Ihwal melaksanakan puasa di bulan Ramadan, semua umat Islam sepakat atas kewajibannya. Dengan tanpa uzur, tanpa halangan. Jika pun ada (kelompok) yang mengatakan tidak, kemungkinan besar mereka berasal dari kalangan ‘super minoritas’ yang menjalankan ajarannya dengan sembunyi-sembunyi. Tapi tak apa, betapa pun mereka dianggap sesat oleh sebagian besar dari kita, mereka tetap bagian dari masyarakat beragama. Atau setidaknya, masyarakat Indonesia yang mempunyai hak untuk berpendapat dan dilindungi keselamatannya oleh negara.
Ramadan adalah momentum tahunan dengan segala warna dan pernak-perniknya. Semua aliran dalam Islam, di bulan suci ini menjalankan ibadah puasa secara bersama-sama. Meskipun waktu penetapan hari pertamanya kadang tak sama. Hal ini wajar, sebatas persoalan furu’iyah (cabang) yang tak perlu ditarik panjang perdebatannya. Tahun ini, ketidaksamaan penetapan awal Ramadan kita rasakan kembali. Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan jatuh di tanggal 2 April, sementara NU bersama pemerintah pada tanggal 3 April 2022.
Kembali ke persoalan kewajiban puasa. Sejauh ini wajibnya puasa diakui secara mutlak oleh semua kelompok umat Islam, termasuk Syi’ah, yang bahkan dianggap oleh sebagian kita sebagai bukan bagian dari Islam. Sebagaimana muslim pada umumnya, mereka juga menjalankan ibadah puasa walaupun dengan tata cara yang sedikit berbeda. Di samping itu, dalam menetapkan awal bulan Syawal atau hari raya terdapat pula perbedaan di kalangan mereka. Namun, sekali lagi, perbedaan-perbedaan itu hanya sebatas persoalan furu’, tidak sampai menyangkut kepada yang bersifat prinsipil.
Salah satu yang berbeda dari tradisi berpuasa umat Syi’ah ialah menyangkut waktu berbuka. Jika Sunni (Ahlussunnah) pada umumnya berbuka puasa sesegera mungkin saat magrib tiba, orang Syi’ah menunda berbuka mereka hingga sekitar 10-15 menit kemudian. Hal ini bukan tanpa dasar. Yang menjadikannya sekaligus unik, keduanya, baik Sunni maupun Syi’i, mendasarkan pendapat mereka tentang kapan tiba berbuka puasa pada dalil yang sama. Ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mereka ialah surat Al-Baqarah: 187, “….tsumma atimmu ash-shiyama ila al-lail (….sempurnakanlah puasa sampai malam)”.
Syi’ah berpendapat bahwa “ila al-lail” (sampai malam) berarti sampai hari benar-benar gelap dengan ditandai hilangnya mega merah di ufuk timur. Sementara Sunni, mengartikan “ila al-lail” sebagai waktu di mana matahari sudah terbenam. Baik Syi’ah maupun Sunni, sebenarnya tidak lebih dari berhati-hati (ihthiyat) dalam menafsirkan ayat tersebut. Wujud dari penafsiran Syi’ah dengan menjeda berbuka puasa sampai benar-benar malam, sementara Sunni sebagai implementasi dari anjuran menyegerakan berbuka ketika waktu malam sudah datang. Dari kasus ini sudah bisa kita lihat, betapa redaksi dalam satu ayat Al-Qur’an pun bisa menibulkan interpretasi yang beragam. Masalah fikih begitu kompleks, dan karena itu tak seharusnya ada klaim benar sendiri di antara kita.
Hal lain menyangkut kebiasaan umat Syi’ah dalam menjalankan ibadahnya di bulan puasa, di waktu malam mereka tidak melaksanakan salat tarawih sebagaimana menjadi tradisi orang-orang Sunni. Dalam hasil reportase suara.com tentang aktivitas umat Syi’ah di Islamic Cultural Center Jakarta Selatan, 29 April 2020, (https://www.suara.com/news/2020/04/29/182552/beda-waktu-berbuka-ini-tata-cara-puasa-islam-syiah?page=2), mereka menerangkan bahwa salat tarawih merupakan sunah, sementara salat sunah yang diajarkan adalah yang dilaksanakan sendiri-sendiri. Sebagai gantinya, mereka mengadakan ceramah atau pengajian yang berlangsung hingga malam.
