Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Ashr (Bagian 2)
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Ashr (Bagian 2)

Whatsapp Image 2022 04 04 At 05.17.45

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.

Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa sesungguhnya manusia itu adalah rugi dalam amal perbuatannya, kecuali orang-orang yang Allah kecualikan. Perbuatan manusia itu merupakan sumber kesengsaraan sendiri. Jadi, sebagai sumbernya bukanlah masa atau tempat. Ia sendirilah yang menjerumuskan dirinya ke dalam kehancuran. Dosa seseorang terhadap Yang Maha Menciptakan dan Yang Maha Menganugrahi kenikmatan dan dapat diraskan olehnya, adalah perbuatan yang paling berdosa. Hal inilah yang menyebabkan hancurnya diri sendiri.

Jika ayat sebelumnya menjelaskan bahwa semua manusia rugi, maka pada ayat ini disebutkan pengecualian bagi kelompok tertentu yang tidak termasuk orang-orang yang merugi. Ada empat kriteria yang harus dipenuhi agar orang tidak rugi. Yakni beriman, beramal saleh, saling menasehati supaya taat pada kebenaran, dan menasehati supaya senantiasa bersabar.

Kecuali orang-orang yang beriman dengan sejati dan mengerjakan kebajikan sesuai ketentuan syariat dengan penuh keikhlasan, serta saling menasihati satu sama lain dengan baik dan bijaksana untuk memegang teguh kebenaran sebagaimana diajarkan oleh agama dan saling menasihati untuk kesabaran dalam melaksanakan kewajiban agama, menjauhi larangan, menghadapi musibah, dan menjalani kehidupan.

Baca juga:  Kemukjizatan Al-Qur’an: Buah Tin dan Zaitun dalam I’jaz Lughawi dan Ilmi

Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa keimanan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah keyakinan dengan i’tikad yang benar. Bahwa alam semesta ini hanya memiliki satu Tuhan yang Maha Menciptakan dan Yang Memberikan Ridha kepada orang-orang yang taat, dan murka kepada orang-orang yang berbuat maksiat. Dan yakinlah diantara keutamaan dan keburukuan itu sangat
berbeda. Dengan beramal bajik. Jadi, setiap orang itu harus bisa bermanfaat bagi dirinya dan oleh orang lain.

Mereka saling berwasiat antara sesama agar berpegang pada kebenaran yang tak diragukan lagi, dan kebaikan-kebaikan itu tidak akan
lenyap bekas-bekasnya, baik di dunia maupun di akherat. Hal ini tersimpulkan di dalam iman kepada Allah, mengikuti ajaran-ajaran kitab-Nya dan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah dalam seluruh tindakan, baik mengenai perjanjian atau perbuatan dan lain sebagainya.

Mereka saling mewasiatkan antarsesama kepada kebenaran, dan menekan diri untuk tidak berbuat maksiat, yang biasanya disenangi oleh manusia yang nalurinya senang terhadap hal-hal seperti ini. Di samping itu, sabar dalam taat kepada Allah, yang biasanya sangat berat dilaksanakan oleh umat manusia. Juga sabar dalam menghadapi berbagi cobaan Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Semuanya itu diterima dengan rela hati, lahir dan batin.

Dalam rangka menyelamatkan diri dari kerugian ini, maka umat manusia harus mengetahui kebenaran, kemudiam mengikat dirinya dengan kebenaran tersebut, di samping memantapkan di dalam hati. Ia akan mengajak kepada kawan-kawan agar menempuh jalan kebenaran ini, di samping menjauhkan diri dari kerugian dan khayalan tidak menentu yang menggoda jiwa dan tidak ada dalil yang bisa dipegang untuknya.

Baca juga:  Pentingnya Mempelajari Waqf dan Ibtida’

Secara keseluruhan, manusia itu dalam keadaan rugi dan salah jalan di dalam berupaya dan menghabiskan umurnya untuk mencari hal-hal yang diinginkan di muka bumi ini, ia berusaha mencuci dirinya dari berbagai kotoran dan menghiasi diri dengan berbagai keutamaan. Sehingga, ketika ia kembali ke alam ruh, tampak jiwanya kuat dan seperti membawa bekal.

Tetapi pada kenyataannya, ketika ia kembali ke tempat asalnya ke alam luhur melalui mati yang dijumpai ternyata berbagai kekurangan dirinya dan kebodohan. Dan ketika itu, ia akan tampak sangat menyesal. Kecuali segolongan kecil umat manusia yang ketika hidup di dunia menggunakan akal sehatnya.

Sehingga, mereka beriman kepada Nabi dan membenarkan risalah-Nya, mencintai sesama manusia, membantu saudara-saudaranya, dan membantu moril dan materil. Ia bersama hidup dengan saling tolong-menolong dan bersabar di dalam menghadapi berbagi musibah yang menimpa, dan berupaya menanggulangi rintangan yang dihadapi. Mereka hidup di dunia dengan perasaan bahagia, memperoleh semua yang menjadi cita-citanya, dan kelak di akherat akan mendapatkan kebahagiaan yang menggembirakan untuk selamanya.

Sumber:

Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani

Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab

Tafsir Al-Maraghi karya Imam Maraghi

Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top