Prosa tentang Louis Massignon, sang intelektual besar Perancis, senantiasa memiliki puspa ragam wajah. Tulisan ini berupaya mengetengahkan sudut kilasan yang kontras oleh Edward Said dan Seyyed Hossein Nasr. Utamanya kilasan ini bisa ditilik pada karya sang intelektual Palestina, Orientalism (1978), dan sang intelektual Iran, Traditional Islam in the Modern World (1987).
Bagi Said, Massignon memandang Islam dengan relatif sentimentil. Meski sama-sama sebagai pemegang keyakinan monoteisme, warisan agama Ibrahimiyah, namun secara genealogis Islam bukan agama dari jalur Ishak. Sebagai agama dari jalur Ismail, Islam bagi Massignon merupakan agama perlawanan kepada tradisi Kristiani, khususnya karena menolak Tuhan Bapak dan Kristus Sang Inkarnasi.
Di saat yang sama, inheren dalam Islam adalah adanya suasana melankoli, hal yang secara muasal kembali pada air mata Hajar, istri Ibrahim. Bahasa Arab dengan demikian adalah bahasa air mata. Dalam konteks ini, Massignon mengaitkannya dengan keseluruhan gagasan jihad dalam Islam. Bahwa jihad punya dua dimensi intelektual penting, yakni di luar diri ia punya misi perang melawan Kristus dan Yahudi, sedangkan ke dalam diri melawan kekafiran.
Massignon menurut Said, memiliki keyakinan bahwa dia bisa membedakan semacam arus lain di dalam Islam. Itulah arus mistisisme yang lantas menjadi misi intelektual Massignon. Mistisisme merupakan jalan menuju rahmat Tuhan. Sifat mistisisme yang subyektif, dengan kecenderungan-kecenderungan yang tak rasional, bahkan tak dapat dijelaskan, mengarahkan pada pengalaman kehadiran ilahi yang bersifat tunggal, pribadi, dan sesaat.
Upaya Massignon yang habis-habisan dalam mengulas mistisisme Islam, karenanya merupakan usaha untuk menjelaskan perjalanan ruh keluar dari batas-batas yang dikenakan kepadanya oleh masyarakat Islam ortodoks atau Sunnah. Meskipun, menurut hemat penulis, apa yang disebut batas-batas oleh Massignon ini harus diposisikan berada dalam tanda kutip.
Tak pelak, terasa ada nuansa esensialisme Massignon manakala melihat mistisisme ini dalam Islam. Bagi Massignon, seorang mistikus Iran lebih berani daripada rekannya yang berbangsa Arab, sebagian karena ia adalah bagian dari bangsa Aria dan sebagian lagi karena ia adalah manusia yang mencari Yang Maha Sempurna.
Hal tersebut berbeda dengan mistikus Arab yang baginya lebih cenderung kepada monisme testimonial. Bisa dilihat bahwa sebutan “Aria” cukup menentukan bagi frame pemikiran Massignon. Label “Aria” ini berhubungan dengan istilah “Semitik”. Dengan menyebut Aria, maka Massignon secara implisit melihat adanya supremasi ras ini terhadap Semit. Ada pemaknaan ideologis yang menyempitkan oleh Massignon terhadap terma Semit, yakni Israel dikecualikan dari cakupan kategorisnya. Semit sekedar mencakup Timur/Arab saja.
Lantas, bahwa Massignon yang menjadikan al-Hallaj sebagai figur teladan, jelas bukan hal yang rahasia. Menarik bahwa ia mengontraskan al-Hallaj dengan Muhammad, tentu ini merupakan sesuatu yang sedikit gegabah. Al-Hallaj dipandang Massignon mencari kebebasan diri di luar masyarakat ortodoks dengan meminta penyaliban, hal yang dianggapnya ditolak oleh Islam secara keseluruhan namun toh terjadi.
