Hubungan masyarakat Islam dengan masjid merupakan hubungan yang erat sekali. Sebab, masjid merupakan pusat peradaban Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat keagamaan, tetapi masjid merupakan salah satu tempat yang paling penting. Tidak hanya untuk melaksanakan ibadah salat jamaah, tetapi juga untuk aktivitas lain seperti untuk majlis taklim bahkan untuk balai pengobatan.
Rasulullah menjadikan Masjid Nabawi sebagai tempat untuk pendidikan, sarana berkumpul bersama para sahabat, dan menyampaikan wahyu Alquran. Beliau mengajarkan hukum-hukum agama baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Masjid digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan risalah-Nya sampai pada zaman Khulafaur Rasyidin. Begitu pula seterusnya sampai pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan sesudah itu.
Para ulama duduk membahas dan menafsirkan ayat-ayat Alquran, sedangkan ahli hadis meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. di dalam masjid. Di antara mereka adalah Imam Malik bin Anas rahimahullah. Begitu pula yang terjadi di Masjid Damaskus yang merupakan pusat yang sangat penting dari pusat-pusat peradaban dan dijadikan sebagai halaqah-halaqah keilmuan. Di dalam masjid juga terdapat beberapa tempat yang dijadikan para penuntut ilmu untuk menasakh dan belajar, sebagaimana yang dilakukan Al-Khatib Al-Baghdadi yang mempunyai halaqah besar yang memberikan beberapa pelajaran ilmu, sebagai tempat orang-orang berkumpul setiap hari.
Para sahabat juga mempunyai halaqah ilmu di dalam Masjid Nabawi, sebagaimana dikisahkan oleh Makhul dari seorang laki-laki, bahwasannya dia bercerita, “Kami duduk di halaqah Umar bin Khaththab Ra. di Masjid Madinah mengingat keutamaan-keutamaan Alquran, lalu membicarakan hadis tentang keistimewaan lafal Bismillahirrahmanirrahim.”
Sahabat Abu Hurarirah Ra. mempunyai halaqah di Masjid Nabawi, mengajarkan hadis-hadis Rasulullah Saw. di mana halaqah ini berlainan waktu dengan halaqah menghapal beliau yang membahas kelembutan dan kejujuran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hanya Abu Hurairah, halaqah lain yang terkenal di Masjid Nabawi adalah halaqah sahabat mulia Jabir bin Abdillah Al-Anshari Ra..
Begitu pula halaqah Muadz bin Jabal Ra. yang terkenal di Masjid Damaskus. Abu Idris Al-Haulani memberikan gambaran halaqah tersebut dengan mengatakan, “Aku memasuki Masjid Damaskus. Ketika itu aku mendapati seorang pemuda banyak berdiam diri. Sedangkan ketika itu orang-orang mengelilinginya. Mereka bersilang pendapat tentang sesuatu. Mereka menyandarkan dan meminta pendapatnya. Aku bertanya siapakah dia? Lalu ada yang menjawab bahwa dialah Muadz bin Jabal.”
Karena itu, halaqah-halaqah ilmu di masjid-masjid diharapkan menempati aturan pengajaran yang tinggi pada waktu yang akan datang. Ketika itu, di setiap penjuru masyarakat Islam sangat antusias terhadap ilmu, meskipun mereka seorang mujtahid atau ulama yang mempunyai kedudukan tinggi di suatu kaum. Mereka pun datang untuk mendengarkan halaqah ini.
Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa Ali bin Al-Husain jika memasuki masjid, berbaris dengan orang-orang, duduk dalam halaqah Zaid bin Aslam. Lantas, Nafi’ bin Jubair bin Matham berkata kepadanya, “Semoga Allah merahmati Anda. Bukankah Anda seorang tuan orang-orang Quraisy? Anda datang berbaris di halaqah ahli ilmu, duduk bersama budak hitam ini?”
