Sebut saja namanya Musydalifah, santri senior yang sedang galau setelah kelulusannya dari pendidikan Magister. Bukan karena ia tak bahagia mendapat ijazah S2-nya, namun ia dirisaukan dengan pertanyaan horor yang kerap ditanyakan kepadanya “kapan nikah?”.
Wajar saja ia sudah berumur 27 tahun lebih. Umur di mana teman-temannya sudah menimang anak. Terlebih di keluarga, ia juga sudah sering disuruh untuk menikah. Bukan karena ia tidak mau, tapi sampai detik ini ia merasa belum menemukan tambatan hati (cie!!)
Mbak Musy begitu biasanya ia dipanggil di pondok oleh santri lain. Selain pintar, Mbak Musy terkenal lancar dan kuat hafalannya dalam Al-Quran. Wajar jika Bu Nyai menjadikannya badal untuk menyimak hafalan santri-santri lain yang belum khatam hafalannya.
Suatu waktu saat ia piket masak di dapur pesantren ia mencurahkan kegalauannya kepada sahabat karibnya, sebut saja namanya Rahma.
“sebener e aku wes pengen rabi lho” ungkap mbak Musy dengan dahi berkerut
“yo rabi to mbak, hehe” sergap Rahma
“lak wes enek calon e aku wes rabi ket biyen to (kalau sudah ada calonnya aku sudah nikah dari dulu)” ungkapnya dengan nada khas anak galau
Dengan semangat Rahma berkata “tenang mbak, mungkin jodoh e sampean masih wudhu…”
Dengan muka bingung mbak Musy bertanya “kok masih wudhu, maksudnya?”
“ya kan lā yamassuhū illa al-muthohharūn, tidak boleh menyentuhnya kecuali orang suci, wkwkwk”