Sebelum tulisan ini dibuat, di media―terutama online―sudah bertebaran tulisan-tulisan yang membahas topik panas―bukan hangat lagi―tentang pernyataan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Prof. Yudian Wahyudi. Tulisan atau artikel-artikel yang muncul di media itu pada umumnya menarasikan tentang pelurusan makna terhadap apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh kepala BPIP yang baru dilantik lebih dari sepekan itu.
Saya membaca berita yang pertama kali dimuat oleh detik.com, dengan judul yang sangat bombastis itu, sekitar lebih pukul sepuluh pagi, beberapa jam setelah berita itu dimuat. Lambat update memang. Tuntas membaca, saya langsung berpikir: tunggu apa yang akan terjadi habis ini!
Benar, selang beberapa jam, berita itu sudah menjadi perbincangan memanas di media sosial. Berbagai kalangan, mulai politikus, tokoh agama, dan lain-lain, memberikan komentar dengan narasi menentang. Pada umumnya mereka menuntut pencopotan jabatan Prof. Yudian, bahkan beberapa menuntut pembubaran BPIP. Tak lama kemudian, yang terakhir ini mungkin yang mengilhami munculnya tagar #bubarkanBPIP, yang kurang lebih setelah asar, sudah menjadi trending topik paling atas di twiter.
Sebelumnya, publik juga mempersoalkan kapasitas Prof. Yudian dalam posisinya sebagai kepala BPIP. Sebab, meskipun seorang akademisi yang banyak menghasilkan karya, tidak satu pun dari karyanya yang membahas masalah Pancasila. Atau minimal, mempunyai kiprah dan aktif dalam wacana kebangsaan dan ideologi di negeri ini.
Di kalangan akademisi, Prof. Yudian dikenal sebagai sosok yang mempunyai kapasitas keilmuan dan wawasan yang luas, namun kontroversial―sebagaimana dalam tulisan Ali Usman di alif.id dengan judul Menimbang Kontroversi Profesor Yudian Wahyudi. Selain di dalam tulisannya yang seolah meledak-ledak, Prof. Yudian dalam ‘menyerang’ lawan akademis atau intelektualnya tak jarang menyampaikan langsung di depan publik, terutama dalam setiap kesempatan seminar dan semacamnya di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, baik saat jadi narasumber, keynote speaker, atau sekadar memberi sambutan.
Tak jarang juga, di sela-sela itu, Prof. Yudian ikut menanggapi isu-isu terkini terkait masalah politik, kenegaraan, dan keagamaan yang sedang berkembang. Semua itu biasanya disampaikan dengan gaya bicara yang tegas dan blak-blakan, namun dijejali guyonan kadang kala. Bagi orang-orang di lingkungan UIN Jogja, apa yang dilakukan oleh Prof. Yudian itu sudah biasa. Kontroversinya sudah biasa. Namun bagi kalangan yang baru mengenalnya, pernyataan-pernyataan kontroversialnya barangkali menjadi masalah dan sorotan, bahkan bahan nyinyiran, seperti sekarang ini.
Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D. adalah sosok hasil tempaan dua atmosfer keilmuan. Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, dan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, merupakan latar belakang bidang ilmu agamanya. Sementara Mc’Gill University, Kanada, dan Harvard University, merupakan latar belakang pendidikan formalnya setelah lulus dari Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Logikanya kemudian, apakah mungkin jebolan dua pesantren terkenal di Indonesia, seorang kiai yang mempunyai pemikiran terbuka, lalu mengeluarkan pernyataan demikian (agama musuh pancasila)? Ini jelas perlu dicerna secara mendalam dan diulang-ulang.
Budaya kagetan kita
Sebelumnya, sebagaimana publik ketahui, Prof. Yudian―sebagaimana dikutip detik.com―mengeluarkan statemen, “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Kalimat terakhir itulah yang menjadi kontroversial di mata publik, kemudian digoreng sedemikian rupa.
