Sedang Membaca
Dekrit Presiden Gus Dur dan Sidang Istimewa Ketua MPR Amien Rais
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Dekrit Presiden Gus Dur dan Sidang Istimewa Ketua MPR Amien Rais

Sabtu pagi 21 Juli 2001, Gus Dur menyampaikan tanggapan atas rencana MPR yang akan menggelar sidang paripurna di Senayan. Secara prinsip Gus Dur mengatakan bahwa sidang tersebut inkonstitusional. Namun MPR tetap menggelar rapat paripurna yang dihadiri 561 peserta, pada pukul 10.00. Sembilan fraksi MPR menyetujui percepataan sidang Istimewa. Sementara, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa tidak hadir dalam acara tersebut. Dalam surat FKB kepada pimpinan MPR, tertanggal 20 Juli 2001, mereka menyatakan tidak membenarkan dan tidak setuju dengan percepatan SI MPR.

Pukul 15:30, Gus Dur memimpin rapat Partai Kebangkitan Bangsa di Istana Merdeka. Mereka mempersoalkan Ketua Umum PKB, Matori Abdul Jalil, dalam sidang paripurna MPR. Pada pukul 17.30 mereka menggelar konferensi Pers. Isinya, PKB menonaktifkan Matori dari jabatan ketua umum. Gus Dur, KH. Cholil Bisri, Muhaimin Iskandar, Ali Masykur Musa da KH. Yusuf Muhammad berunding mencari pengganti Mtori. Akhirnya pada pukul 19:30, Gus Dur atas nama ketua Dewan Syuro PKB bersama fungsionaris DPP PKB, menetapkan Ali Shihab sebagai pengganti Matori Abdul Jalil.

Minggu, 22 Juli 2001

Terjadi peledakan bom di Gereja HKBP Jatiwaringin, pukul 06.55 yang menelan korban tiga orang luka berat. Sepuluh menit berselang, teror bom terjadi di Gereja Santa Anna Duren Sawit. Korban luka mencapai 64 orang. Amien Rais nampak mengunjungi Gereja Santa Anna.

Baca juga:  Mencoba Memahami COVID-19

Pada saat yang hampir bersamaan, di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ada pertemuan sejumlah pemimpin partai politik dan elite politik di MPR. Hadir di sana antara lain Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum PPP Hamzah Haz, Ketua Umum PAN Amien Rais, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid, dan ketua Umum PKB yang sudah dinonaktifkan Matori Abdul Jalil.

Usai pertemuan, Amien Rais mengatakan, “Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah kepemimpinan nasional yang baru. dan kami semua sudah bersepakat memperikan dukungan moral kepada Megawati Soekarnoputri.”

Di pihak berseberangan, presiden menerima Rachmawati Soekarnoputri. Di pesantren Asshiddiqiyah, Batuceper, Tangerang ada pertempuan sekitar 5.000 ulama dan pengasuh pondok pesantren. Menurut KH. Nur Iskandar SQ, pengasuh pesantren Asshiddiqiyah, pertemuan tersebut dilatarbelakangi  kekhawatiran terjadinya provokasi terhadap anak-anak muda NU yang berbondong-bondong ke Jakarta. “Kami khawatir mereka disusupi oleh kelompok tertentu di luar garis aturan main yang ada.” kata Nur Iskandar. Maka, para Kiai ingin mengendalikan masyarakat agar tidak terjadi anarkisme.

Sekitar pukul 16.00 presiden kembali ke istana dari kunjungan melihat korban ledakan bom di rumah sakit St. Carolus. Rombongan terkejut melihat ada persiapan apel TNI di Lapangan Monas. Ada banyak tank di sana. Menurut Khafifah Indar Parawansa, Menteri Pemberdayaan Perempuan, ada 32 tank yang disiapkan di Monas.

Baca juga:  Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (4): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Malam harinya ada sekitar 80 tank dari berbagai kesatuan TNI. Moncong-moncong tank mengarah ke istana. Apel tersebut dipimpin oleh Pangkostrad Letjen TNI Ryamizard Ryacudu. Namun Ryamizard membantahnya, “Itu tidak benar, ke arah Mabes AD malah,”

Melihat kondisi tersebut, KH. Abdullah Faqih Langitan menemui Agum Gumelar di kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, Kiai Faqih menanyakan sikap Agum terkait Dekrit presiden. Agum menjawab menolak dekrit. Untuk itu, dia mengajak Kiai Faqih agar menyarankan kepada Gus Dur untuk hadir dan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden di Sidang Istimewa MPR.

