Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Berguru Pada Ibrahim Bin Adham

Ibrahim bin Adham

Ibrahim Bin Adham seorang sufi besar. Ibrahim lahir di Balk-Afganistan 718 M, wafat di Arab 782 M.

Dia memiliki seorang murid yang kaya raya, seperti yang ditulis dalam kitab Risalatul Qusyairiah. Muridnya ada yang menjadi seorang eksportir dan importir di daerah Syam (sekarang masuk wilayah Palestina, Syiria, Lebanon).

Kaya raya dia. Dan tiap mendapat uang banyak, dia selalu sedekah. Salah satunya memberi sedekah kepada gurunya, Ibrahim bin Adham.

Suatu ketika dia melakukan perjalanan menuju ke rumah gurunya. Di tengah jalan dia bertemu dengan burung yang tak bisa terbang, karena patah sayapnya.

Tak lama kemudian murid Ibrahim bin Adham ini melihat beberapa burung lain datang memberi makan kepada burung yang sedang sakit tersebut.

“Rezeki sudah diatur Allah,” gumam si murid tatkala menyaksikan burung-burung itu.

Tidak berpikir panjang, dia memutuskan tak mau bekerja lagi. Semua hartanya akan diserahkan ke gurunya.

Sesampainya di rumah Ibrahim bin Adham, murid itu bercerita tentang kejadian burung sakit:

“Ya Syaikh.. aku tidak akan bekerja lagi.”

“Lah kenapa?” tanya Ibrahim bin Adham.

“Karena ternyata benar bahwa semua rezeki sudah diatur Allah. Bahkan burung yang sedang sakit dan tak bisa terbang pun masih bisa makan dengan pertolongan teman-temannya. Jadi kalau aku tak bekerja, kemungkinan besar aku akan tetap mendapatkan rezeki Allah.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (52): Tarekat Ghazaliyah

“Setelah ini aku tak akan istirahat saja. Aku ingin ibadah terus saja, Syaikh,” tambah si murid dengan mantap.

Mendengar perkataan itu Ibrahim bin Adham tertawa, lalu menegur muridnya.

“Kamu ini kok ya pendek mikirnya. Kamu melihat kejadian burung tadi, lah mengapa malah mikir untuk jadi burung yang sakit. Mbok ya Kamu itu mikir untuk jadi burung yang membantu burung yang sakit itu. Bagaimanapun, memberi itu lebih baik daripada menunggu pemberian orang. Sana lanjutkan lagi pekerjaanmu.”

Na’am ya Syaikh. Afwan, maaf. Saya keliru.”

Begitulah, Saudara. Terkadang kesimpulan pikiran orang itu perlu didiskusikan dengan yang lebih tahu. Si murid tadi seandainya tak menceritakan niatnya kepada gurunya, kemungkinan besar akan hidup di pojokan peradaban dunia. Hidupnya akan bergantung pada belas kasihan orang. Orang begitu, kecil nilainya.

Untung saja si murid mengutarakan pemikirannya kepada sang guru, sehingga mendapatkan perspektif lain. Sebab ada dan kepedulian sang guru, si murid tahu bahwa dirinya keliru.

Tapi pada suatu waktu, situasi dapat berbalik, yakni sang guru meminta pertimbangan si murid. Inilah yang kata Najelaa Shihab dirumuskan menjadi “semua guru semua murid”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top