Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa’ menyebutkan bahwa ketika masuk Islam, uang tunai milik Abu Bakar berjumlah 40.000 dinar atau kira-kira setara dengan Rp9.350.000.000 (sembilan puluh empat miliar, tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pada awal keislamannya, beliau menginfakkan uang untuk kepentingan dakwah, kegiatan-kegiatan sosial, dan menebus budak-budak serta orang-orang lemah yang disiksa majikan-majikannya karena telah memeluk Islam. Oleh karena itu, ketika beliau hijrah ke Madinah, kekayaannya hanya tinggal 5.000 atau 6.000 dirham atau setara Rp981.750.000 (sembilan ratus delapan puluh satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Ketika menjadi khalifah, Abu Bakar masih berjualan sebagaimana biasanya. Setiap pagi sebelum matahari meninggi, beliau membawa gulungan pakaian di atas kepalanya menuju Pasar Baqi di Madinah untuk menjual pakaian dan sorenya baru pulang ke rumah.
Abu Bakar melakukannya setiap hari. Bahkan, sehari setelah dilantik menjadi khalifah, Abu Bakar terlihat memanggul segulungan kain di pundaknya menuju pasar.
Ketika dia tengah asyik berjalan, Umar bin Khaththab melihatnya. Keduanya segera mendekati Abu Bakar dan bertanya,
“Badhe tindak pundi? Mau ke mana, Ya Khalifah Rasulullah?”
Abu Bakar menjawab pertanyaan Umar sembari mengarahkan pandangannya ke sela-sela gulungan kain yang ada di atas kepalanya sambil meneruskan jalannya, “Mau ke pasar. Kang”.
“Kalau Panjenengan sibuk berdagang, lha bagaimana tugas menjadi khalifah?” tanya Umar.
“Kalau aku ndak bekerja, bagaimana aku memberi makan keluargaku, Kang?” kata Abu Bakar.
Umar bin Khattab berkata, “Sudah, Kang. Kalau begitu kita menjumpai Abu Ubaidah al-Jarrah. Menurut Kanjeng Nabi Muhammad, dia adalah kepercayaan umat. Biar dia menentukan uang gaji untukmu dari Baitul Mal.”
Melihat khalifah yang memiliki tanggung jawab besar bagi umat, mereka kemudian berdiskusi agar Abu Bakar tidak lagi disibukkan dengan mencari nafkah utuk keluarga. Jumlahnya sebesar keperluan makan seorang Muhajirin biasa, bukan dari golongan kaya dan juga bukan dari golongan miskin. Menurut riwayat lain disebutkan gajinya sebesar 300 dinar, tetapi ada yang mengatakan 6.000 dirham setiap tahun.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahmatullah ‘alaih dari Aisyah Ra., ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menjadi khalifah. Beliau berkata,
“Kaumku mengetahui bahwa pekerjaanku adalah berdagang. Itu telah mencukupi keluargaku. Tetapi, karena tugas kekhalifahan, aku disibukkan dengan urusan kaum Muslimin, sehingga untuk keperluan keluargaku diambil dari Baitul Mal”.
Dalam kitab Fathul Bari disebutkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq akan meninggal dunia, ia berwasiat kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha agar mengembalikan seluruh gaji yang telah dikeluarkan untuk dia dari Baitul Mal, kepada Khalifah yang menggantikan dia. Anas meriwayatkan bahwa ketika Abu bakar Ash-Shiddiq meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan dirham dan dinar.
Abu Bakar hanya meninggalkan seekor unta perah, sebuah mangkok, dan seorang hamba sahaya. Dalam riwayat yang lain disebutkan,
“Beliau telah meninggalkan sehelai selimut dan sehelai kain alas. Barang-barang itu telah diserahkan kepada Umar bin Khattab ketika ia menggantikannya sebagai khalifah”.
Umar bin Khattab berkata, “Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan rahmat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia telah membuat letih orang yang ingin mengikutinya.”
Seperti inilah seharusnya orang Islam. Ketika sudah tak lagi menjadi pejabat negara, seharusnya fasilitas negara dikembalikan lagi kepada negara. Bukan dinikmati sendiri. Jika ingin memenuhi kebutuhannya dan keluarga, maka harus bekerja sendiri bukan mengandalkan uang dari negara karena sudah tidak lagi menjadi haknya.
Dalam hal ini, bahkan uang yang disimpan dari Baitul Mal dikembalikan kepada khalifah setelahnya. Bukan untuk dirinya sendiri dan keluarga.