Kalau ada yang saya kagumi dari kehadiran film Bumi Manusia (Hanung Bramantyo. 2019) justru dua hal di luar film itu sendiri. Keberanian Hanung mengalihwahanakan salah satu novel paling sering disebut di jagat kesusastraan kita dan kerelaan Falcon Pictures merogoh kocek dengan nilai yang cukup fantastis. Terlepas dari bagaimana film hadir menjumpa khalayak, Hanung dan Falcon kiranya dua entitas yang serasi guna mengusung nilai-nilai dalam novel Bumi Manusia menjadi lebih inklusif dan jelas kekinian.
Hanung dalam wawancaranya dengan Warningmagz mengaku sengaja memilih Iqbal Ramadhan untuk memerankan tokoh Minke. Pilihan itu bukan tanpa apa. Sosok Iqbal –terutama selepas berperan sebagai Dilan (Pidi Baiq, 2019)— menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi kaum muda. Belum lagi jumlah penggemar Iqbal yang tidak sedikit. Dua hal itulah yang menjadi pertimbangan Hanung mendaulat Iqbal sebagai Minke, tokoh sentral di Bumi Manusia. Rekam jejaknya sebagai Dilan berikut penggemarnya yang tak sedikit menjadi modal kuat untuk menarik massa menuju gedung dingin bioskop.
Hitung-hitungan Hanung saya rasa tak meleset. Pada seutas malam di sebuah bioskop di Solo, kursi penonton Bumi Manusia hampir penuh. Saya membeli tiket sekian menit sebelum film tayang dan mendapat nomor kursi di deretan paling depan, paling dekat dengan layar putar. Deretan kursi yang jelas tak nyaman untuk menyimak film dengan durasi lebih dari tiga jam. Apa boleh buat.
Saya membaca Bumi Manusia saat duduk di bangku SMA. Itu sekitar tujuh tahun silam. Keputusan menonton film Bumi Manusia salah satunya saya ikhtiarkan sebagai ziarah atas pembacaan saya terhadap novel di masa itu. Lagi-lagi saya harus memuji kemampuan Hanung dalam berhitung. Konon, ia menargetkan pembaca novel Bumi Manusia hadir sebagai penonton filmnya kendati dalam prosentase yang tak terlalu besar. Tak peduli pembaca akan kecewa atau senang, yang jelas mereka sudah –telanjur— menonton.
Selalu Ada Reduksi
Problema alih-wahana novel ke layar lebar selalu terjadi. Diangkat dari novel sastra masyhur, film Bumi Manusia tak terelakkan dari hal yang demikian. Tahun 2018 saat tersiar kabar mula-mula –dan masih sumir— bahwa novel Bumi Manusia akan difilmkan, khalayak sudah gaduh. Respons positif dan pesimis membanjiri jagat maya. Belum lagi saat muncul nama sutradara berikut rumah produksi yang akan menggarap film itu. Pembaca novel lebih mudah pesimistis.
Hanung yang selama ini dikenal sebagai sutradara film-film populer selingkup kisah kasih asmara mudah mendapat kesangsian dari benak calon penonton yang pembaca. Calon penonton sangsi Hanung sanggup menghadirkan apa-apa yang tercerak dalam novel di dalam filmnya. Pembaca novel khawatir, apa-apa yang hadir dalam film adalah apa-apa yang dangkal dan gagal mencerminkan novel Bumi Manusia itu sendiri. Tapi bukan Hanung namanya kalau ia takhluk pada suara-suara bising nan pesimistis di luar dirinya. Tepat di bulan kemerdekaan, film Bumi Manusia sengaja dihadirkan sebagai kado bagi bangsa Indonesia dan lebih khusus lagi kaum muda.
