoledi Islam.
Bila melihat isi artikel Blois berjudul Islam in its Arabian Context, tampak bahwa Blois sedang berupaya untuk mendudukkan secara proporsional dua tradisi agama besar dunia, yakni Islam dan Kristen, dalam konteks sejarah kemunculannya. Juga, apa yang dilakukan Blois adalah untuk merespons kajian mutakhir tentang historiografi Islam di kalangan kesarjanaan revisionis Barat.
Menurut Blois, bila melihat wacana teks suci dalam sejarah Islam dan Kristen perspektif revisionis, maka bisa dikatakan bahwa studi kritis-historis dari Perjanjian Baru menjadi fenomena penting dalam sejarah kekristenan, terutama Protestan. Hal ini karena studi kritis adalah kelanjutan logis dari Reformasi Kristen, sedangkan Reformasi ini dimulai dari penolakan terhadap komponen utama dari Kristen yang mengkalim Alkitab sebagai satu-satunya sumber doktrin Kristen.
Oleh karenanya, adalah langkah logis ketika para sarjana Kristen, sekitar akhir abad ke delapan belas, mulai menyelidiki berbagai macam sisi kemungkinan yang terdapat pada masing-masing kitab dari Perjanjian Baru. Ini sekaligus menjadi bukti konkrit bahwa tradisi kritik terhadap Perjanjian Baru adalah bagian dari sejarah kebudayaan Barat dan tradisi “historis-kritis” adalah bagian penting dalam manifestasi de-Kristenisasi masyarakat Eropa.
Sebaliknya, bila melihat dalam konteks Islam, kritik dari para revisionis modern terhadap otentisitas al-Qur’an tidaklah muncul dari masyarakat Islam, akan tetapi dari para akademisi Barat. Oleh karena pengkajian ini tidak muncul dari masyarakat Muslim sendiri, maka pendekatan historis-kritis dalam studi Islam dan al-Qur’an cenderung dianggap bagian dari kajian Barat yang agak bersifat etnosentrisme.
Bahkan, sebagian sarjana Muslim modern menganggap bahwa pendekatan yang dilakukan oleh para revisionis terhadap Islam merupakan kelanjutan dari permusuhan Kristen dan Yahudi terhadap Islam yang telah berlangsung lama, dari Perang Salib sampai imperialism Eropa. Tentu saja, cara pandang seperti ini sangat bias dan perlu adanya kesadaran objektif terhadap apa yang ingin ditawarkan oleh kesarjanaan revisionis.
Secara jelas, Kristen muncul dalam konteks sejarah dan geografis yang terdefinisikan dan dikenal dengan baik, yaitu di provinsi Romawi di wilayah Palestina pada abad pertama Masehi. Sejarah politik, sosial, dan budaya Palestina Romawi didokumentasikan dengan baik dalam berbagai tulisan kontemporer baik oleh penulis Pagan, Yahudi, Kristen. Bahan, wilayah ini menjadi objek kajian arkeologis yang diteliti secara intens dan mungkin tidak tertandingi oleh wilayah lain di belahan dunia.
Berbeda dengan Kristen, catatan sumber tentang wilayah asal Islam tidak memiliki informasi sejarah yang benar-benar fokus. Meskipun begitu, daerah pinggiran utara dan barat daya dari Gurun Arab relatif terdokumentasikan dengan baik oleh sumber-sumber sejarah dan catatan arkeolog, akan tetap belum ada dokumen dan informasi yang betul-betul jelas tentang wilayah di tanah kelahiran Islam; yaitu Makah, Madinah, dan Hijaz, selain dari sumber-sumber Islam itu sendiri.
Namun demikian, kekosongan sejarah yang ada dalam penyelidikan awal mula Islam dan tentu saja al-Qur’an, tidak menjadikan sejarah awal mula kemunculan Islam menjadi kabur dan tidak jelas. Sebab, sumber tekstual bukanlah satu-satunya sumber rujukan dalam menggali fakta-fakta sejarah.
Kitab-kitab Perjanjian Baru disusun pada kurun waktu yang berbeda dan mengandung perbedaan mendasar baik dari segi konten naratif maupun konten teologisnya. Kanon Perjanjian Baru, yang sekarang dikenal dengan empat versi, sebagian sangat kontradiktif. Sekte Kristen paling kuno mengakui hanya ada satu versi Injil sebagai dasar otoritas, sedang Injil ini tidak sama dengan salah satu dari empat yang terkandung dalam Alkitab modern.
Sekarang, penulis akan mencoba melihat fakta-fakta yang ada dalam tekstualitas al-Qur’an. Boleh dibilang, al-Qur’an secara keseluruhan merupakan kitab yang konsisten baik dari gaya bahasa maupun konten teologisnya. Meskipun sekte Muslim yang masih bertahan seperti Syiah dan Sunni terpisah satu sama lain, namun mereka semua setuju tentang isi aturan dari al-Qur’an.
Pada kanon al-Qur’an, tidak ada perbedaan varian tekstual yang substansial. Perbedaan itu hanya seputar varian car abaca (qiraat) yang telah tercatat dalam tulisan-tulisan abad pertengahan tentang ilmu al-Qur’an yang menjelaskan varian grafis yaitu perbedaan ejaan pada satu teks yang sama. Perbedaan bacaan ini tidak pernah menyentuk perbedaan isi dari al-Qur’an. Tidak adanya perbedaan tekstual yang signifikan dalam al-Qur’an adalah hasil dari fakta bahwa al-Qur’an ditransmisikan melalui tradisi oral kelisanan bukan melalui tradisi tulis.
Bila pelihat sejarah kedua kitab suci di atas, al-Qur’an dan Perjanjian Baru, maka segera akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin isi dari Pernjanjian Baru mengandung banyak kontradiksi sedangkan ia sudah sejak awal telah ditulis dan terdokumentasi dengan baik melalui penulisan sejarah? Dan, bagaimana al-Qur’an tetap konsisten dan otentik meski ia lahir dari kekosongan sejarah sebagaimana anggapan Blois?
Dalam beberapa hal, Blois benar bahwa historiografi Islam memang tidak ditulis dengan baik, khususnya pada masa awal kemunculan Islam. Blois sendiri menyebut era kehidupan Nabi Muhammad terjadi dalam “kekosongan sejarah”, artinya tidak ada fakta-fakta konkrit yang dapat mengantarkan kita pada kehidupan Nabi secara real. Inilah salah satu alasan penting mengapa para sarjana revisionis meragukan atau lebih tepatnya merasa penasaran tentang fakta-fakta kehadiran Islam di masa-masa awal.
Namun demikian, penulis tidak setuju bila Blois mengatakan bahwa konsistensi teks al-Qur’an semata-mata berangkat dari tradisi oral. Sebab, bila merujuk pada fakta sejarah, al-Qur’an sebenarnya memiliki banyak versi (mushaf). Di samping mushaf Usmani yang kita kenal sekarang, ada pula mushaf-mushaf lain semisal mushaf Ibn Mas’ud dan hafsah, meski mushaf ini sudah tidak ada lagi lantaran dulu dimusnahkan. Tujuannya, agar mushaf Usmani dapat berdiri dengan kokoh dan dapat menjadi rujukan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa transmisi al-Qur’an tidak semata-mata dilakukan secara oral, tetapi juga dengan tradisi tulisan. Boleh jadi, beberapa versi mushaf ini bisa mengandung perbedaan satu sama lain.
Rohmatul Izad. Kandidat Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.