Sedang Membaca
Choirul Anam, Tiga Wajah dalam Satu Figur (1)
Riadi Ngasiran
Penulis Kolom

Nahdliyin Journalist cum Historian. Sejumlah buku ditulisnya, termasuk buku “Kesabaran Revolusi Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah”. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), Kontributor Jurnal Archipel (Paris, 2006) dengan tulisan L'identité de Surabaya dans la peinture moderne (“Identitas Surabaya dalam Lukisan”). Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdaltul Ulama (ISNU) Jawa Timur, Bidang Kebudayaan.

Choirul Anam, Tiga Wajah dalam Satu Figur (1)

Cak Anam

Dalam suatu apel akbar, juga rapat akbar, menjadi bagian khas kegiatan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Suatu kisah tutur berkembang, terjadi dalam upacara apel akbar.

Komandan Upacara: “Lapor! Upacara apel akbar Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, siap dimulai”.

Inspektur Upacara: “Sudah tahu!”

Anekdot ini dituturkan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi, menunjuk pada pribadi Choirul Anam, saat pemimpin GP Ansor Jawa Timur. Kata “sudah tahu” terkesan mendahului adanya laporan seseorang yang berada di bawahnya. Tapi, begitulah, Choirul Anam memang memahami setiap denyut nadi dalam tubuh organisasi yang dicintainya, NU.

***

Di tengah ketegangan dan jebakan rutinitas kerja, seseorang membutuhkan pelepasan. Mencari keseimbangan guna memulihkan semangat. Satu-satunya tempat di Surabaya yang menjadi komunitas orang-orang pembelajar bergaya hidup bebas: Balai Pemuda. Di kompleks yang — pada zaman Hindia Belanda terpampang papan bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlander’ (Anjing dan pribumi dilarang masuk) — menjadi tempat mangkal para seniman, aktivis dan intelektual, terdapat gedung yang bersebelahan dengan gedung utama. Di depan gedung kecil bersebelahan dengan Masjid As-Sakinah, terdapat pohon nangka, di bawah pohon itulah orang-itu berkongko-kongko, membicarakan segala hal berkait dengan perkembangan masyarakat. Kadang bicara politik, bukan hanya soal teater, perpuisian atau soal keseniannya, kadang isu-isu lain yang berkaitan headline berita suratkabar pada hari itu.

Suatu hari, saya menyaksikan Chusnul Huda Sholeh, membaca buku bersampul tebal dengan ukuran yang tak lazim, 22 cm x 21 cm. Judulnya, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Sebagaimana watak ‘egois’ orang-orang yang bermangkal di Bengkel Muda Surabaya (BMS), Chusnul Huda Sholeh, yang — kemudian saya mengetahui dia adalah putra KH Sholeh Qosim Sepanjang, kemenakan KH Imron Hamzah, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada saat itu — dikenal sebagai aktor jumawa. Ia pernah memainan drama karya sutradara Basuki Rakhmat, juga sutradara Akhudiat yang cukup mengesankan bagi publik kesenian di Surabaya, berjudul Laboratium Gila. Setelah tadi membacanya seraya menutupi sampul buku agar tak diketahui orang, ia langsung memasukkannya ke lemari di ruang tengah gedung itu.

Sebagai tempat mangkal yang nyaman, saya pun mengenal banyak orang dengan latar belakang sangat beragam. Terkhusus dari pesantren, ada nama yang sempat mangkal di Bengkel — sebutan akrab para seniman terhadap BMS — seperti D. Zawawi Imron (Desa Batang-Batang, Sumenep), Acep Zamzam Noor (Cipasung, Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (Cirebon). Terdapat juga nama Masduki Baidlawi yang — saya ketahui dari salah satu kumpulan puisi yang diterbitkan BMS — jurnalis Majalah Tempo, kemudian Editor, kini menjadi kepala staf Wakil Presiden. Saya pun menjumpai figur-figur lain di kompleks gedung itu: Bambang Sudjiyono, Agil Haji Ali, Saiful Hadjar, Arif Bagus Prasetyo, Akhudiat, Rendra, Teguh Karya, Wiji Thukul, Oka Rusmini, Sosiawan Leak, Emha Ainun Nadjib, Arif Afandi, Yusron Aminulloh, Aribowo, Sirikit Syah, M. Anis, dan deretan nama dari pelbagai profesi dan bidang pengabdian, yang menghiasi perjalanan negeri ini.