Mengesampingkan Hanung dan Falcon Pictures, alih-wahana novel ke film hampir selalu menyisakan ketidakpuasan dalam benak penonton-pembaca. Novel memiliki halaman imaji yang lebih luas bahkan tak terbatas. Pembacaan terhadap suatu novel menghamparkan semesta mahaluas dan mahaliar, sesuai kehendak dan bekal pengetahuan tiap-tiap pembaca. Sementara film ialah jagat ekspresi kebudayaan yang mau tidak mau harus berada dalam rambu-rambu kenyataan. Film mengandung apa yang kita ketahui sebagai durasi, latar tempat atau setting, ketokohan, pencahayaan, tata suara, dan lain-lain sebagainya. Dalam bahasa lain, film mengandung apa-apa yang terbatas. Ia tak pernah bisa melampaui segala yang diimajikan pembaca novel. Bagaimanapun upaya menuju ke sana, lagi-lagi film harus sadar bahwa ia berpijak dan hidup dalam semesta realis.
Tiga jam satu menit bukan durasi yang pendek bagi sebuah film. Kendatipun demikian, penonton Bumi Manusia tak cukup mendapat kepuasan yang berarti. Alih-alih merasuk, film hadir sebatas sebagai kumpulan dari keping-keping fragmen. Kehausan Hanung menghadirkan keseluruhan cerita di novel menjadi satu film mirip dengan pola pengerjaan tugas meresensi buku semasa SMA. Sama-sama terjebak pada ambisi merangkum. Sebuah rangkuman, bagaimanapun sering tak lebih menyenangkan daripada objek yang dirangkum itu sendiri.
Menarik Minke ke Masa Kini
Minke –tokoh ciptaan Pram yang terinspirasi dari sosok RM. Tirto Adi Soerjo— itu ialah pribumi sekaligus priyayi dan seorang terpelajar yang tak gentar. Kesempatan sekolah di ELS dan HBS membuat ia banyak bergaul dan belajar mengenai kehidupan bangsanya. Kesadarannya lekas hadir. Minke mengoreksi keterpukauan pribumi pada segala yang bersangkutan dengan Belanda. Ia tahu, jauh sebelum Belanda mencampuri urusan bangsanya, ia punya moyang dengan sejarah nilai-nilai kehidupan yang mahaluhur.
Bagi kaum muda, Minke adalah simbol pergulatan diri dalam menapaki semesta sikap dan pikiran. Di tengah terik globalisasi, Minke hadir mengabarkan anak-anak muda sebaiknya teguh dan punya sikap serta keberpihakan yang jelas. Keberpihakan yang menjamin kebebasan setiap manusia tanpa memandang perbedaan ras, golongan, agama, dan segala yang lainnya. Keberpihakan pada yang lemah dan tertindas, sekaligus upaya melawan kekuasaan yang pilih kasih dengan hadir sebagai terpelajar yang sadar, sungguh-sungguh, dan lupa menyerah.
Di abad 19, perlawanan Minke sangat mengandalkan dan juga diuntungkan oleh penerbitan koran. Minke rajin mengirimkan tulisan-tulisannya ke meja redaksi. Pemuatan tulisan-tulisannya di koran membuat pandangannya diketahui dan perlahan-lahan menyulut kesadaran masyarakat luas. Kesadaran untuk jeli dan memahami segala hal yang diada-adakan bangsa penjajah di bumi pertiwi. Kesadaran untuk tidak terus-menerus merasa inferior dan terbelakang dari bangsa penjajah.
Kesadaran Minke menggauli semesta pikiran dan kemudian merasa perlu menyiarkan pandangan-pandangannya mengenai setiap peristiwa patut kita teladani, utamanya di masa persimpangan bah informasi seperti saat ini. Minke menjadi sosok muda yang ideal dengan ketekunannya membaca segala hal, menulis, dan menyiarkan pemikirannya kepada masyarakat luas.
Pergulatan sikap dan pikiran Minke mewanti-wanti kita untuk tidak lekas memandang setiap hal sebagai sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Sepenuhnya benar atau sepenuhnya keliru. Selalu ada wilayah abu-abu sebagai ruang yang perlu terus-menerus kita telisik. Ruang itu memberi hormat pada segala kemungkinan. (RM)