Kisah tentang pasukan gajah juga disebutkan di dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Ketika itu Tanah Arab bagian Selatan adalah di bawah kekuasaan Kerajaan Habsyi. Najasyi (Negus) menanam wakilnya di Arabia Selatan itu bernama Abrahah. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Habsyi adalah pemeluk Agama Kristen. Untuk menunjukkan jasanya kepada Rajanya, Abrahah sebagai Wakil Raja atau Gubernur telah mendirikan sebuah gereja di Shan’aa diberinya nama Qullais. Dibuatnya gereja itu sangat indahnya sehingga jaranglah akan tandingnya di dunia di masa itu. Singkatnya Abrahah ingin menyaingi Kakbah.
Setelah Qullais selesai dibangun, Abrahah mengirim berita kepada Najasyi; “Tuan, Najasyi, hamba sudah mendirikan sebuah gereja! Aku percaya belum lah ada raja-raja sebelum Tuanku yang bisa mendirikan gereja semegah ini. Namun hatiku belumlah puas sebelum orang Arab yang selama ini berhaji ke Mekkah, aku palingkan hajinya ke gereja Tuanku itú.”
Berita isi surat yang sombong ini didengar oleh bangsa Arab, sehingga mereka gelisah. Beberapa pemuka Arab tidak terima karena tempat mereka berhaji akan dialihkan ke Qullais dengan kekerasan. Menurut Ibnu Hisyam orang itu ialah dari kabilah Bani Faqim bin ‘Adiy. Maka pergilah dia sembunyi-sembunyi ke gereja itu lalu masuk ke dalam. Dia berak di tengah-tengah gereja megah itu.
Lama-lama Abrahah tahu perbuatan hina itu. “Siapa orang yang berbuat ini?”
“Yang berbuat kotor ini adalah orang yang membela rumah yang mereka hormati itu, tempat mereka tiap tahun naik haji, di Mekkah.” kata salah satu dari mereka.
Abrahah sangat marah. Dia bersumpahlah akan segera berangkat ke Mekkah untuk meruntuhkan rumah itu. Dia mengirimkan utusan kepada Bani Kinanah untuk mengajak Bani Kinanah mempelopori naik haji ke gereja yang didirikannya itu. Tetapi sesampai utusan itu ke negeri Bani Kinanah, dia malah mati dibunuh orang. Tentu Abrahah semakin murka karena kematian utusannya. Karena kemarahan inilah akhirnya Abrahah berangkat menuju Mekkah bersama pasukannya. Dia mengendarai seekor gajah yang diberi nama Mahmud.
Penduduk Arab yang mendengar berita tentang pasukan gajah yang dipimpin Abrahah, mengajak berjihad mempertahankan Kakbah. Tetapi karena kekuatan tidak seimbang, orang-orang Arab yang dipimpin oleh Dzu Nafar kalah dan tertawan.
Abrahah meneruskan perjalanannya. Sesampai di negeri orang Khats’am tampil pula pemimpin Arab bernama Nufail bin Habib alKhats’amiy memimpin dua kabilah Khats’am, yaitu Syahran dan Nahis dan beberapa kabilah lain yang mengikutinya. Mereka pun berperang pula melawan Abrahah, tetapi Nufail pun kalah dan tertawan.
Ketika dia akan dibunuh dia pun berdatang sembah; “Tak usah saya tuan bunuh, bebaskanlah saya supaya saya menjadi penunjuk jalan tuan di negeri-negeri Arab ini. Dua kabilah ini, Syahran dan Nahis adalah turut perintah Tuan.”
Permintaannya itu pun dikabulkan oleh Abrahah dan tetaplah dia berjalan di samping Abrahah menjadi penunjuk jalan, sehingga sampailah tentara itu di Thaif. Sampai di Thaif pemuka Tsaqif yang bemama Mas’ud bin Mu’attib ber sama beberapa orang pemuka lain datang menyongsong kedatangan Abrahah, lalu mereka menyatakan ketundukan.
Dia berkata: “Wahai Raja! Kami ini ada lah hambasahaya Tuan, kami tunduk takluk ikut perintah, tidak ada kami yang bermaksud melawan Tuan. Di negeri ini memang ada pula sebuah rumah yang kami puja dan muliakan (yang dimaksudnya ialah berhala yang bemama al Laata). Namun kami percaya bukanlah berhala kami ini yang Tuan maksud akan diruntuhkan. Yang Tuan maksud tentulah Kakbah yang di Mekkah. Kami bersedia memberikan penunjuk jalan buat Tuan akan menuju negeri Mekkah itu.”
