Pada zaman Rasulullah ada seorang sahabat bernama Abu Mahjan yang pandai bersyair dan ahli menunggang kuda. Di kemudian hari ia dikenal sebagai perawi banyak hadis. Ia wafat di daerah Azerbeijan pada tahun 30 H.
Abu Mahjan masuk Islam tahun 9 Hijrah. Sebelum masuk Islam dia adalah seorang pemabuk berat. Bahkan setelah masuk Islam pun dia masih menjadi pemabuk. Karena sudah kecanduan minuman keras, dia tetap minum meskipun harus terkena hukuman cambuk.
Pernah suatu hari ketika pasukan Muslim berangkat menuju perang penaklukkan Persia, Abu Mahjan ikut dalam pasukan. Namun di tengah perjalanan dia masih menyempatkan diri untuk mabuk. Sa’ad bin Abi Waqqash selaku pimpinannya marah besar. la pun mengeluarkannya dari pasukan dan memerintahkan agar Abu Mahjan diborgol dengan rantai dan dipenjara sebagai bentuk penegakan syariah.
Abdurrazak meriwayatkan bahwa Mamar bin Ayyub bin Ibn Sirin bercerita: “Abu Mahjan sering dicambuk karena mabuk. Ketika mabuknya terus-terusan terulang, mereka memenjarakan dan membelenggu Abu Mahjan.”
Ketika kecamuk Perang al-Qadisiyah terjadi antara kaum Muslim dan pasukan Persia, Abu Mahjan merasa menyaksikan pasukan Persia telah telak menaklukkan pasukan Muslim. Oleh karenanya, ia meminta penjaga penjara untuk mengirim pesan kepada budak atau istri Sa’ad bin Abi Waqash:
“Abu Mahjan berkata kepadamu, Bila engkau membebaskanku, membolehkanku menunggang kuda ini, dan memberinya senjata, tentu ia akan menjadi orang pertama yang kembali kepadamu kecuali kalau terbunuh.”
Kemudian Abu Mahjan melantunkan sebuah syair:
Telah remuk redam hatiku saat menyaksikan
Tentara berkuda kami tertusuk tombak musuh yang mengancam
Sedang diriku berada di sini seolah tak memiliki tangan
Setiap kuingin bangkit berdiri, rantai besi mengikat semakin kencang
Pintu di depanku terkunci rapat membuat tuli siapa pun yang kupanggil
Penjaga penjara itu melaporkan ke istri Saad. Beberapa waktu kemudian istri Saad pun membebaskan Abu Mahjan. Tak hanya itu, ia juga dibekali senjata dan diberikan izin untuk menunggang kuda. Dengan senjata dan kuda yang dibawanya, Abu Mahjan langsung berangkan menuju lokasi peperangan. Tak butuh waktu lama untuknya bisa bergabung dalam pertikaian.
Abu Mahjan langsung mulai bertempur dengan gigih berani. Dia melumpuhkan dan mengalahkan banyak musuh dengan senjata yang dimilikinya.
Pergerakan Abu Mahjan ternyata menyita perhatian banyak pasukan perang. Termasuk Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia melihat sosok lelaki pemberani itu dengan takjub.
“Siapa penunggang kuda itu?” Sa’ad bertanya kepada salah satu pasukan.
Pertempuran terus berkecamuk hingga dengan izin Allah pasukan Islam bisa menang mengalahkan pasukan Persia. Sementara itu, Abu Mahjan langsung pulang ke penjara dan mengembalikan senjata. Kakinya kembali dirantai seperti semula.
“Bagaimana pertempuran kalian, Kang?” tanya istri Sa’ad ketika semua pasukan sudah kembali.
Sa’ad bercerita, “Kami berperang terus, Dik. Alhamdulillah kami menang. Kulihat tadi Allah mengirim sesosok lelaki berkuda yang gigih berani dalam bertempur. Aku tak tahu siapa dia. Seandainya Abu Mahjan tak kupenjara, aku yakin orang tadi adalah Abu Mahjan.”
“Demi Allah, Kang. Dia tadi memang benar-benar Abu Mahjan. Tadi dia mengirim pesan kepadaku mengenai kondisi perang dan memintaku untuk membebaskannya. Jadi tadi aku sempat membebaskannya dan membiarkan dia ikut berperang.”
Mendengar penjelasan dari istrinya, Sa’ad memerintahkan pasukan membawa Abu Mahjan menghadapnya. Ketika Abu Mahjan tiba, Sa’ad sendiri yang melepaskan rantai yang membelenggunya.
“Abu Mahjan, mulai hari ini aku tak akan lagi mencambukmu karena mabukmu selamanya.” ucap Sa’ad.
“Terima kasih. Demi Allah, mulai hari ini aku tak akan mabuk lagi selamanya. Aku bertekad tak akan mabuk lagi sejak kalian mencambukku dan memenjarakanku di saat yang genting,”
Sejak persitiwa itu Abu Mahjan tak pernah minum khamer lagi. Kisah ini disebutkan di dalam kitab Al-Isti’ab dan Al-Ishabah.