Sepintas, kalau kita perhatikan betul, tidak ada yang begitu bermasalah dengan kalimat tersebut. Setelah membaca berita, saya juga menonton langsung videonya sampai tuntas. Yang sudah akrab dengan pemikiran-pemikiran Prof. Yudian seperti dalam video itu, jelas tidak akan ada masalah. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana memahami pernyataan yang dikeluarkannya. Sebab, setiap pernyataan yang dilontarkan Prof. Yudian terkadang sarat akan interpretasi.
Saya pernah mondok di pesantrennya Prof. Yudian sekitar hampir setahun. Hampir pada setiap kegiatan pondok beliau selalu hadir dan memberi sambutan. Kadang kala, ketika mengontrol kondisi pondok, Prof. Yudian juga menyempatkan ngobrol dengan para santri, terutama santri mahasiswa, terkadang sampai berjam-jam.
Terkadang, perkataan Prof. Yudian―setidaknya bagi saya―memang sulit dicerna. Banyak analogi-analogi yang sering digunakannya dalam mengungkapkan sesuatu. Sehingga, saya beranggapan, ketika beliau sedang menyampaikan sesuatu kepada kami, bisa saja masing-masing dari kami berbeda dalam menangkap maksudnya.
Berpijak pada pengalaman itulah saya kemudian tidak heran lagi ketika mendengar pernyataan Prof. Yudian yang sempat heboh itu. Yang ingin dikatakannya sebenarnya kurang lebih: kelompok minoritas yang mereduksi agama untuk kepentingan kelompoknya, sebagaimana dilakukan oleh satu ormas yang sudah dibubarkan pemerintah, sehingga membahayakan eksistensi Pancasila dan negara, mereka itulah musuh terbesar Pancasila.
Namun apa mau dikata. Sebagian publik sudah seragam dalam memahami pernyataan itu secara mentah. Inilah karakteristik masyarakat kita belakangan ini. Sentimen dan fanatisme berlebihan dalam beragama telah melahirkan budaya kagetan yang berangsur akut. Yang telah hilang dari kita sebenarnya adalah budaya tabayun, klarifikasi. Yang lebih parah lagi, terkadang sebagian orang hanya dengan membaca judul berita tok, atau minimal membaca tidak secara tuntas, sudah membuat sebuah kesimpulan. Dengan menelan informasi secara mentah dari segala hal tanpa kroscek dan menelusuri secara mendalam terlebih dahulu jelas akan membentuk opini publik yang serba ambyar.
Dua catatan
Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan publik yang sudah terlanjur demikian dahsyat menyerang pernyataan Prof. Yudian. Ada setidaknya dua catatan yang perlu kita berikan atas kasus ini.
Pertama, diksi yang digunakan oleh Prof. Yudian memang kurang tepat. Saat ini, Prof. Yudian bukan hanya bicara dalam lingkup UIN Jogja atau ranah akademis kampus, melainkan sudah dalam lingkup nasional. Jabatannya sekarang adalah Kepala BPIP―meski juga masih menjabat sebagai rektor UIN Jogja―yang setiap pernyataanaya akan disorot media.
Prof. Yudian, dalam kondisinya saat ini, harus lebih berhati-hati saat melontarkan berbagai pernyataan. Jangan-jangan nasibnya bisa jadi akan seperti Ahok beberapa tahun silam, bila tidak hati-hati. Musuhnya saat ini bukan hanya musuh intelektual dan akademisi, melainkan juga musuh politisi. Sebaik-baik orang ketika sudah duduk di pemerintahan akan selalu ada orang yang tidak senang yang membuntuti di belakang, entah secara terang-terangan maupun samar.
Kedua, kalaupun Prof. Yudian tetap akan mempertahankan karakteristiknya yang tegas, berani, dan blak-blakan, ia mestinya harus terlebih dahulu memperkenalkan diri ke publik. Sebab, di usia jabatannya yang belum mencapai setengah bulan, publik luas masih belum mengenal secara baik sosok dan karakteristiknya.
Dengan demikian, meskipun Prof. Yudian mau melontarkan semacam pernyataan yang sempat membikin heboh itu, saya kira publik sudah tidak akan reaktif sebagaimana yang sudah terjadi.