Pada ayat sebelumnya, orang-orang yang merasa harta yang dimilikinya akan kekal, akan dilempar ke dalam Huthamah dalam keadaan hina. Apa itu Huthamah? Allah berfirman:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ
Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
Huthamah diambil dari kata hathama yang artinya hancur. Huthamah adalah sesuatu yang sangat menghancurkan. Akan tetapi pada hakikatnya akal manusia tak akan menjangkau mengenai Huthamah. Kata wa maa adraaka di dalam Al-Qur’an sering kali disebutkan. Ayat ini bermaksud bahwa pengetahuan manusia tidak bisa menjangkau sesuatu. Sebagaimana ayat ini, akal manusia tak akan mampu menjangkau hakikat Huthamah.
Dengan kata lain, pertanyaan seperti ini sebetulnya dimaksudkan guna memberitahukan tentang kehebatan dan kedahsyatan sesuatu, sedemikian sehingga tak mungkin tercakup dalam pengetahuan orang. Siapakah yang mampu memberitahumu tentang kehebatannya, selain (Allah) Yang telah menciptakannya dan henyediakannya untuk orang-orang yang memang layak mengnuninya?
نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan
Disebutkan bahwa hathama adalah “api Allah” yang menyala-nyala. Bukan sekadar api yang menyala-nyala tetapi api Allah yang menyala-nyala. Orang tak akan bisa mengira seperti apa panasnya api Allah yang menyala-nyala. Jika api di dunia yang dibuat manusia saja panas sekali apalagi api Allah?
Menurut Muhammad Abduh, api itu berkobar-kobar dengan cara yang tidak terjangkau hakikatnya kecuali oleh Allah Swt. Sementara manusia tidak mungkin mengetahuinya, Sehingga yang kita ketahui hanyalah bahwa azab di dalamnya menimbulkan penderitaan yang melebihi setiap penderitaan akibat terbakar oleh api dunia.
Menurut Buya Hamka, karena selalu dinyalakan, berarti tidak pemah dibiarkan redup apinya. Dia bernyala terus-menerus, karena ada malaikat yang dikhususkan kerjanya untuk menjaga selalu nyala api itu. Oleh karenanya maka berkobarlah dia terus dan bertambah panas.
Neraka Huthamah posisinya berada di neraka yang keenam. Menurut Ibnu Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir, pintu neraka yang pertama adalah Jahannam, yang kedua Sa’ir, Yang ketiga Saqar, yang keempat Jahim, yang kelima Ladzha, yang keenam Huthamah, yang ketujuh Hawiyyah.
Berikutnya Allah berfirman:
الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ
yang (membakar) sampai ke hati.
Kata hati di dalam ayat ini disebut dengan kata af’idah. Af’idah adalah jamak dari kati fuad. Fuad artinya hati yang berfungsi untuk merasakan sesuatu. Mengapa ayat ini menyebutkan api Allah membakar sampai ke dalam hati bukan kepala, kaki atau bagian tubuh manusia yang lain? Ini karena ada hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya.
Pada ayat-ayat sebelumnya disebutkan mereka yang termasuk golongan al-humazah dan al-lumazah adalah orang-orang yang hatinya sakit karena ada kesombongan di dalam hatinya. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyebutkan, kesombongan manusia sumbernya ada di dalam hati. Sehingga yang dibakar dengan api Allah adalah sumber keburukannya yakni hati orang tersebut.
Sementara itu orang yang disebut-sebut keburukannya pasti akan terbakar hatinya karena marah. Maka wajar jika orang yang menyebut-nyebut keburukan orang lain yakni golongan al-humazah dan al-lumazah akan dibalas dengan balasan yang lebih sakit. Yakni hatinya akan dibakar di neraka.
Menurut Buya Hamka, maka hanguslah selalu, terpangganglah selalu hati mereka itu. Yaitu hati yang sejak dari masa hidup di dunia penuh dengan kebusukan, merugikan orang lain untuk keuntungan diri sendiri, menginjak-injak orang lain untuk kemuliaan diri.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan salah satu tabiin yakni Tsabit Al-Bannani mengatakan bahwa api neraka Huthamah membakar mereka sampai ke hatinya sedangkan mereka dalam keadaan tetap hidup. Kemudian ia mengatakan: Dan bilamana azab mencapai puncaknya, maka mereka hanya dapat menangis.
Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi mengatakan bahwa api neraka Huthamah membakar semua anggota tubuh penghuninya; dan apabila api itu sampai ke hatinya dan mencapai batas tenggorokannya, maka kembalilah api itu ke tubuhnya.
Maka ayat ini seolah-olah mengatakan bahwa api tersebut melingkupi perasaan dan pikiran dalam diri si pengumpat. Dengan kata lain, api itu menguasai seluruh pikiran dan perasaan, pusat segala niat dan tujuan, dan tempat tumbuhnya dorongan ke arah kebaikan dan keburukan.
Ada pula yang menyatakan bahwa kata tatthali’u ialah ‘mengetahui. Yakni, api ini mengetahui apa saja yang ada di dalam hati, lalu menangkap (atau membakar) siapa yang berperasaan dan berperilaku jahat, yang memang layak menjadi penghuninya.
Api yang dapat mengetahui siapa-siapa yang layak merasakan azabnya, sudah barang tentu tidak sama dengan api yang dikenal di dunia ini. Bagaimanapun juga, makna kedua ini tentunya termasuk dalam bentuk kalimat kiasan atau perumpamaan.
Sumber:
Tafsir Al-Quranil Adzim karya Ibnu Katsir
Tafsir Al-Manar karya Muhamad Abduh
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka
Tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaili