Tradisi intelektual dan spiritual Islam dengan kearifan yang sublim telah menyatukan fikih, teologi, dan tasawuf dalam untaian yang indah. Semangat dasarnya adalah melihat perbedaan bukan sebagai sesuatu yang menghancurkan dan memecah-belah, tetapi menatapnya sebagai hal alamiah, sunnatullah, sembari mencari titik temu.
Muaranya adalah menjadikan perbedaan itu sebagai hikmah, sebagai kebijaksanaan. Tentu saja tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasar (ushul) dari Islam itu sendiri.
Bukan hanya diskursus dan praksis politik saja yang memecah-belah. Perbedaan interpretasi yang disertai dengan pandangan egoistik (mementingkan diri sendiri) juga niscaya membawa pada konflik tak berujung. Celakanya, perbedaan interpretasi inilah yang bisa membawa pada tindakan ekstrimisme, radikalisme, dan fanatisme.
Peristiwa Teror WTC New York pada 11 September 2001 yang dikenang dengan sebutan simbolik ‘911’ merupakan puncak dari contoh betapa interpretasi yang egoistik dan membawa pada kehancuran berskala besar. Kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas teror ini adalah organisasi al-Qaidah yang masyhur dengan aksi kekerasan. Landasan kelompok ini berpangkal pada prinsip takfir, yakni mengkafirkan, menuduh sesat terhadap kelompok lain yang tak menyetujui pendapatnya. Bila klaim takfir terjadi, pikiran dan tindakan yang mengarah pada kekerasan secara logis akan membuntuti.
Upaya terobosan
Keprihatinan pada teror 911 dirasakan hampir seluruh dunia Islam. Banyak upaya terobosan dilakukan untuk mencegah hal ini terulang. Salah satu upaya terobosan paling monumental adalah dikeluarkannya satu risalah oleh Raja Abdullah II, dari Kerajaan Hasyimiyah Yordania, bersama para tokoh ulama dan sarjana senior muslim dari posisi-posisi yang terhormat dari banyak negara. Termasuk dalam tokoh-tokoh ini adalah Grand Syeikh al-Azhar, Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi, Ayatullah Ali Sistani, Syeikh Yusuf Qardhawi.
Bertempat di Amman, pertemuan para tokoh tersebut menghasilkan Risalah Amman (Amman Message), pada 27 Ramadhan 1425 H atau 9 November 2004. Risalah Amman berisi pernyataan (statement) sederhana tapi rinci tentang apa hakikat Islam itu dan apa Islam yang hakiki, tindakan apa yang mewakili dan tidak mewakilinya. Tujuannya adalah menegaskan pada dunia modern tentang sifat sejati Islam dan sifat Islam yang sejati. Ia adalah risalah yang memuat tentang ketaatan kepada Allah, rasa kasih pada tetangga, itikad yang baik, sikap yang moderat, dan kedamaian.
Risalah Amman bermula dari usaha untuk menangani problem akar misinterpretasi dalam Islam. Awalnya Raja Abdullah II mengirim tiga pertanyaan berikut kepada 24 sarjana keagamaan paling senior dari seluruh dunia yang mewakili seluruh cabang dan aliran dalam Islam. Pertanyaan tersebut antara lain adalah: (1) Siapakah seorang Muslim itu? (2) Apakah diizinkan menyatakan seorang muslim itu kafir (takfir)? (3) Siapakah yang memiliki hak untuk mengeluarkan fatwa-fatwa (aturan hukum agama)?
Dari fatwa-fatwa yang diberikan para sarjana terkemuka ini (termasuk di dalam Syeikh al-Azhar, Ayatullah Sistani dan Syeikh Qardawi), pada Juli 2005, Raja Abdullah II menyelenggarakan konferensi Islam internasional yang dihadiri sekitar 200 sarjana Islam terdepan (ulama) dari 50 negara. Di Amman, para sarjana ini secara bulat mengeluarkan ketetapan tentang tiga hal fundamental:
1. Penganut delapan madzahib (aliran-aliran fiqh) yaitu Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), Ja’fari, Zaidi, Ibadhi dan Zahiri, teologi Islam tradisional (Asy’asriyyah), tasawuf haqiqi, serta Salafi murni ditetapkan sebagai muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkannya, haram menumpahkan darah, merampas tanah dan hartanya. Tidak diperbolehkan mengkafirkan muslim yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya SAW, rukun-rukun iman, menjunjung rukun Islam, dan tidak ingkar pada hal-hal yang diketahui secara tegas.
