Sedang Membaca
Santri Pojokan dan Gagasan yang Menyertainya
Avatar
Penulis Kolom

Penikmat esai.

Santri Pojokan dan Gagasan yang Menyertainya

Santri

Obrolan seputar politik sering berada di meja diskusi kawan-kawan saya, baik di kampus, kantor, perpustakaan, ataupun tempat pojokan di area pondok. Tema politik selain membuat perasaan tergelitik, juga tidak jarang memunculkan sikap kritis bahkan cenderung marah, karena terjadinya benturan wacana antara satu dengan yang lain. Suasana pun terkadang mesti perlu untuk dibuat dingin kembali, hanya karena terkena sentilan persoalan partai. Lucu sekali.

Teringat salah satu esai Goenawan Mohamad (GM), tertanggal 25 Februari 1978, dalam buku Catatan Pinggir 01, yang berjudul Tentang Kebebasan.  Pemahaman seputar kebebasan menuntut manusia mengerti dan  sepenuhnya menyadari, bahwa kebebasan bukanlah segala-galanya serta satu-satunya hal yang patut dimiliki dengan usaha mati-matian. Sebab, terkadang dengan kebebasan, manusia terkungkung tanpa menyadari nilai penting yang tersirat dalam kebebasan itu sendiri. Namun, saya mengakui, dengan nilai kebebasan, manusia mampu membuka sekat antara satu dengan yang lain. Sehingga timbul orientasi saling percaya dan mampu dipercaya.

Santri Pojokan

Pojokan merupakan istilah sederhana dari suatu tempat yang berada di pojok suatu  ruang. Meski memiliki pencahayaan yang temaram, pojokan biasanya digemari santri untuk sekadar guyon atau bahkan mengkaji satu hal dan lain hal. Tidak jarang pula dari lingkaran kajian tersebut, lahir diskusi panjang tentang ketuhanan meski dengan gaya obrolan yang terlampau sederhana. Sehingga dari waktu ke waktu, saya merasa, pojokan semakin bernilai ketika gema yang dihasilkan tidak dari pembicaraan yang sembarangan.

Status santri akan disandang oleh sesiapa yang memasrahkan dirinya ke pondok pesantren untuk menimba ilmu agama, demikian pandangan umum masyarakat kita. Ungkapan tersebut tidaklah salah, bahkan cenderung berada di posisi benar adanya. Namun, jika pandangan tersebut hanya berhenti di situ saja, agaknya kurang pas, sebab realita yang ditemukan dari sosok seorang santri lebih dari apa yang digambarkan semula.

Baca juga:  Sarung, Madura, dan Inferioritas

Dari santri pojokan, saya menaruh harapan. Obrolan yang di luar dugaan, malah terkadang mampu menyinggung soal keimanan. Bagaimana mungkin pada tahun 2022 pengasuh memberikan layanan nasi gratis kepada santri, padahal SPP pondok sudah gratis pula. Hal demikian dibicarakan, didiskusikan, bahkan dikaji sampai pada titik di mana keimanan, kepercayaan, kesaling-percayaan yang terjadi antara makhluk dengan khalik sedemikian bertaut. Begitupun saat bersinggungan dengan politik, mengapa partai ini dianggap begini oleh pengasuh A dan partai ini dianggap begitu oleh pengasuh B.

Perbedaan tersebut tidak diputus secara sarkas oleh santri pojokan, bahkan dikajinya secara hati-hati dan saksama. Diambilnya jalan tengah bahwa santri pojokan memiliki konklusinya sendiri tapi tidak dengan menyalahkan perbedaan pendapat yang ada di luar diri. Obrolan tersebut seharusnya memacu semangat kita untuk tidak berprasangka buruk, bahkan menepis sangkaan tidak baik terhadap sesama manusia.

