Warganet di media sosial terutama Facebook, diramaikan dengan informasi “Kelas Poligami Road Show Nasional”. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Poligami Indonesia di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pekanbaru, Balikpapan, Makassar, dan Lampung. Di Jakarta sendiri, forum ini akan digelar pada hari Minggu, 29 Juli 2018.
Ada empat narasumber spektakuler yang akan dihadirkan dengan tema yang menggugah itu. Ustaz Andi Arlin akan membawakan topik “Fiqh Poligami dari A-Z Mengacu Praktek Poligami Rasulullah dan Ummahatul Mukminin”. Topik “Cara Cepat Dapat Istri Empat dalam Perspektif Islam” akan diberikan oleh Vicky Abu Syamil. Sedangkan Aziz Loe dan Ali bin Ibnu Khalid akan memberikan penjelasan terkait topik “Management Bisnis Keluarga Dasar Poligami” dan “Management Konflik Pra/Pasca Poligami”.
Menilik Poligami dalam Lintas Agama
Salah satu agama yang paling giat menentang keras adanya poligami ialah Khatolik. Berdasarkan ajaran yang termuat dalam Kitab Hosea 1-3, setiap perkawinan yang sah merupakan lambang dari kasih Yahwe kepada umat Israel. Kasih Ilahi itu bersifat penuh dan setia. Karena itu, setiap orang harus setia sepenuhnya pada istri/suaminya.
Cinta setiap suami/istri tidak boleh terbagi dan tidak boleh terputus. Hal tersebut menjadi landasan penganut Khatolik untuk melakukan pernikahan monogami (satu istri/suami). Bahkan, kepada mereka yang sudah tidak kuasa hidup bersama suami/istrinya dan menginginkan perceraian, harus membuat surat untuk dikirim ke Paus di Roma, Italia, untuk mendapatkan persetujuan Paus.
Agama Kristen juga mengimani praktik monogami. Seperti yang tertera dalam Alkitab, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Menurut penganut Kristiani, apa yang sudah disatukan Tuhan tidaklah boleh dipisahkan manusia, sehingga tidak dianjurkan bercerai maupun menikah lagi.
Selaras dengan Kristen, penganut Buddha juga meyakini pernikahan monogami. Sebagai contoh suku Shakya, tempat Pangeran Siddharta dilahirkan, memiliki kebudayaan di mana pernikahan dilangsungkan secara monogami baik di antara anggota keluarga kerajaan maupun masyarakat suku Shakya.
Arya Maha-Maudgalyayana (Mogallana) menjelaskan bahwa tradisi monogami dimulai dari seorang putra yang terlahir dari istri kedua dari Raja Ikhsvaku (Okkaka) Virudhaka yang bernama Rajyananda Sakya, “Hukuman yang telah menimpa kita disebabkan oleh karena diambilnya permaisuri kedua dari keluarga yang sederajat dalam status. Karenanya kita harus menghindari mengambil istri kedua dari keluarga yang sederajat, dan harus merasa puas hanya dengan seorang istri.” (Mulasarvastivada Vinaya dan Catatan Sejarah Biru, ditulis oleh Go Lotsawa Zhonnu Pel pada 1476 M).
Berbeda dengan Hindu, agama ini dalam ajarannya memperbolehkan poligami, namun dengan syarat harus mendapatkan persetujuan istri pertama. Seperti tertuang dalam kutipan salah satu sloka (ayat) Bhavisya Purana mengenai bagaimana menjalani hidup berpoligami, “Jika suami memiliki dua istri, maka istri pertama harus menerima istri kedua sebagai anaknya sendiri dan istri kedua harus menerima istri pertama sebagai ibunya sendiri, apa yang didapat suami, pertama diberikan kepada istri pertama, kemudian diberikan secara sama nilainya kepada istri kedua, istri pertama harus memperlakukan istri kedua sebagai anaknya sendiri, dan istri kedua harus memperlakukan istri pertama sebagai ibunya sendiri, dan sikap suami harus bisa membuat agar tidak terjadi kecemburuan diantara keduanya”.
Dari keterangan di atas kita dapat melihat bahwasanya secara resmi agama Khatolik, Kristen dan Budha hanya menganut pernikahan monogami. Di sisi lain, agama Hindu memperbolehkan poligami, namun dengan syarat yang ketat. Penganut agama Hindu yang hendak poligami harus memastikan dirinya mendapatkan izin dari istri pertamanya. Istri pertamanya pun harus siap memperlakukan istri kedua dengan baik. Ketentuan tersebut tertera secara langsung dalam kitab mereka.