Tepat pukul 01.10, Senin 23 Juli 2001, Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid mengumumkan Dekrit Presiden. Isinya, membekukan DPR/MPR dan Partai Golkar, serta mempercepat pelaksanaan pemilu. Gus Dur juga meminta dukungan TNI. Namun sepertinya TNI terpecah. Ada yang mendukung Gus Dur ada yang pro Sidang Istimewa (SI) MPR yang dikomandoi Amien Rais.

Di MPR, pasca dekrit Presiden, Amien Rais dan pimpinan MPR lainnya mengadakan konferensi pers pada pukul 02.45. Amien menyatakan menolak Dekrit presiden dan meminta masyarakat tetap bekerja seperti biasa. Pukul 03.00, Ketua DPR, Akbar Tandjung mengirim surat kepada Ketua MA untuk meminta fatwa sehubungan dengan dekrit presiden yang baru saja diterbitkan.

Baca juga:  Djohan Effendi, Nurcholish Madjid dan Gus Dur

Senin pagi, pukul 08.00 23 Juli 2001, MPR menggelar Sidang Istimewa dengan tiga acara. Yaitu pidato Ketua MPR Amien Rais, pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden. Ketiga hal ini merupakan kesepakatan yang dicapai para pimpinan MPR dalam rapat mereka, setelah keluarnya dekrit.

Dukungan TNI-Polri terhadap SI MPR memang tidak main-main dengan jaminan keamanan yang mereka berikan. Dukungan TNI-Polri inilah yang membuat Gus Dur semakin lemah posisinya di pemerintahan.

Akhirnya Gus Dur dilengserkan secara inkonstitusional melalui SI MPR. Secara resmi pada tanggal 26 Juli Gus Dur mengakhiri jabatannya sebagai presiden demi kemaslahatan bangsa Indonesia. Sebab jika Gus Dur mempertahankan jabatannya, akan ada konflik berdarah yang bisa mengancam persatuan bangsa. Konflik tersebut melibatkan massa pendukung Gus Dur dan massa yang kontra Gus Dur.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Kata-kata yang sering diucapkan Gus Dur, “Biarlah sejarah yang membuktikannya” — Walaupun kejatuhan Gus Dur waktu itu dengan isyu “Brunaigate-Bulogate” — akhirnya sejarah juga yang menjawab bahwa ternyata itu juga tidak terbukti. Pada akhirnya semangat Reformasi juga dikhianati oleh tokoh-tokoh reformasi sendiri lebih disebabkan permintaan kue kekuasaan (jatah menteri dari partai-partai pendukung). Tetapi sesungguhnya kelemahan politik Gus Dur juga terlalu berpegang teguh pada prinsip dan tidak mau didekte, padahal kalau melihat kenyataan bahwa dia terpilih secara parlementer sementara maunya Gus Dur harus sesuai Undang-Undang Dasar (secara presidensil). Kelemahan Gus Dur yang kedua adalah juga tidak melihat kenyataan bahwa tokoh-tokoh Reformasi sudah bersatu dengan tokoh2 Orde Baru (Golkar) sementara Gus Durnya terlalu berani membersihkan dan memecati orang-orang Orde Baru (sesuai cita-cita awal semangat Reformasi). Kelemahan ketiga, Gus Dur juga tidak melihat kenyataan bahwa politik praktis itu tidak bisa dilepaskan dari politik dagang sapi (waktu itu) sementara dia sendiri terlalu memegangi prinsip idealisme politik — sehingga ketika dedengkot partai besar menawari tidak akan dijatuhkan dengan syarat begini-begitu Gus Dur tetap pada prinsipnya yang dianggap benar. Kata Mahfud MD yang menjadi wakil Gus Dur untuk lobi, “Aman Gus, asal begini-begini tidak akan dijatuhka ,” — tapi apa jawab Gus Dur? “SAYA LEBIH BAIK JATUH DARIPADA HARUS MELANGGAR UNDANG2”. Ya, mungkin Gus Dur benar tapi juga harus melihat kenyataan bahwa politik praktisnya waktu itu adalah kekuasaan ada ditangan parlemen. Andai saja mau menerima tawaran kan selamat sampai lima tahun ….

Komentari

Scroll To Top