Iman dan Keterbukaan

Iman dapat kita pahami sebagai bentuk dari suatu sikap percaya kita kepada sang pencipta; membenarkan bahwa Allah Swt. adalah tuhan semesta alam, nabi Muhammad saw. adalah seorang utusan. Pembenaran tersebut tentu tidak sebatas di lisan saja, melainkan hati dan perbuatan harus memiliki titik hubung yang erat. Jika tidak, maka akan bernilai sia-sia belaka.

Baca juga:  Pesan yang Melekat dari Ibadah Puasa

Tingkat keimanan seseorang bisa bertambah dan berkurang, sehingga memang diperlukan adanya riyadhah tersendiri untuk mengembalikan titik keimanan seseorang tetap stabil. Konsep iman di atas mampu menumbuhkan rasa aman dan kesadaran dalam mengemban amanah. Sehingga dalam berinteraksi, santri mudah untuk terbuka, saling silang percaya dengan orang lain.

Sebab, orientasi dari iman, selain pemutlakan kepada Tuhan, juga kepercayaan atas sesama makhluk. Sikap keterbukaan tersebut mengantarkan santri pada titik keimanan yang tidak mudah goyah, karena pada diri orang yang iman, kecemasan berupa ketakutan yang akan terjadi setelah bersikap terbuka kepada orang lain, tidak akan terjadi.

Korelasi pandangan hidup yang demikian itu akan menuntun manusia untuk senantiasa bersikap terbuka kepada sesama manusia yang lain. Tentu dengan saling terbuka, serta saling mendukung satu sama lain. Namun, juga terdapat hal lain yang mendasari keterbukaan, yakni sikap kritis. Sikap tersebut merupakan konsistensi iman yang amat penting, karena menjadi kunci dalam sikap pemutlakan terhadap Tuhan.

Iman dan Demokrasi

Sikap menonjol dari santri pojokan adalah kebersamaan yang terbentuk seharmonis mungkin. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi juga terhadap masing-masing individu saat bersikap dengan yang lainnya. Setelah titik keimanan dan keterbukaan dibahas, maka perlu diketahui bahwa dua hal tersebut berkaitan juga dengan demokrasi, yaitu pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan, yakni kehendak bersama.

Baca juga:  Kisah Hubungan NU-Muhammadiyah

Konsep demokrasi berpangkal pada tingkat kebersamaan yang digunakan. Baik dalam pemecahan masalah atau dalam menentukan sebuah keputusan. Kondisi tersebut disebabkan oleh pancaran kepercayaan terhadap Sang Khalik. Sebab, iman kepada Allah menuntut agar segala perkara antar manusia diselesaikan melalui musyawarah, yang dengan sendirinya akan memberikan proses timbal balik antar manusia, dengan hak dan kewajiban yang sama. Sehingga deskripsi singkat masyarakat beriman adalah masyarakat musyawarah. Gagasan tersebut secara gamblang dijelaskan dalam surah Al-Syura ayat 38.

Seperti dibahas di muka, gambaran santri pojokan perlu untuk tetap lestari. Sebab segala unsur kemanusiaan mampu melewatinya dengan mudah dan damai, tanpa memerlukan hal yang bersifat materi secara terus menerus. Selama santri pojokan melakukan hal-hal yang manfaat dan maslahat patut kiranya untuk tetap mentradisi. Bahkan, saya rasa perlu untuk diketuk tularkan pada generasi selanjutnya.

Sampai di titik ini, saya yakin bahwa santri masih bisa diandalkan, karena dari tempat mereka mondok, segala kreatifitas dilakukan meski sederhana tapi tetap berguna terhadap sesama. Bahkan, saya meyakini bahwa dari santri, oleh santri, untuk negeri. Adagium saya tersebut benar adanya, karena berangkat dari jiwa nasionalis-religius seorang santri memang tertanam arah pandang demikian. Tidak ayal ketika ditemui kalangan santri sudah mampu menyandang emansipasi serta nilai kebebasan yang jauh dari tirani. Mengusung konsep politik yang manusiawi serta tidak mudah memarginalkan di satu sisi. Hal tersebut demi sebuah negeri yang harmoni.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top