Sedang Membaca
Kiai Imam Aziz: Sang Kiai Demokrasi, Guru Wong Cilik, dan Mentor Para Aktivis Pergerakan
Rekki Zakkia
Penulis Kolom

Penyair, Aktivis. TIM SAR FPPI (Satuan Advokasi Rakyat Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Anggota Departemen Agitasi dan Propaganda Rakyat Kuasa.

Kiai Imam Aziz: Sang Kiai Demokrasi, Guru Wong Cilik, dan Mentor Para Aktivis Pergerakan

imam aziz

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Telah berpulang ke rahmatullah, K.H. Imam Aziz. Seorang Kiai par excellence, guru rakyat dan bangsa yang bersahaja, penuntun ruhani, dan pembela kaum mustadh‘afin. Seorang pahlawan kemanusiaan, yang hidupnya adalah napas dari perjuangan dan pemikiran yang tak henti membela rakyat kecil.

Di antara debu jalanan yang dilintasi para aktivis, di sela-sela rapat gelap yang mempercakapkan masa depan serta nasib rakyat kecil, di tengah-tengah medan pikir dan dzikir kaum pergerakan, selepas dinihari tadi telah gugur satu bintang terang: K.H. Imam Aziz, sang kiai demokrasi, penjaga api perjuangan kultural, dan penuntun jalan bagi mereka yang memilih berpihak pada kaum mustadh‘afin.

Sebagai seorang santri, aku menyesal datang terlambat mengenalnya. Tapi bahkan dalam keterlambatan itu, aku justru menemukan cahaya api yang tak lagi sekadar memantul, tetapi menyusup ke dalam hati, tinggal dalam dada, dan menetap sebagai bekal jalan panjang. Aku datang sebagai murid, namun beliau menerimaku juga sebagai kawan seperjalanan perjuangan, dengan tanpa meninggikan diri. Di situlah aku tahu: menjadi Kiai Besar tidak selalu berarti duduk di atas mimbar tinggi mulia, tapi bersanding di arus bawah tanah, mendengar jeritan rakyat, dan menenun harapan perjuangan mereka menjadi cita bersama.

K.H. Imam Aziz bukan hanya seorang kiai. Ia adalah jembatan antara visi langit dan aksi bumi, antara ruh Islam yang murni dengan dunia sosial-politik pergerakan yang berkelok dan keruh. Ia bukan sekadar membicarakan demokrasi: ia menghidupinya, mempraktikkannya, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari laku spiritual dan tindakan kultural. Di tangannya, Islam bukan sekadar doktrin, tapi kesadaran dan keberpihakan. Islam bukan sekadar ibadah pribadi, melainkan etika pembebasan sosial. Bersamanya, aku belajar bahwa iman dan keberpihakan tidak bisa dipisahkan keduanya adalah satu napas perjuangan.

Baca juga:  Obituari Rama Jati: Pupuhu Penjaga Spiritualitas Sunda Wiwitan

Ia adalah ‘Kiai Kiri’, dalam makna yang paling mulia, agung, tinggi dan luhur: dari kata itu. Kiri bukan karena label politik semata, tapi karena keberanian memilih jalan sunyi, berpihak kepada rakyat kecil ketika banyak orang memilih menjadi netral aman “diem-diem bae”. Beliau berdiri di sisi yang lemah, berpihak pada yang tertindas. Ia bukan hanya memaknai Islam sebagai agama pribadi, tapi sebagai jalan hidup kolektif untuk pembebasan, untuk keadilan, untuk kesejahteraan umat, untuk kemanusiaan. Di masanya, dan juga di masa ini, tak banyak yang berani seperti beliau. Ia tegak lurus di garis perjuangan, tidak tunduk pada kompromi murahan ala kiai-kiai muda tertentu lainnya yang justru lebih junior dalam berkiprah, ketika bersentuhan dengan pesta pora politik kekuasaan.

Di dalam dirinya, aku belajar bahwa istiqamah bukanlah slogan, tapi laku sehari-hari. Ia menolak jadi pahlawan yang tampak, tapi hidupnya adalah narasi panjang kepahlawanan itu sendiri.