Lantas Ali bin Al-Husain berkata kepadanya, “Sesungguhnya seseorang itu duduk untuk mendapatkan manfaat. Ilmu itu dicari di mana saja dia berada.” Banyak sekali halaqah terkenal dalam sejarah Islam. Di antara halaqah yang terkenal di Masjidil Haram adalah halaqah tinta umat sahabat mulia Abdullah bin Abbas Ra.. Setelah beliau meninggal halaqah ini dilanjutkan oleh tabi’in, Atha’ bin Abi Rabah.
Di Masjid Baghdad sendiri terdapat lebih dari empat puluh halaqah. Semua halaqah itu diringkas menjadi satu dalam halaqah Imam Syafi’i rahimahullah karena ilmunya yang mulia. Kisah ini diriwayatkan oleh seorang ahli bahasa bernama Al-Zajaj. Dia mengatakan, “Ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, saat itu di masjid terdapat hampir 40 sampai 50 halaqah.”
Ketika dia memasuki Baghdad, mereka duduk di halaqah-halaqah. Imam Syafi’i berkata, “Allah berfirman, Rasulullah bersabda….”
Sedangkan di halaqah lain mereka mengatakan, “Sahabat kami berkata….” Akhirnya tidak tersisa dalam masjid selain halaqahnya.
Masjid juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku atau perpustakaan. Buku-buku itu didapatkan dari hadiah-hadiah yang diberikan kepada pengurus masjid atau hasil pencarian dari berbagai sumber. Karenanya, masjid-masjid pada masa itu memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya. Al-Khathib Al-Baghdadi (1002–1071 M) merupakan salah seorang donatur dari buku-buku itu. Beliau menyerahkan buku-bukunya sebagai wakaf untuk umat Islam.
Masjid adalah pusat aktivitas umat, hal-hal yang dapat direkam sejarah tentang fungsi masjid antara lain: (1) Balai Pengobatan Tentara Muslim. Sa’ad bin Mu’adz terluka ketika Perang Khandaq, maka Rasulullah mendirikan kemah untuk merawatnya di masjid. [H.R. Bukhari].
(2) Tempat Menerima Tamu. Ketika utusan kaum Tsaqif datang kepada Nabi saw, beliau menyuruh sahabatnya untuk membuat kemah sebagai tempat penjamuan mereka. [H.R. Baihaqi]. (3) Tempat Penahanan Tawanan Perang. Tsumamah bin Utsal, seorang tawanan perang dari Bani Hanifah diikat di salah satu tiang masjid sebelum perkaranya diputuskan. [H.R. Bukhari]. (4) Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya.
(5) Pengadilan. Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya. (6) Masjid sebagai baitul mal. Pada zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin, masjid Nabawi berfungsi sebagai tempat pengumpul zakat mal, zakat fitrah, infaq, dan shadaqah serta sebagian dari harta rampasan perang.
Selain itu, masjid juga merupakan tempat bernaungnya orang asing, musafir dan tunawisma. Sehingga di masjid mereka mendapatkan makan, minum, pakaian dan kebutuhan lainnya. Bahkan di masjid, Rasulullah menyediakan pekerjaan bagi penganggur, mengajari yang tidak tahu, menolong orang miskin, mengajari tentang kesehatan dan kemasyarakatan, menginformasikan perkara yang dibutuhkan umat, menerima utusan suku-suku dan negara-negara, menyiapkan tentara dan mengutus para dai ke pelosok-pelosok negeri.
Masyarakat Indonesia pada umumnya seperti masih menganggap masjid sebagai pusat ibadah semata. Hal ini terbukti dengan minimnya kegiatan-kegiatan pendidikan di masjid, bahkan tidak sedikit masjid yang mati kecuali hanya pada waktu salat. Padahal masjid merupakan pusat segala kegiatan umat Muslim, termasuk pendidikan. Salah satu tugas umat Muslim saat ini adalah menghidupkan masjid dan mengembalikan cahaya Allah Swt di tempat mulia itu, karena tanda kebangkitan adalah ketika umat berbondong-bondong memasuki masjid, dan pemerintah tentu harus memberikan dukungan lebih terhadap segala bentuk kegiatan di masjid, salah satunya adalah dalam bentuk materi.