Ayat kedua surah al-Ma’un adalah
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ
fadzaalikal ladzii yadu’-’ul yatiim.
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”
Dalam kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa arti kata yadu’-’u adalah memperlakukan dengan perlakuan kasar. Ibnu Duraid berpendapat yadu’-’u berarti mengusir, menghardik dengan kekasaran. Menurut Quraish Shihab kata yadu’-’u tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat tehadap anak yatim.
Buya Hamka mengatakan, pemakaian kata yadu’-’u dalam ayat ini menunjukkan suatu kebencian yang sangat. Rasa tidak senang, jijik dan tidak tidak ingin mendekat. Kalau ada yang ingin mendekati maka dengan cepat langsung ditolak agar jatuh tersungkur. Nampaklah dalam ayat ini bahwa orang yang membenci anak yatim adalah orang yang mendustakan agama.
Kata al-yatiim memiliki arti anak yatim. Yakni anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya. Dalam kamus Lisanul ‘Arab kata al-yatim dimaknai dengan terpisah atau kesendirian. Menurut Ibnu Bari, yatim adalah anak yang meninggal ayahnya, dan piatu adalah anak yang meninggal ibunya.
Bagian pertama surah ini, Nabi Saw. diperingatkan dengan cerminan buruk dari pengingkaran manusia terhadap akhirat melalui perbuatan-perbuatan mereka melalui firman Allah yang berbunyi: Sudahkah Kamu melihat orang yang mendustakan hari pembalasan? Dialah yang menghardik anak yatim (dengan kasar).
Ayat kedua surah ini menjelaskan sebagian ciri-ciri pendusta agama berikutnya, yaitu mereka yang sungguh jauh dari kebajikan dan memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang. Penolakan seperti itu merupakan penghinaan dan takaburnya terhadap anak-anak yatim.
Sikap buruk terhadap anak yatim ini muncul dari orang-orang yang pembenci, sombong, kikir dan pelit. Orang yang tidak mau mengasuh dan memberi bantuan sedikitpun kepada anak yatim, tidak hanya mengacuhkan mereka tetapi juga mengusir mentah-mentah. Kalaupun ada orang yang tidak menghardik anak yatim dan mengurusnya dengan maksud tertentu sebagai jembatan untuk mendapat keuntungan bagi diri pribadi, seperti untuk keperluan komersial, maka ini juga termasuk dalam makna mendustakan agama.
Muhammad Abduh menyebutkan bahwa orang yang berani berlaku keras kepada anak yatim semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiada orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluannya. Orang itu juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelematan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap orang yang memerlukan pertolongan.
Oleh karena itu, orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim yang datang kepadanya untuk memohon belas kasihnya agar memberikan bantuan demi kebutuhan hidupnya, penolakan ini juga bentuk perilaku mendustakan agama.
Abu Ja’far Muhamad menafsirkan ayat kedua ini sebagai berikut, “Orang yang mendustakan agama adalah orang yang mencegah anak yatim dari haknya dan menżaliminya. Syaikh Imam Al-Qhurtubi mengutip dari riwayat Adh-Dhahhak, yaitu: Amru bin Aidz. Ibnu Juraij berpendapat, “bahwa orang yang dimaksud adalah Abu Sufyan, karena ialah yang selalu menyembelih kambing atau unta pada setiap minggunya, namun ketika anak-anak yatim yang meminta daging sembelihan tersebut ia mengetuk kepala anak-anak yatim itu dengan tongkatnya.”
Ketika kita berhubungan dengan anak yatim, perlakuan kasih sayang dan manusiawi lebih baik ketimbang memberi makanan, karena mereka harus menahan kurangnya kasih sayang dan kebutuhan spiritual daripada kebutuhan jasmani.
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa semua ulama sepakat apabila ada seseorang memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang, mendorong dengan keras, menghardiknya, mengabaikan haknya, menzaliminya, serta sombong dan takabbur terhadap mereka, maka orang itu dianggap telah mendustakan hari pembalasan kelak, karena perilakunya jauh dari nilai kebajikan yang telah diajarkan agama.
Apabila mengacu kepada Muhammad Abduh, maka perlakuan keras yang dilarang dalam agama bukan hanya tidak diperbolehkan kepada anak yatim melaikan kepada orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Bisa dibayangkan seandainya ayat ini bisa dilaksanakan oleh seluruh umat Islam maka rasa kasih sayang kepada sesama manusia, terlebih kepada orang yang lemah akan menjadi nilai positif dalam hidup bermasyarakat.
Referensi
Tafsir Al-Qur’an al-Adhim karya Ibnu Katsir
Lisanul ‘Arab karya Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby
Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh
Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin as-Suyuthi