Saya pun mengenal Halim H.D. Seorang yang dikenal sebagai networker kebudayaan asal Solo, inilah yang menerbitkan buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (cetakan pertama, Januari 1985). Halim bercerita, pada suatu hari di tahun 1984 melalui Saiff Bakham, mantan aktor Yogya yang mejadi jurnalis Tempo di Surabaya, ia mendapat info ada skripsi mahasiswa IAIN Sunan Ample yang menarik.

Baca juga:  Dakwah Lembut Habib Nusantara (2): Habib Luthfi dan Gerakan Cinta Tanah Air

Halim HD pun dikenalkan kepada Choirul Anam, yang juga waktu itu reporter Tempo, majalah berita mingguan dengan Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksinya, di kantornya di Jalan Kembang Jepun. Halim meminjam skripsi itu. Dalam dua-tiga hari di antara Surabaya dan Malang, Halim selesai membaca. “Minggu berikutnya saya kontak Cak Anam, mengundang ke Solo untuk teken kontrak.” Akhirnya, cetakan pertama perdana buku tersebut, dengan sampul didesain Ari Wijaya dari Bengkel Grafis Gelanggang, berhasil diterbitkan Penerbit Jatayu, Jalan Gumuk 10-B, Solo.

Memang, dari buku karya Cak Anam inilah, di antara kita bisa mengenal perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama lebih utuh, ditulis dari “orang dalam”. Saya kira, tak seorang pun menolak penilaian ini, sebagai buku babon NU. Meski kemudian pada waktu berikutnya, M. Ali Haidar pun menulis buku berjudul Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), dari disertasi yang dipertahankan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Saya pun mengetahui ketika Martin van Bruinessen, melakukan obrolan bersama Cak Anam bagi pengembangan kajian-kajiannya terkait semesta Pesantren, NU dan Islam di Indonesia. Bagi santri “gila NU” kurang sah bila tak mengenal karya ahli antropologi asal Belanda ini, khususnya karnya berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Termasuk buku wajib karya Choirul Anam, terdapat penulis lain seperti Andree Feillard, Mitsuo Nakamura, Gred Fealy, dan Gregorius Barton. Di tengah semangat para pengkaji NU, saya teringat nama Indonesianis, Benedict Anderson, yang pertama-tama menyayangkan sepinya NU sebagai ranah kajian pada era 1960-70an. Saat itu, hanya seorang, Mochtar Naim yang terpikat NU. Orang Minang ini, menulis tesis Master of Arts di McGill University (di Montreal, Quebec, Canada, berdiri sejak 1821), berjudul The Nahdlatul-Ulama Party (1952-1955).

Mochtar Naim, betapa pun, telah melakukan suatu kajian serius tentang asal muasal kesuksesan pada Pemilihan Umum 1955: Dari perjalanan NU di Kongres ke-19 (saat itu belum dikenal istilah “muktamar”) yang diselenggarakan di Palembang pada akhir bulan April 1952 merupakan suatu peristiwa yang menentukan. Hal ini membuka halaman sejarah perkembangan NU. Merupakan titik puncak tradisi gerakan yang telah berlangsung selama seperempat abad. NU, yang pada saat itu murni merupakan gerakan sosial, pendidikan dan keagamaan Islam, juga menjadi sebuah partai politik. NU telah diakui dalam kajian itu, menjadi seperti struktur miniatur Islam yang mencakup setiap aspek kehidupan.

Kita pun kemudian mengenal nama-nama Mahrus Irsyam dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Kacung Marijan (Universitas Airlangga, Surabaya), Ahmad Mansur Suryanegara (Univeritas Padjadjaran, Bandung), yang bertebaran tulisan soal NU dan perubahan sosial di Indonesia pada zaman pemerintahan Soeharto.

Begitulah, saya mengenal nama Choirul Anam sebagai penulis buku tentang perjalanan dan perkembangan NU, lalu ada yang menyebut sejarawan NU. Di mataku, Cak Anam juga sebagai jurnalis dan tokoh media, serta sebagai aktivis.

