Gus Baha termasuk ulama yang kritis terhadap praktik jamaah haji di Indonesia. Misalnya, kata Gus Baha, di Indonesia ada banyak sekali kampanye untuk haji tetapi sedikit kampanye untuk salat.
Bahkan perbankan pun ikut kampanye haji dengan membuat brosur haji dan banner yang bertebaran di dalam kantor bank maupun di luarnya. Kampanye haji plus umrah dilakukan secara masif tetapi tidak dengan salat. Alasannya tentu saja karena haji dan umrah merupakan ibadah yang menghasilkan keuntungan materi.
Suatu ketika ada orang sowan kepada Gus Baha.
“Gus, saya mau berangkat haji. Doakan haji saya diterima dan saya jadi haji yang mabrur.” kata calon haji.
“Iya. Kudoakan hajimu diterima. Tapi salatmu ndak diterima.” jawab Gus Baha.
“Waduh. Kok begitu to, Gus?” tanya calon haji.
“Lha sampean ini kok bisa? Salat itu kan ibadah penting. Tapi kamu seolah ndak butuh diterima. Ndak pernah minta doakan untuk diterima. Mbok kira ibadah paling penting itu haji? Mentang-mentang ibadah salat ndak butuh biaya banyak saja kamu ndak butuh didoakan.”
“Ya sudah kalau begitu doakan keduanya diterima nggih, Gus.”
“Iya. Wis ndang pulang. Nanti kudoakan. Aku mau ngaji.”
Kata Gus Baha, model jamaah seperti ini sepertinya banyak di masyarakat. Datang sowan-minta didoakan tapi ndak pernah ngaji. Malah ngganggu waktu ngaji. Sehingga seringkali salatnya belum diperhatikan dengan baik, tahu-tahu langsung melaksanakan rukun islam kelima.