Buku yang ditulis oleh Knysh berjudul “Ibn Arabi in the Later Islamic Tradition; The Making of a Polemical Image in Medieval Islam” pada dasarnya berisi tentang polemik dan kontroversi teologis atas pemikiran mistik Ibn Arabi (560-638 H). Knysh, yang merupakan seorang Profesor Islamic Studies di Universitas Mincigan AS, secara teliti menelurusi akar-akar kontroversi pemikiran Ibn Arabi sejak masa hidup sang sufi. Untuk menghadirkan sosok Ibn Arabi pada wilayah polemis, Knysh juga melacak bagaimana riwayat hidup Ibn Arabi ditulis pada masa-masa paling awal sejak Ibn Arabi masih hidup hingga tiga abad setelah kematiannya.
Boleh dibilang bahwa Knysh telah berhasil dalam menganalisis secara menyeluruh perdebatan sengit seputar ide-ide Ibn Arabi selama tiga abad setelah kematiannya, terlebih dalam mengemukakan argumen diskursif yang digunakan oleh para polemik–baik yang pro maupun kontra–agenda tersembunyi yang mereka cari, dan alasan mengapa pemikiran Ibn Arabi masih relevan dikaji dalam Islam. Buku Knysh mencoba melacak kembali validitas dikotomi umum antara kaum ortodoks versus bid’ah, interpretasi arus utama versus kaum mistik Islam, dan komunalisme versus individualisme serta isu-isu lain yang terkait dengan sejarah pemikiran Islam.
William C. Chittick, seorang penulis Ibn Arabi, memuji karya Knysh dengan mengatakan bahwa Knysh telah melihat dengan tepat siapa pendukung dan penentang Ibn Arabi selama beberapa abad setelah kematiannya, serta mampu melihat posisi yang diambil oleh para polemis atas pemikiran Ibn Arabi. Knysh mengumpulkan banyak informasi menarik dalam literatur sekunder yang belum banyak dibaca oleh orang, dan Knysh secara teliti dan cermat menggeluti teks-teks utama terkait Ibn Arabi.
Menurut Henry Corbin (2002), penjelasan terbaik mengenai Ibn Arabi tetaplah yang ada menurut Ibn Arabi sendiri. Satu-satunya sarana untuk memahaminya adalah dengan sejenak menjadi muridnya, mendekati dia sebagaimana dia sendiri mendekati para guru sufi. Apa yang penting dilakukan adalah menjalani spiritualitasnya sejenak bersamanya. Maksud dari sejenak menjadi muridnya antara lain adalah dengan menyelami secara langsung karya-karya Ibn Arabi, baik melalui autobiografi Ibn Arabi maupun karya-karya lainnya. Ini sebagaimana diamini oleh Knysh bahwa sumber penting lain untuk memahami latar belakang teologis dan spiritual Ibn Arabi adalah melalui karya autobiografinya. Sebagaimana pula Clause Addas, sebagian besar tulisannya tentang Ibn Arabi didasarkan pada bagian autobiografi.
Dalam pandangan Knysh, pengkajian terhadap autobiografi ini penting lantaran pada masa-masa awal hanya ada sedikit bukti yang memungkinkan bagi pembaca dan peneliti selanjutnya untuk mendapatkan tinjauan yang lebih imparsial tentang Ibn Arabi. Selain itu, informasi dari para sahabat Ibn Arabi juga tidak dapat mengarahkan pada fakta-fakta objektif tentang kehidupan dan pemikirannya. Hal ini wajar karena kesaksian para sahabat dan orang-orang terdekat biasanya bersifat epigonik dan bias terhadap Ibn Arabi. Pun demikian dengan karya-karya hagiografis, sebagain besar tidak bisa dipercaya.
Dengan demikian, adalah penting menelurusi jejak-jejak riwayat Ibn Arabi dari orang-orang sezamannya yang bukan bagian dari lingkungan terdekatnya. Meskipun harus pula diakui bahwa kesaksian eksternal semacam ini sangat singkat dan sedikit yang dapat diperoleh.