Pengembangan Duta Masyarakat

Wajahnya dingin, begitu mahal senyum. Sosok serius, kesan dalam batinku suatu ketika bertemu dengannya. Ketika itu, Cak Anam meminta untuk membuka rubrik di Duta Masyarakat secara regular sepekan sekali, menampilkan tokoh-tokoh NU yang berjasa dalam perjuangan negeri ini. Akhirnya, terwujud dengan dibantu Washiel Hifdzy Haq, seorang santri yang cukup lincah dalam menulis profil kiai-kiai. Bisa dimaklumi, karena ia berkerabat dekat Hamid Ahmad dan H. Musthafa Helmy, sebagai keluarga besar K.H. Achmad Siddiq dan K.H. Abdul Hamid Pasuruan. Washiel, kini dikenal sebagai kiai di Glenmore Banyuwangi, saat itu juga membantu di Tabloid WARTA PBNU, 2003-2004. Tabloid tengah bulanan ini, diambil alih pengelolaanya dari Jakarta karena macet, oleh Cak Anam (Ketua Pengarah), dan Mokh. Kaiyis (Redaktur Pelaksana) diterbitkan di Surabaya, mendampingi Surat kabar Duta Masyarakat yang terbit harian. Sesekali saya pun turut mengisi di Tabloid WARTA diterbitkan PBNU Jakarta, dicetak di Surabaya.

Baca juga:  Sajian Khusus: Esais Muda Pesantren; Kiprah dan Jejak Ulama Nusantara

Media-media NU memang mengedepankan materi yang menunjukkan eksistensi para tokohnya dalam berperan di tengah perubahan masyarakat dan kemajuan negara. Menghadirkan eksistensi para kiai dan ulama pesantren, khususnya peran mereka dalam pembentukan dan berdirinya negara.

Ketika itu, di tengah-tengah konflik yang terjadi dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Belakangan saya tahu, dalam rubrik yang berisi tentang tokoh-tokoh pejuang NU, sebagai bahan penyemangat akan persiapan berdirinya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), menyusul konflik internal PKB yang tak berujung antara para masyayikh (kiai sepuh) dan Gus Dur, sebagai Ketua Dewan Syuro DPP PKB. Saya ingat, sejumlah nama hadir dalam rubrik Profil Tokoh: KH Chudlori Tegalrejo, K.H. Muhaiminan Gunardo, K.H. Abdurrochman Chudlori, KH Abdullah Faqih Langitan, K.H. Abdullah Abbas, K.H. Fachruddin Masturo, KH Munasir Ali, K.H. Hasyim Lathif, KH. M, Yusuf Hasyim, KH Ali Ma’shum, KH Achmad Siddiq, KH Ali Yafie, dll. Ya, titik pokok dalam pembahasannya, pada peran-peran para kiai itu dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat dan perannya demi kemajuan negara.

Saya tergabung di koran Duta Masyarakat yang dikelola Cak Anam pada pertengahan Agustus 2001, sebulan setelah K.H. Abdurrahman Wahid dilengserkan sebagai Presiden ke-4 RI dalam “Kudeta Konstitusional” pada 23 Juli 2001. Tentang ini, ada sedikit catatan yang memberikan semangat identitas diri sebagai santri. Pada saat Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Sukarno, NU menerbitkan suratkabar Duta Masjarakat.  Dengan figur-figur penulis yang cukup berkesan: KH Saifuddin Zuhri, H. Mahbub Djunaidi, H. Said Budairy. Atas kebaikan kawan dari Gresik, Made Wirya, saya masih menyimpan beberapa edisi lama Duta Masjarakat.

Dalam sejarahnya, Duta Masjarakat kali pertama terbit pada tanggal 2 Januari 1954. Namun baru memperoleh surat izin terbit oleh pemerintah pada 1958. Pada masa awal penerbitannya, hanya bermodalkan percetakan tua milik PBNU yang beralamatkan di Jalan Menteng Raya No. 23 Jakarta, kemudian selang beberapa tahun kantor surat kabar Duta Masjarakat pindah di Jalan Menteng Raya No. 24 Jakarta. Koran ini muncul di tengah pergolakan politik. Bertujuan untuk meminimalisasi pengaruh pers-pers komunis yang begitu kuat. Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai surat kabar bernama Harian Rakyat, Partai Masjumi dengan surat kabar Abadi.