Sementara Muhammad, bagi Massignon secara sadar menolak kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk menjembatani kepincangan yang memisahkannya dengan Tuhan. Sukses al-Hallaj dengan demikian dilihat Massignon terdapat dalam pencapaian persatuan mistis dengan Tuhan yang berlawanan dengan ajaran asli Islam.
Meskipun Massignon meremehkan Muhammad, namun ia merupakan pejuang yang gigih dalam membela peradaban Islam. Surat-surat dan esainya menggambarkan bahwa sesudah tahun 1948, ia mendukung kaum pengungsi Palestina (bahkan rela mengunjungi sampai ke penjara), membela hak-hak orang Arab Muslim dan orang-orang Kristen di Palestina, menentang Zionisme, menentang apa yang disebutnya “kolonialisme borjuis” Israel.
Namun demikian, bagi Said, tetap saja kerangka wawasan Massignon memosisikan Timur Islam terkait dengan zaman kuno, dan sebaliknya meletakkan Barat pada zaman yang modern.
Jacques Berque, seorang intelektual Perancis lain, tulis Said, berupaya secara halus menolak gagasan Massignon bahwa pertikaian Arab-Israel merupakan masalah Semitik. Ia mendorong Massignon ke arah kemungkinan bahwa seperti halnya bangsa-bangsa di dunia lainnya, orang-orang Arab juga telah mengalami apa yang disebut sebagai “variasi antropologis”, namun, Massignon keukeuh dan menolak mentah-mentah kemungkinan ini.
Bagi Massignon, pada ujungnya Timur Islam selalu bersifat spiritual, Semitik, kesukuan, sangat monoteistis, dan tidak Aria.
Berbeda dengan Edward Said yang menempatkan Massignon dalam benderang kerangka Orientalisme, Seyyed Hossein Nasr, berupaya memandang sang orientalis secara kategoris. Massignon memadukan empat identitas secara apik bahkan unik. Massignon adalah sekaligus seorang Katolik yang saleh, Islamisis yang teguh, intelektual akademis organik yang brilian, dan seorang mistik yang sublim.
Fakta bahwa memasuki gerbang dunia-mistik Islam Hallajian bagi Barat niscaya melewati Massignon bukanlah hal kebetulan atau aksidental. Di dalam perspektif akademis, Massignon-lah yang memilih subyeknya yaitu Hussain bin Manshur al-Hallaj. Namun, seturut keyakinan Nasr, kehidupan Massignon senyatanya melewati pengalaman unik realitas spiritual al-Hallaj yang secara radikal mengubah total dirinya sebagai manusia. Bahwa Massignon secara pribadi memang dipilih oleh al-Hallaj.
Ada satu momen, di mana di saat mudanya di Baghdad, Massignon merasa luar biasa gundah-gulana. Pada titimangsa 1908, saat itu ia tengah menjalankan misi arkeologis dari pemerintah Perancis. Jelas, kegundahan yang dirasakannya bukan semata kegelisahan akademis yang bersifat intelektual, melainkan juga kegelisahan spiritual yang amat sangat. Ketidakmampuan menanggung beban spiritual ini sangat menusuk dan menyiksa Massignon sampai ia tiba pada titik klimaks.
Ia merasa sangat lemah dan tanpa daya upaya. Pada ujungnya, dalam bahasa Arab, lirih ia merintih, “Tuhan, tolonglah kelemahanku.” Tepat di saat pengakuan kelemahan diri itu, ia serentak merasakan suatu kehadiran entitas spiritual tak terperi.
Bagi Nasr, bahwa al-Hallaj dalam suatu arti ‘mengunjungi’ Massignon secara batin, sama sekali bukan persoalan akademis, namun merupakan kejadian yang ditakdirkan oleh Ilahi.