Poligami dalam Islam
Setelah kita melihat bagaimana poligami menurut kepercayaan lain, kita akan menilik poligami dalam agama Islam. Salah satu ayat Alquran yang sering kali dijadikan landasan dalam melakukan poligami adalah Surat An-Nisa’ ayat 3,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraisy Shihab menjelaskan ayat di atas tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan.
Di sisi lain, dalam bukunya yang berjudul Fiqih Praktis (Menurut Alquran, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama), Muhammad Baqir al-Habsyi berpendapat bahwa di dalam Alquran tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan poligami. Sebutan tentang hal itu dalam Surat An-Nisa’ ayat 3 hanyalah sebagai informasi sampingan dalam kerangka perintah Allah agar memperlakukan sanak keluarga terutama anak-anak yatim dan harta mereka dengan perlakukan yang adil.
Jika kedua ulama di atas berpendapat bahwa tidak ada anjuran untuk berpoligami dalam Alquran, sebagian ulama malah menghukumi poligami sebagai sesuatu yang haram. Dikuti dari buku Riba dan Poligami karya Khoiruddin Nasution, salah satu pemikir Islam modern Muhammad Abduh berpendapat bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami, yang jelas-jelas tertulis dalam Alquran, menurutnya hanyalah karena tuntutan pada zaman nabi di mana saat itu banyak anak yatim dan janda, yang ditinggal bapaknya atau suaminya saat berperang, sehingga Rasul mendorong sahabat untuk berpoligami untuk menyelamatkan mereka.
Poligami menjadi isu yang tiada akan habis dibahas dalam Islam. Sebagian ulama mempercayai poligami bahkan sesuatu yang wajib karena ada pernyataan “nikahilah dua, tiga atau empat” dalam Alquran. Sedangkan ulama lain lebih memaknai ayat tersebut tidak secara literal saja, namun secara komprehensif beserta sebab turunnya ayat dan hubungannya dengan ayat-ayat yang lain.
Terlepas dari argumen para ulama dalam menafsirkan surat An-Nisa ayat 3, para aktivis perempuan cenderung mengupayakan adanya pernikahan monogami karena melihat aspek psikologis perempuan. Perempuan yang dipoligami cenderung sering mengalami depresi.
Dr. Heba Sharkas yang berasal dari Al Amar Center, sebuah organisasi yang fokus pada masalah keluarga di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab berpendapat bahwa perempuan yang dipoligami cenderung mengalami masalah emosional. Dalam banyak kasus, mereka bisa mengalami depresi, amarah, dan rasa sakit. Hanya saja, hal ini juga bergantung pada rasa sabar dan toleransi dari wanita tersebut.
Selain itu, lingkungan di mana dia dibesarkan juga memengaruhi bagaimana penerimaannya dengan kondisi pernikahan poligami. Dalam World Journal Psychiatry pada2013, penelitian yang dilakukan Al-Krenawi pada perempuan Syria mendapatkan bahwa perempuan yang mengalami poligami mengalami penurunan kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan.
Forum Poligami Indonesia
Hadirnya forum ini penulis nilai sebagai sebuah kegiatan yang kontroversial di tengah-tengah gerakan masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Dengan tidak adanya satu pun narasumber perempuan dalam forum tersebut menunjukkan betapa sulitnya untuk menemuka perempuan yang ikhlas dipoligami secara lahir dan batin. Nahasnya, banyak sekali laki-laki yang bahkan berpoligami tanpa izin istri pertamanya karena Islam tidak mewajibkan hal tersebut meskipun hal tersebut diwajibkan oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
Diselenggarakannya forum ini seakan-akan ingin mendorong para laki-laki untuk melakukan poligami. Forum ini bahkan menawarkan solusi dan trik agar para laki-laki sukses dalam berpoligami. Di tengah gencarnya menanamkan paham moderat, Islam yang menjunjung tinggi kehormatan semua pihak, seharusnya forum ini tidaklah dilaksanakan.
Islam moderat mengajarkan bukan hanya mendengarkan perempuan, tapi juga bagaimana menghargai perasaan perempuan.
Dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan teduh, kita berharap Islam moderat diterapkan dengan sungguh-sungguh. Menerapkannya adalah dengan memakai tafsir-tafsir Alquran terkait kehidupan sehari-hari yang tidak menimbulkan kontroversi. Hukum-hukum yang mengutamakan kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan semua pihak. Karena sebagai agama, Islam adalah agama yang menyejukkan semua pihak, bukan kalangan tertentu saja.