Terikat dengan sejarah itulah, pada 1998 — seiring Indonesia memasuki era Reformasi — KH Abdurrahman Wahid mendirikan kembali suratkabar dengan nama Duta Masyarakat Baru, dengan menunjuk K.H. Ahmad Mustofa Bisri sebagai Pemimpin Redaksi. Redaktur Pelaksana dipegang Arif Afandi dan Pemimpin Perusahaan H Saifullah Yusuf. Setelah beberapa bulan terbit, pada Mei 1999 saya pun bergabung dengan Duta Masyarakat Baru. Saat itu, proses kerja redaksi dilakukan di sudut ruang lantai 4 gedung Grha Pena, Jalan Ahmad Yani Surabaya. Di jajaran perwakilan Surabaya terdapat nama M. Mas’ud Adnan dan Helmy M. Noor. Sedang di Jakarta, terdapat sejumlah nama yang sering berhubungan dengan kami, seperti Muh. Hadzik dan Luqman Hakim — ia kemudian menerbitkan Majalah Sufi, kini menjadi pengampu pengajian tasawuf Kitab Al-Hikam. Saat di sinilah, kami merasa seperti ‘anak lampoar’ — meminjam istilah para pemain ludruk ketika menyebut anak-anak tak berbapak –bekerja di tengah hiruk-pikuk aktivitas para awak media di Jawa Pos semasa kejayaannya.

Baca juga:  Kiai Achyat Irsyad Banyuwangi, Penyusun Metode Penulisan Huruf Pegon ala Nadzam

Karena suatu masalah, di antaranya, dinilai tak visible, Duta Masyarakat Baru, terlepas dari manajemen Jawa Pos. Kantor Redaksi Duta Masyarakat Baru berpindah kantor di bilangan Kedungdoro Surabaya. M. Mas’ud Adnan, tak ikut boyong karena kemudian didukung Dahlan Iskan mendirikan koran Harian Bangsa.

Dalam catatan saya, pada 30 April 2001 PBNU menerbitkan Tabloid MASA. Berawal terbit dengan Edisi Istighotsah (29 April – 10 Mei 2001) menampilkan gambar Gus Dur sedang santai membaca buku, dengan judul besar: “Strategi Gus Dur Bertahan”. Menyusul kemudian Edisi I (8 – 14 Mei 2001) menampilkan foto dengan judul besar “Mediator Itu Bernama Rachmawati Soekarnoputri”. Tabloid MASA, diterbitkan P.T. Bintang Sembilan Mediatama, mencantumkan sejumlah nama,  K.H. A. Hasyim Muzadi (Pemimpin Umum), H. Masduki Baidlawi (Wakil Pemimpin Umum), K.H. A. Mustofa Bisri (Pemimpin Redaksi), dan Musthafa Helmy (Redaktur Eksekutif), sedang perwakilan Surabaya terdapat nama Helmy M. Noor. Tabloid MASA, tak berumur panjang. Hanya sampai pada edisi 22 (15 – 21 Oktober 2001) sebagai edisi terakhir yang bisa dibaca warga Nahdliyin. Sesudah itu, tabloid dengan kertas hvs terkesan indah itu,  tak terbit lagi.

NU harus tetap punya media. Begitulah tekad Cak Anam. Ia berinisiatif mengambil alih penerbitan koran yang sasaran pembacanya warga Nahdliyin. Dicetak dan diterbitkan dari Surabaya, dengan nama Duta Masyarakat — dengan menghilangkan kata “Baru”– dari kantor di kawasan Kedungduro, dengan mengusung peralatan kantor dan beberapa unit perangkat komputer, ke kawasan Kutisari Surabaya pada Maret 2001.

Setahu saya, Cak Anam gigih dalam menghidupkan media-media, bukan hanya di lingkungan NU tapi juga media Islam secara umum. Ia menghidupkan Warta PBNU, juga melayani terbitnya Majalah Semesta, yang sasaran pembacanya umat Islam secara umum. Cak Anam pun membantu terbitnya Majalah Tashwirul Afkar, yang dikerjakan sejumlah aktivis muda NU, seperti Ellyasa K.H. Darwisy, Ulil Abshar-Abdalla, M. Imam Aziz, dll. Menjadi media pengembangan pemikiran pesantren dan intelektualisme di kalangan kaum santri. Edisi perdana Majalah Tashwirul Afkar, mengangkat topik kiprah dan pemikiran KH Achmad Siddiq dan relasi pemikiran kaum santri dengan Pancasila. Majalah Tashwirul Afkar, semula dengan format ukuran majalah normal (ukuran 20 cm x 28 cm), kemudian berubah ukuran mini (17 cm x 23,5 cm), seperti bentuk Majalah Prisma, diterbitkan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top