Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Gus Baha Ditanya Santri Madura Perihal Jihad

Dalam sebuah seminar di Pondok Pesantren Sidogiri, Gus Baha pernah ditanya santri Madura. Tema seminar tersebut ialah ayat-ayat Qital yang membahas tentang ayat-ayat perang di dalam Alquran.

Pesertanya adalah para santri yang sudah pandai baca kitab Arab. Kata Gus Baha’, panitia sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari, tiga tahun sebelumnya. Artinya seminar tersebut benar-benar serius membahas ilmu.

Di Pesantren Sidogiri, ada banyak santri yang berbahasa Madura. Baik orang asli Madura maupun tidak berasal dari Madura tapi bahasa sehari-harinya Madura. Moderatornya pun orang Madura. Singkat cerita ada seorang santri yang bertanya kepada Gus Baha dengan logat Madura.

“Gus, ini bagaimana kita mau berperang? Kalau kita diam tidak perang, seolah orang Islam kesannya pengecut tidak berani melawan orang kafir. Tapi kalau kita mau berjihad, saya bisa ditangkap sama pak Jokowi.” tanya santri Madura tersebut.

Gus Baha menjawab pertanyaan tersebut dengan bertanya balik, “Kang, perang berani mati di zaman modern seperti ini konteksnya apa? Kalau dulu zaman Rasulullah, perangnya jelas. Yang dilawan Abu Jahal dan Abu Lahab. Mereka jelas-jelas salah dan Rasulullah benar.

“Kalau sekarang ini kan ndak jelas. Potensinya sama. Sama-sama benar dan sama-sama salah. Kamu ini mukminnya abal-abal. Musuhnya juga mukminnya abal-abal. Yang perang takbir. Yang diperangi juga takbir. Dalam Islam itu boleh membunuh kalau kita diancam nyawa kita. Artinya kalau tidak membunuh kita akan dibunuh. Lah, ini kita mau perang atas nama apa? Atas nama harga diri?” tanya Gus Baha.

Baca juga:  Gus Sholah, Apa Kamu Mau Jadi Kiai Pesantren?

“Di zaman modern ini hendaknya kita tidak boleh terlalu percaya diri apalagi mengambil sikap ekstrim. Kalau di zaman Nabi dulu sikap yang harus diambil ya ekstrim. Karena yang diperangi jelas-jelas orang yang mau ngajak perang. Jadi jihad zaman Nabi itu jelas. Nabi pasti benar. Dan lawannya pasti salah. Justru kalau tidak mau ikut perang malah menjadi munafik.”

Artinya ayat-ayat yang berkaitan dengan orang yang lari pergi dari perang adalah pecundang bahkan digolongkan sebagai seorang munafik, konteksnya adalah perang yang jelas. Jihad yang dibela adalah yang haq dan yang dilawan adalah yang batil. Jadi ayat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk perang di zaman ini. Yang tidak berperang juga bukan munafik.

Intinya ayat-ayat yang berkaitan dengan perang itu konteksnya adalah orang Islam pasti benar dan musuhnya pasti salah sebagaimana di zaman nabi dulu. “Di zaman akhir ini yang berlaku, ra’yunaas shawab yahtamilul khata. Wara’yuka lkhata’ yahtamilus shawab. Pendapat kita benar tapi mungkin salah. Pendapatmu juga benar tapi mungkin salah. Karena samar-sama maka hukumnya juga tidak bisa jelas. Untuk itu dalam kehidupan sehari-hari kita pakai hukum sosial yang berlaku. Ada orang baik ya dibaiki. Kalau ada yang berbuat buruk ya tak perlu diperangi. Menggerutu seperlunya karena kecewa tidak apa-apa. Tidak perlu perang. Karena zaman Rasulullah kondisinya berbeda dengan sekarang.”

Baca juga:  Kemesraan Tingkat Tinggi Nabi Muhammad pada Aisyah

“Perang setelah zaman Rasulullah semuanya itu rumit,” kata Gus Baha. Perang antar sahabat mengandung potensi kebenaran di antara keduanya. Misalnya perang antara Sayyidina Ali dan Muawiyah. Itu sekelas sahabat Nabi. Bagaimana dengan sekarang? Apa ada yang sekelas sahabat nabi sehingga percaya diri mengakui paling benar sehingga mengambil jalan ekstrim seperti perang?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top