Sedang Membaca
Kanjeng Nabi Melarang Kudeta
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Kanjeng Nabi Melarang Kudeta

Kanjeng Nabi Muhammad pernah melarang umat melakukan kudeta. Meskipun pemimpin negara tersebut kebijakannya mengandung kezaliman. Kemungkinan yang disebut oleh Kanjeng Nabi adalah seperti pejabat-pejabat sekarang. Sebab harus diakui beberapa kebijakannya kadang mengandung kebaikan, kadang malah merugikan. 

Begini kisah lengkapnya. Di dalam Shahih Muslim hadis nomor 1.854 disebutkan bahwa Ummu Salamah Ra, suatu ketika kanjeng Nabi dawuh kepada para sahabat, “Suatu saat nanti, akan ada pemimpin-pemimpin, mereka melakukan ma’ruf (kebajikan) dan kemungkaran (kebatilan). Siapa saja yang tahu (dan diam) atas kebijakan pemimpin tersebut, dia sudah bebas dari dosa dan hukuman. Barangsiapa mengingkarinya, maka dia selamat dari dosa dan hukuman. Namun orang yang rida atas pemimpin tersebut dan mengikutinya, dia akan mendapatkan dosa dan akibatnya”.

Dalam konteks Indonesia, pemimpin yang disebut oleh Kanjeng Nabi ialah presiden, menteri, bupati, Anggota dewan, walikota, kepala desa, dan lainnya. Sedangkan kebatilan dalam hal ini boleh jadi adalah korupsi, kebijakan yang zalim, penggusuran yang tidak dibenarkan dan lain-lain.

Para sahabat pun bertanya, “Lalu pripun kanjeng Nabi kalau pemimpin seperti itu sudah datang? Apa kita harus mengkudeta mereka? Apa kita perangi saja pemimpin seperti itu?”

Kanjeng Nabi menjawab, “Laa. Maa Shallu… Jangan diperangi, selagi pejabat itu masih melaksanakan salat.”

Baca juga:  Hikmah dalam Surah Al-Lahab

Maksud dalam diperangi dalam konteks hari ini adalah larangan untuk mengudeta. Kendati demikian, Kanjeng Nabi tidak membolehkan umat untuk rida atas perbuatan pemimpin yang zalim tersebut. Beliau juga menyarankan untuk ingkar. Dalam kasus ini, ingkar bisa bermakna luas.

Jika bisa ingkar dengan lisan, maka harus ingkar dengan lisan. Dalam artian memberikan nasehat kepada pemimpin yang zalim. Jika tidak bisa, hatinya harus yakin bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut salah. Tidak boleh membenarkannya.

Dalam hadis riwayat Imam Muslim nomor 1.855 disebutkan. Dari ‘Auf bin Malik, Kanjeng Nabi Muhammad bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian. Juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”.

Kemudian ada yang bertanya, ”Kanjeng Nabi, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”

Kanjeng Nabi menjawab, “Tidak, selama mereka masih mendirikan salat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.”

Hadis yang kedua ini menguatkan hadis sebelumnya. Bahwa Kanjeng Nabi melarang umat Islam untuk memerangi dengan tujuan untuk mengganti seorang pemimpin alias melakukan kudeta. Kanjeng Nabi Muhammad juga melarang dengan tegas kepada sahabat untuk tidak membenci seorang pemimpin.

Baca juga:  Komik dan Keimanan

Kebencian hanya boleh ditujukan kepada perbuatannya. Bahkan meskipun membenci perbuatan seorang pemimpin, ketaatan kepada aturan tetap harus dilakukan. Bukan ditinggalkan dengan alasan membenci kebijakan tersebut.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top