Di dalam tubuh tasawuf, Yesus atawa Isa dipandang mewakili berkah istimewa yang mempergunakan istilah Arab, al-barakah al’isawiyyah. Al-Hallaj adalah seorang Sufi Kristusi, andaikata kita boleh mempergunakan terma seperti itu, demikian Nasr berujar. Dalam pengertian ini, bukan berarti bahwa al-Hallaj terpengaruh oleh Kristen secara historis. Manifestasi al-barakah al-‘isawiyyah tidak ada sangkut-paut dengan kehadiran Kristen sebagai satu agama yang lain.
Adalah struktur Islam sendiri yang sedemikian rupa memiliki tradisi Islam yang mencakup kemungkinan adanya pemancaran sinar pendiri-pendiri agama-agama lain, terutama pendiri Yudaisme dan Kristen. Dus, merupakan hal yang mungkin untuk mendapatkan spiritualitas yang bersifat Ibrahimiyah, Musawi atau pun ‘Isawi. Itu pulalah yang menjadi alasan Nasr memilih kata ‘Kristusi’, bukan ‘Kristen’.
Massignon wafat pada awal 1962. Namun, Nasr melukiskan bahwa dia secara intens merasakan kehadirannya di makam al-Hallaj, saat terakhir kali ia dapat mengunjungi makam itu pada tahun 1978. Makam sang “sufi martir” ini berada di tengah-tengah sekumpulan makam para sufi Islam abad ke-3 atau ke-4 Hijrah. Letaknya ada di sebuah pesanggrahan tua yang menjadi bagian sebuah pembangunan perkotaan yang penuh sengkarut. Sekali lagi, bukan kebetulan Massignon dipilih al-Hallaj.
Hal tersebut gamblang dengan fakta bahwa berkat tekanan-tekanan gigih sang intelektual Perancis ini atas penguasa-penguasa Irak, walaupun seluruh area tersebut telah diambil alih untuk pembangunan kawasan baru, sebuah ruang kecil dibangun di makam al-Hallaj untuk melindunginya. Kenyataan bahwa makam sang Sufi besar ini masih ada di sana merupakan bukti-bukti upaya Massignon dan keberhasilannya dalam mengarahkan perhatian penguasa di Baghdad pada pelestarian warisan kultural besar Islam.
Tanpa upaya Massignon, makam al-Hallaj besar kemungkinan sudah lenyap atau tertutupi oleh bangunan-bangunan baru tanpa sedikit pun ciri yang tertinggal.
Meditasi Massignon atas hidup, karya dan spiritualitas al-Hallaj membawanya pada inti tradisi Islam. Bisa dikatakan bahwa jasa terbesar Massignon kepada pentingnya kajian-kajian keislaman adalah bahwa melalui optik al-Hallaj, dia menunjukkan dan sekaligus menegaskan bahwa tasawuf bersumber dari Alquran.
Massignon memahami secara mendalam bahwa meditasi atas ayat-ayat Alquran, peneladanan atas sang Nabi saw dan barakah yang muncul dari wahyu Qurani membentuk asal-muasal dan substansi tasawuf.
Adalah jamak bahwa di masa Massignon utamanya di lingkungan para orientalis, tasawuf dipandang sebagai sejenis pohon asing yang ditanam di lahan milik dunia Islam oleh kekuatan-kekuatan luar. Ini adalah pandangan orientalis yang lantas turut digemakan oleh kalangan Salafi yang tercerabut dari tradisi intelektual Islam.
Untungnya pandangan yang stereotipikal ini, setelah melewati setengah abad akhirnya terbongkar, dan kebenaran bahwa tasawuf berasal dari Alquran menjadi lazim diterima di lingkungan-lingkungan akademis Barat yang jujur dan bijak.
Arkian, sebagai penutup, sajak Hafiz berikut, yang pernah dibacakan oleh Massignon di tengah-tengah konferensi Islam-Kristen di Tioumliline, puncak pegunungan Atlas, merupakan gambaran yang puitis tentang kehidupannya.
Dia yang nuraninya menjadi hidup lewat cinta tak pernah mati.
Kekekalan kita tercatat dalam halaman-halaman buku semesta.