Pada dua sampai tiga dekade terakhir telah muncul madzhab baru dari pengkajian Islam di Barat, banyak pengikut dari madzhab ini menyebut diri mereka sebagai “revisionist”. Dorongan utama dari aliran ini adalah untuk menentang validitas dari catatan Muslim tradisional tentang lokasi dan waktu asal muasal Islam dengan melakukan kajian pada wilayah utara Arab (seperti Babilonia dan Padang Gurun Syiria), dan pada kurun waktu yang lebih modern (mungkin akhir abad ke-8 atau abad ke-9).
Dalam beberapa tahun terakhir pula, sebagaimana digambarkan oleh Francois de Blois dalam Islam in its Arabians Context (2010), terdapat kecenderungan yang sangat kuat dari para revisionis ini untuk menentang validitas tekstual al-Qur’an dan merekonstuksikan ke sebuah versi yang seharusnya lebih tua dari kitab suci umat Muslim.
Menurut Mun’im Sirry dalam Islam Revisionis (2018), sejak terbitnya karya besar sarjana Inggris Jhon Wansbrough, Qur’anic Studies (1977) dan The Sectarian Milieu (1978), model kesarjanaan yang mempersoalkan asumsi-asumsi dan kesimpulan lama tentang Islam (lebih tepatnya, kemunculan Islam sebagai agama) mulai menemukan momentum. Karena sifatnya yang cenderung merevisi pandangan umum yang sudah diterima luas, kesarjanaan baru ini dikenal dengan sebutan “madzhab revisionis” (revisionist school).
Memang, Wansbrough bukan orang pertama yang menawarkan kesarjanaan kritis. Pada 1989, sarjana Hungaria, Ignas Goldziher, menerbitkan karyanya yang berpengaruh luas, Muhamedanische Studien, yang menghentak kajian Islam. Goldziher memperlihatkan, sejumlah hadits Nabi yang diterima luas oleh kaum Muslim sebenarnya merefleksikan perkembangan belakangan menyusul kontroversi legal dan doktinal selama dua abad pasca meninggalnya Nabi Muhammad.
Namun demikian, Wansbrought memang bisa dikatakan “nabinya” madzhab revisionis. Bukan karena gagasan-gagasannya yang sangat radikal, tetapi sebagian besarnya karena ia mengajukan sebuah pertanyaan yang menohok ke jantung kajian kritis historis kelahiran Islam. Yakni, bukti apa yang kita miliki untuk mendukung keyakinan kita? Untuk sekian lama pertanyaan tentang bukti (evidence) semacam ini tidak ditanyakan dalam studi Islam karena sumber-sumber Muslim umumnya diterima secara taken for granted. Karya-karya ulama Muslim awal dianggap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sarjana abad kesembilan belas asal Prancis, Ernest Renan, begitu yakin kita mengetahui Nabi Muhammad melebihi pengetahuan kita tentang Yesus. Dalam bukunya “Mahomet et les Origines de I’Islamisne” (1851), Renan mengemukakan bahwa, berbeda dengan Kristen, Islam lahir dalam sinaran sejarah yang terang benderang. Persis pada titik inilah, madzhab revisionis mulai mempertanyakan ulang historiografi Islam, apakah memang benar kemunculan Islam secara jelas sudah tergambar dalam teks-teks sejarah? Adakah bukti-bukti yang dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang utuh tentang sejarah Islam tersebut?
Dalam buku Kontroversi Islam Awal (2013), Mun’im Sirry membagi ada tiga pendekatan yang dimiliki oleh madzhab revisionis dalam pengkajian Islam; pertama, pendekatan kritik sumber, para prinsipnya, pendekatan ini mengakui bahwa sumber-sumber Muslim mengandung data-data historis yang bisa ditelusuri dengan metode tertentu. Kedua, pendekatan kritik tradisi, pendekatan ini berangkat dari soal periwayatan atau bagaimana suatu informasi ditransmisikan dari satu generari ke generasi berikutnya. Ketiga, pendekatan skeptis, pendekatan ini boleh dibilang menolak sama sekali adanya informasi faktual dan data-data historis dalam korpus Islam.
Terlepas dari itu, harus disadari bahwa sejak awal, para tokoh “revisionis” ini menyatakan bahwa mereka menaruh perhatian pada kemapanan tradisi “historis-kritis” pada studi kitab suci Kristen yang muncul sejak sekitar awal abad kesembilan belas. Namun, ada perbedaan antara konteks sejarah pada studi Perjanjian Baru di satu sisi, dan pada studi al-Qur’an di sisi lain. Di sini tampak jelas bahwa tradisi kesarjanaan revisionis dengan tradisi “historis-kritisnya” sebenarnya lahir dari peradaban dan pergolakan internal dalam tradisi Kristen.
Artinya, kesadaran historis-kritis yang lahir dari madzhab revisionis mula-mula merupakan respons terhadap tradisi agama Kristen dan berbagai pergolakan intelektual-religius di dalamnya. Karena sifat kajian ini adalah ilmiah dan objektif, maka studi ini dipakai oleh para sarjana Barat untuk menelusuri sejarah perbandingan agama-agama, termasuk Islam, dan tentu saja berimplikasi pada penyingkapan historiografi Islam yang selanjutnya juga akan berimplikasi pada studi sejarah terhadap teks al-Qur’an.