2. Banyak persoalan dalam aneka mazhab merupakan bagian dari ikhtilaf (perbedaan pendapat). Namun, kedelapan ahli mazhab bersepakat mengenai prinsip-prinsip asasi Islam. Meyakini bahwa Allah SWT satu dan tunggal, Alquran merupakan kalamullah yang diturunkan, Muhammad SAW merupakan nabi dan rasul yang benar-benar manusia sejati, menyepakati lima rukun Islam, dan enam rukun iman. Selain itu juga menyepakati bahwa ikhtilaf ulama dalam persoalan mazhab merupakan ikhtilaf dalam hal furu’ (cabang) bukan dalam persoalan ushul (dasar), sehingga itu merupakan rahmat. “Inna ikhtilaf al-ulama fi al-ra’yi amrun jayyidun (Sesungguhnya perbedaan pendapat para ulama dalam pemikiran merupakan ihwal yang baik).
3. Bertolak dari pijakan madzahib tersebut, para sarjana itu meletakkan prasyarat-prasyarat subyektif dan obyektif dikeluarkannya fatwa. Prasyarat ini diharapkan bisa berperan menyingkapkan maklumat yang keliru dan tidak sah yang mengatasnamakan Islam.
Tiga poin ini, belakangan secara bulat diadopsi oleh OKI pada konferensi tingkat tinggi (summit conference) di Mekkah pada Desember 2005. Sepanjang periode satu tahun dari Juli 2005 sampai Juli 2006, ketiganya diadopsi pula oleh enam majlis kesarjanaan Islam internasional lainnya yang memuncak pada Akademi Fiqh Internasional Islam di Jeddah, tepat pada Juli 2006. Dus, secara total, lebih dari 500 sarjana muslim terpandang dari seluruh dunia menyokong Risalah Amman berikut “Tiga Poin”. Perlu dicatat, perwakilan dari Indonesia adalah Hasyim Muzadi (Nahdlatul Ulama) dan Din Syamsuddin (Muhammadiyyah).
Pencapaian ini menjadi konsensus keagamaan dan politis (ijma’) dari Ummah (bangsa) Islam yang bersejarah dan universal di masa kini. Bisa dibilang ini merupakan konsolidasi Islam tradisional, ortodoks. Lebih jauh, yang paling menarik dan signifikan dari Risalah Amman adalah: (1) Ini adalah pertama kalinya dalam seribu tahun, Ummah yang secara formal dan secara khusus berasal dari latar-latar yang pluralistik saling menghargai (pluralistic mutual inter-recognition); (2) bahwa penghargaan tersebut secara keagamaan dan secara sah mengikat terhadap muslim karena Rasul SAW bersabda, “Umatku tak akan bersepakat dalam kesesatan”. (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Fitan, Hadits no. 4085).
Tak bisa dipungkiri, Risalah Amman ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan. Ia memberikan landasan bagi kesatuan dan solusi pertikaian bukan hanya bagi muslim sendiri tapi juga non-muslim. Karena itu, pada gilirannya, melindungi metodologi hukum-hukum Islam (madzahib) pastinya bermakna merawat “check and balances” internal Islam tradisional. Hal ini akan memastikan keberimbangan solusi-solusi Islam atas ihwal isu-isu dasar seperti hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, kebebasan agama, jihad yang sah, kewarganegaraan yang baik bagi muslim di negeri non-muslim, serta pemerintahan yang adil dan demokratis.
Arkian, Risalah Amman dengan tegas bisa menyingkapkan opini-opini yang tak sah yang disuarakan para fundamentalis radikal dan teroris tepat dari sudut pandang Islam yang sejati. Arkian, semoga dengan Risalah Amman ini kita bisa menatap masa depan di tahun baru 2018 dengan lebih optimis dan bersemangat.