Catatan Knysh pada bagian pendahuluan biografis menyebutkan tak lebih dari enam belas penulis yang terhubung langsung dengan Ibn Arabi, baik dalam hal penulisan biografis maupun orang-orang yang bersentuhan langsung dengan pemikiran Ibn Arabi. Ini juga sekaligus mengacu pada penulis-penulis yang bertemu langsung dengan Ibn Arabi, seperti Ibn Nuqta (w. 629 H), Ibn al-Dubaythi (w. 637 H)–untuk menyebut beberapa saja–serta yang kontra dan berpolemik dengan Ibn Arabi, seperti Ibn Taimiyyah (w. 726 H), al-Dhahabi (w. 748 H), dan Ibn Hajjar al-‘Asqalani (w. 852 H).
Yang menarik dari penelusuran Knysh ini adalah bahwa sebagian besar penulis biografi Ibn Arabi di masa awal justru berasal dari wilayah Timur dunia Islam (Damaskus dan Baghdad), sementara para penulis dari bagian Barat (Andalusia) relatif belakangan atau ditulis beberapa dekade setelahnya. Tak hanya itu, karakter dalam penulisan sosok Ibn Arabi pun juga agak berbeda antara yang di Timur dan Barat.
Bila di belahan Timur sosok Ibn Arabi sangat dikenal sebagai seorang sufi, atau para penulis biografi memberi kesan bahwa Ibn Arabi adalah guru agung dalam dunia tasawuf, maka di belahan Barat, sebut saja misalnya Ibn al-Abbar (w. 658 H), sejarawan Andalusia yang juga ahli hadis, melaporkan bahwa Ibn Arabi adalah seorang ahli hadis.
Laporan Ibn al-Abbar ini memang agak tidak biasa dengan menyebut Ibn Arabi sebagai ahli hadis, namun hal yang paling perlu disoroti di sini adalah persepsi orang-orang Islam di bagian Barat tentang Ibn Arabi ternyata cenderung terlambat. Pada masa-masa awal, Ibn Arabi kurang dikenal sebagai seorang sufi, justru kepopulerannya dalam dunia kesufian pertama kali mencuat di wilayah Islam bagian Timur. Itu artinya bahwa benih-benih kontroversi pemikiran Ibn Arabi tidak lahir di bagian Barat, tetapi di bagian Timur.
Meskipun harus pula diakui bahwa puncak kontoversi pemikiran Ibn Arabi sebenarnya datang relatif terlambat, yakni terjadi pada era Ibn Taimiyyah yang hidup beberapa dekade setelah kematian Ibn Arabi. Selama seluruh hidup Ibn Arabi dan beberapa dekade setelah kematiannya, banyak di antara para ulama masih kurang begitu menyadari isi kandungan karya-karya tasawuf Ibn Arabi yang dikemudian hari menjadi polemik yang sangat panas dalam kesejarahan Islam.
Hal ini juga bisa dilihat dalam penulisan awal biografi Ibn Arabi, sebagaimana Knysh mengatakan: “Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa para penulis biografi awal yang sejauh ini diteliti mengenal dua karya utama Ibn Arabi, Fusus dan Futuhat, yang akan menjadi objek perdebatan sengit beberapa dekade kemudian. Tampaknya tulisan-tulisan kontroversial ini masih terbatas diakses pada lingkaran sempit murid terdekat Ibn Arabi. Bagaimanapun, karyanya belum menjadi perhatian serius yang memiliki dampak besar pada citra kesufiannya” (Knysh, 1999: 46).
Sejauh ini dapat dikatakan bahwa protret Ibn Arabi dalam literatur biografi awal menunjukkan penyajian fakta-fakta historis yang cukup akurat. Secara garis besar, para penulis biografi paling awal tampak menunjukkan sikap ketidakberpihakan dan teliti. Laporan-laporan tentang Ibn Arabi juga cukup objektif dalam mengambarkan sosoknya sebagai seorang sarjana brilian dan seorang ahli mistik. Para penulis biografi pun tidak hanya menekankan posisi Ibn Arabi dalam keahliannya di bidang tasawuf, tetapi sekaligus juga sebagai seorang ahli hadis.