Cinta rakyat kecil, tanah air, bangsa dan cinta Indonesia baginya bukan jargon, tapi napas. Ia ajarkan kami mencintai Indonesia bukan hanya dari teks-teks pidato, tetapi dari aksi keberpihakan nyata pada kaum tertindas, buruh, petani, nelayan, dan warga miskin kota. Di tengah gelombang neoliberalisme, kapitalisme, militerisme dan oligarki-isme, ia tetap menjaga api kesadaran perlawanan agar tak padam, agar tetap menyala, agar tetap menjadi terang bagi mereka yang tak tahu lagi harus berharap kepada siapa.

Baca juga:  Kiai Moensif Nachrowi, Perawat Memorabilia Nahdlatul Ulama

K.H. Imam Aziz adalah guru dan mentor dari banyak aktivis jalanan & advokator rakyat sepertiku. Mereka yang turun ke jalan membawa poster dan teriakan lantang tuntutan, mereka yang masuk hutan dan kampung untuk mendampingi dan mengadvokasi rakyat, banyak dari mereka adalah anak-anak ideologis beliau. Tapi beliau bukan hanya mengajar dan mengader, beliau membentuk. Ia membentuk manusia. Ia membentuk watak. Membentuk karakter. Membentuk kepribadian. Ia membentuk kesadaran sejarah.

Jejaknya membentang luas, dari masjid pesantren ke ruang kelas, dari diskusi kecil di basecamp organisasi ke seminar internasional, dari panggung-panggung seni ke pusaran politik nasional. Melalui diskusi-diskusi lintas generasi. Ia menyulam antara ilmu sosial, seni, kebudayaan, politik, kultur intelektualitas dan cakrawala spiritualitas Islam menjadi satu tenunan kebangsaan. Ia adalah sumur bagi para pencari makna, guru bagi yang kehilangan arah, kawan baik bagi para pejuang, dan rumah bagi mereka yang tertindas, terhempas putus dan terpinggirkan oleh zaman.

Ia adalah otak intelektual dari gerakan rakyat lintas generasi. Gerakan yang tak sekadar bergerak, tapi memikirkan arah, membangun strategi, dan menyiapkan generasi. Kader-kadernya tumbuh di berbagai penjuru negeri: di desa-desa yang sunyi senyap dan kota-kota yang gaduh dan ramai. Mereka semua membawa bekal yang sama: nilai, spirit, keberanian, dan cinta murni yang diwariskan oleh Kiai Imam Aziz.

Baca juga:  Sketsa Singkat Pangeran Diponegoro Sebagai Muslim Jawa

Kini ia telah tiada. Tapi namanya telah tertulis dalam kitab-kitab sejarah hidup kami. Dalam lantunan dzikir kami yang pelan, dalam teriakan kami yang lantang di jalanan, dalam langkah kami yang tertatih, dalam perjuangan kami yang belum selesai. Ia telah menjadi bagian dari sejarah, bukan tulisan (penulisan) sejarah milik para penguasa, tapi sejarah mereka yang memilih mencintai tanpa pamrih, keikhlasan tulus dalam perjuangan .

Kini, kami kehilangan sosok yang langka. Tapi ajaran dan keteladanannya tak pernah wafat. Ia hidup dalam semangat kami, dalam mimpi-mimpi kami tentang Indonesia yang adil dan beradab. Ia hidup dalam jalan yang kami tempuh, jalan panjang perjuangan dan pertanyaan sepi-sepi diri yang pernah ia terangi.

Selamat jalan, Kiai.
Semoga cakrawala terang menyambutmu dengan takzim,
sebagaimana kami mencintaimu dengan segala kerendahan hati.

Doa kami adalah puisi pamflet panjang yang tak habis-habis,
yang akan kami bacakan di tengah diskusi-diskusi, di tengah rapat-rapat gelap, di tengah gelanggang aksi-aksi, di tengah gelora demonstrasi, di tengah malam yang sunyi.

Engkau telah menyalakan obor. Kini giliran kami menjaganya, agar tak padam, agar tetap menyala, agar tetap menjadi cahaya, di negeri yang kau cintai sepenuh jiwa: Indonesia.

Selamat jalan, Kiai Imam Aziz.
Al-Fatihah.

***

Kebun Makna, Sabtu 12 Juli 2025.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top