Sebelum berbuka puasa, mereka melaksanakan salat magrib terlebih dahulu yang dijamak dengan isya. Ketika azan magrib dikumandangkan, mereka tidak lantas langsung berbuka, melainkan bergegas mengambil wudu dan salat berjamaah. Ini merupakan ajaran lain dari kebiasaan umat Syi’ah dalam beribadah di bulan puasa. Mereka melaksanakan salat wajid dalam tiga waktu, yakni subuh, zuhur dengan asar yang dijamak, kemudian magrib dengan isya. Jumlah rakaatnya sama, 17 rakaat sebagaimana biasanya salat fardu. Bagi Syi’ah, salat dalam keadaan berpuasa pahalanya lebih besar, di samping hal yang demikian memang sesuai dengan tradisi yang dilakukan keluarga Nabi.
Perbedaan selanjutnya mengenai waktu berakhirnya bulan Ramadan. Seperti halnya Sunni, mereka sebenarnya sependapat bahwa bulan Ramadan berakhir dengan ditandai terlihatnya bulan pada malam 1 Syawal. Perbedaan antara keduanya, sekali lagi, hanya pada persoalan furu’. Syi’ah menetapkan kriteria bagi orang yang melihat hilal lebih ketat daripada yang ditetapkan Ahlussunnah. Kesaksian satu orang saja, baik budak, perempuan, anak kecil, orang fasik, apalagi non-muslim, bagi Syi’ah tidak dapat diterima. Mereka yang melihat hilal haruslah seorang laki-laki, balig, beragama Islam, dan jumlahnya banyak.
Di hari raya Idul Fitri, umat Syi’ah tidak melaksanakan salat id secara berjamaah. Begitu pun pada hari raya Idul Adha. Salat hari raya umat Syi’ah dilaksanakan sendiri-sendiri selama belum ada imam maksum. Imam maksum (dalam Syi’ah Itsna Asyariyah) berarti merujuk kepada imam kedua belas yang kini masih dalam masa kegaiban (ghaibah kubra). Jadi, selama belum muncul imam tersebut, umat Syi’ah hanya boleh melaksanakan salat hari raya dengan sendiri-sendiri. Dalam tradisi Syi’ah juga, hari raya yang paling utama bagi mereka adalah Idul Ghadir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah.
****
Demikian beberapa perbedaan umat Syi’ah dalam menjalankan ibadah puasa serta berhari raya. Tulisan ini sebenarnya saya angkat melalui beberapa sumber, baik internet maupun buku-buku fikih Syi’ah. Karena secara pengalaman, sebenarnya saya tak pernah berinteraksi langsung dengan mereka, kecuali sebatas dekat dengan pemikiran-pemikirannya melalui penelitian yang selama ini saya lakukan.
Beberapa perbedaan tentang puasa dan hari rayanya orang-orang Syi’ah yang dibahas di atas merupakan bukti beragamnya interpretasi umat Islam terhadap teks-teks agama. Perbedaan-perbedaan tersebut, bagi saya bukanlah hal krusial yang memerlukan perdebatan panjang. Apalagi sampai ditarik pada tuduhan dan klaim-klaim egosentris yang ujungnya mengecap sesat dan kafir-mengafirkan. Perbedaan adalah satu keniscayaan. Jangankan dengan Syi’ah, di kalangan Sunni pun persoalan khilafiah semacam ini juga kerapkali terjadi.
Keberadaan Syi’ah dan aliran-aliran lain sebagai minoritas di negeri ini setidaknya perlu kita akui sebagai bagian dari masyarakat muslim Indonesia yang heterogen. Kekerasan dalam beragama, sebagaimana pernah terjadi pada penganut Syi’ah di Sampang, dan jamaah Ahmadiyah di beberapa daerah, sama sekali tidak dibenarkan dalam agama, terlebih dalam kehidupan bernegara. Hal terpenting adalah, bahwa mereka juga punya hak sebagaimana hak kita atas keyakinan kita sendiri. Di atas semua itu, mengikuti apa yang sering digaungkan Gus Dur: tidak lain karena kemanusiaan!
Salat Id dalam Syiah harus dilakukan secara berjemaah, tidak boleh sendiri-sendiri. Karena pelaksanaan sama, ada khotbah dsb. Perbedaan hukumnya dikaitkan dengan keberadaan imam ahlulbait. Dalam keadaan imam tidak hadir, hukum asal yang tadinya wajib, menjadi wajib ikhtiyari atau mustahab.