Namun penulis tidak memungkiri bahwa ada beberapa periwayatan tentang Ibn Arabi yang tampak berbeda-beda. Misalnya soal obituari atau peristiwa prosesi pemakaman beliau, ada empat kisah yang ditujukkan oleh Knysh dalam bukunya yang menunjuk pada satu peristiwa; yakni riwayat yang ditulis oleh al-Jawzi (w. 654), Abu Shama (w. 665), al-Qari al-Baghdadi, dan Ibn Taimiyah. Tiga penulis yang pertama menunjukkan sisi positif atas peristiwa pemakaman Ibn Arabi, malahan al-Qari al-Baghdadi, seorang penulis hagiografis, menceritakan kisah pemakaman Ibn Arabi secara dramatis dan agak berlebihan. Sedang Ibn Taimiyah sendiri, agak cenderung negatif dalam mengisahkan peristiwa pemakaman Ibn Arabi.
Meski begitu, yang menjadi titik penting dalam periwayatan ini bukanlah soal mana yang paling benar, tetapi terletak pada motif penulisannya di mana secara mayoritas mengatakan bahwa pemakaman Ibn Arabi dilakukan secara baik-baik saja. Beberapa laporan yang terkesan negatif tentang kematian Ibn Arabi, sebagaimana ditulis dalam buku Claude Addas berjudul “Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn Arabi”, bahwa menurut sebuah kabar Ibn Arabi dibunuh oleh sekelompok ahli fikih yang menentang keras ajarannya. Namun laporan ini tidak dapat dipastikan kebenarannya dan tidak satu pun pencatat biografinya membenarkan cerita ini.
Selain itu, ada beberapa kisah anekdot dan kekaromahan Ibn Arabi yang dilaporkan langsung oleh al-Qazwini (w. 682), orang yang menyaksikan langsung kisah-kisah luar biasa di luar nalar. “Dikisahkan, ada satu pohon palem yang tumbuh di jalan Sevilla. Kebetulan pohon itu mulai miring hingga menutup jalan dan menghalangi orang lewat. Maka orang-orang mulai mempertimbangkan untuk menebangnya dan akhirnya bersepakat untuk menebang pada keesokan hari. Lalu Ibn Arabi berkata: “Pada malam itu, aku bermimpi melihat Rasulullah, dia berdiri di samping pohon dan pohon itu mengeluh kepadanya dan berkata: “Ya Rasulullah, orang-orang telah memutuskan untuk menebangku karena aku menghalangi jalan mereka”. Nabi pun menyentuh pohon itu dengan izin-Nya, dan pohon itu kemudian tegak kembali.” Segera setelah Ibn Arabi bangun keesokan paginya, ia pergi melihat pohon itu dan melihat bahwa pohon itu tegak, orang-orang pun takjub dengan fenomena itu”.
Apa yang diceritakan al-Qazwini boleh jadi sulit diterima akal dan tidak ada bukti ilmiah yang dapat membenarkannya. Namun demikian, perspektif ilmu pengetahuan tentu saja kurang cocok untuk menganalisis peristiwa itu. Kekaromahan adalah soal kekuatan ilahiah yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu dan hanya bisa dipercaya oleh orang-orang tertentu pula. Intinya bahwa al-Qazwini mengisahkan Ibn Arabi sebagai seorang sufi yang bijak dan visioner.
Secara keseluruhan gambaran tentang riwayat hidup Ibn Arabi yang ditulis pada masa-masa awal sebagaimana catatan Khysh memang tidak lengkap dan hanya berupa potongan-potongan kecil. Tetapi bila laporan itu disatukan akan dapat memberikan informasi yang cukup tentang penggalan episode hidup sang sufi yang tentu saja akan sangat bermanfaat bagi para pengkaji di masa-masa selanjutnya.
Singkatnya, dalam periode pra-polemik, wacana tentang Ibn Arabi masih menunjukkan sedikit indikasi bahwa dalam kurun waktu dua dekade setelah kematian Ibn Arabi, gagasan-gagasannya akan menjadi objek perdebatan teologis yang memanas dan, ada upaya untuk menghubung-hubungkan pemikiran sufistik Ibn Arabi dengan pemikiran filsafat.
Penulis : Alexander D. Knysh
Judul Buku : Ibn Arabi in the Later Islamic Tradition
Penerbit : State University of New York Press
Tahun Terbit : 1999
Halaman : 425