Lalu mereka berikan seorang penunjuk jalan bernama Abu Raghaal! Lantaran itu Abrahah pun melanjutkan perjalanan dengan Abu Raghaal sebagai penunjuk jalan, sampai mereka dapat berhenti istirahat di satu tempat bernama Mughammis, suatu tempat sudah dekat ke Mekkah dalam perjalanan dari Thaif. Sesampai mereka berhenti di Mughammis itu tiba-tiba matilah Abu Raghaal si penunjuk jalan itu. Kubur Abu Raghaal itu ditandai oleh orang Arab, maka setiap yang lalu lintas di dekat situ melempari kubur itu.
Setelah Abrahah berhenti dengan tentaranya di Mughammis itu diutusnya lah seorang utusan dari bangsa Habsyi ke negeri Mekkah. Nama utusan itu Aswad bin Maqfud. Dia pergi dengan naik kuda. Setelah sampai di wilayah Mekkah, ia merampas harta benda penduduk Tihamah dari Quraisy dan Arab yang lain. Termasuk 200 ekor unta kepunyaan Abdul Muthalib dari kalangan Quraisy.
Melihat perbuatan dan perampasan yang dilakukan oleh Hasyim, naik darahlah orang Quraisy, orang Kinanah dan Kabilah Huzail, sehingga mereka pun telah menyatakan bersiap hendak berperang melawan Abrahah. Tetapi setelah mereka musyawaratkan dengan seksama, mereka pun mendapat kesimpulan bahwa tidaklah seimbang kekuatan mereka hendak melawan dengan besarnya angkatan perang musuh, sebab itu perang dibatalkan.
Lalu Abrahah mengirim lagi utusannya di bawah pimpinan Hunathah al-Himyariy ke Mekkah, agar bisa berkomunikasi dengan pemuka-pemuka Mekkah dan ketua-ketuanya. “Kami datang ke mari bukanlah hendak memerangi kalian. Kedatangan kami hanyalah semata-mata hendak menghancurkan rumah ini. Kalau kalian tidak mencoba melawan kami, selamatlah nyawa dan darah kalian.”
Dan Abrahan berpesan lagi, “Kalau memang penduduk Mekkah tidak hendak melawan kami, suruhlah salah seorang ketua Mekkah datang menghadapnya ke Mughammis!” Hunathah itu pun datanglah ke Mekkah menyampaikan titah raja yang tegas itu. Setelah orang yang ditemuinya menyatakan bahwa pemimpin dan ketua mereka ialah Abdul Muthalib bin Hasyim. Lalu datanglah dia menemui Abdul Muthalib dan menyampaikan titah raja yang tegas itu.
Mendengar pesan raja itu berkatalah Abdul Muthalib: “Demi Allah tidaklah kami bermaksud hendak berperang dengan dia. Kekuatan kami tidak cukup untuk memeranginya. Rumah ini adalah Rumah Allah, Bait Allah alHaram, dan Rumah Khalil Allah Ibrahim. Kalau Allah hendak mempertahankan rumahNya dari diruntuhkan, itulah urusan Allah sendiri. Kalau dibiarkannya rumahNya diruntuh orang, apalah akan daya kami. Kami tak kuat mempertahankannya.
Berkata Hunathah: “Kalau begitu tuan sendiri harus datang menghadap Baginda. Saya diperintahkan mengiringkan Tuan.”
“Baiklah,” kata Abdul Muthalib.
Maka beliau pun pergi bersama Hunathah mengadap Raja. Beliau berangkat bersama beberapa orang puteranya sehingga sampailah mereka ke tempat perhentian laskar itu. Lalu ditanyakannya keadaan Dzu Nafar yang tertawan itu, sebab dia adalah sahabat lamanya, sehingga dia pun diizinkan menemuinya dan masuk ke dalam tempat tahanannya.
Bersambung…
Referensi
Tafsir Al-Qur’an al-Adhim karya Ibnu Katsir
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby
Sirah Nabawiyah Karya Ibnu Hisyam
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka